Mama Silvia boleh menyanyikan lagu hymne “Tenanglah Kini Hatiku”, dia benar-benar tidak dapat menahan senyum lebar menghiasi wajahnya. Dari balik kaca jendela besar rumahnya dia menyaksikan seorang pria melakukan sesuatu yang istimewa untuk anaknya, membukakan pintu mobil untuk Fou naik.
Papa Emil datang mendekat…
“Kenapa tertawa, Yang…” Papa Emil bertanya. Si papa kembali memanggil istri sahnya dengan panggilan sebelum mereka berpisah. Papa Emil memberikan ciuman sayang di pipi berkali-kali…
“Senang dong… gak mungkin sedih kan…”
Mama Silvia berjalan ke arah dapur, dia mau memasak untuk si suami. Salah satu point keunggulan mama Silvia dibanding si selingkuhan adalah masakan mama Silvia enak, si selingkuhan malah gak bisa masak. Dan dia melihat suaminya sangat menikmati itu sekarang.
“Iya, alasannya apa?” Si papa baru keluar dari kamar, gak tahu situasi terakhir yang baru saja terjadi.
Sepanjang siang ada aktivitas dengan seluruh bawahan di kantornya juga ada kegiatan olahraga bermain badminton dengan beberapa rekan pejabat, pulang ke rumah membawa rasa lelah langsung tertidur.
“Anakmu pergi bersama seorang cowok…”
“Itu aja kok bisa sesenang ini…” Si papa menimpali. Papa yang sudah menyusul di belakang mama gak tahu mau apa mendekati istrinya menempel-nempel dari bagian belakang.
“Kamu tahu, ada lima atau enam tahun dia gak pernah punya hubungan dengan cowok, aku sampai frustrasi melihat dia gak nikah-nikah, baru sekarang lihat dia mau membuka hati lagi… gimana aku gak senang Mil, anakmu udah kepala tiga loh…” Si mama menjawab di antara rasa geli yang mulai terasa di area tertentu karena ulah si suami.
Dan si papa berhenti menggoda si mama berpindah posisi ke samping mama.
“Nonie baru aja ulang tahun ya, aku lupa memberi ucapan…” Papa berkata sambil bersandar di kitchen set menatap mama dalam tatapan sendu.
“Kamu melupakan banyak hal tentang anak-anakmu, Emil…” Mama menjawab dan terbawa sedih melihat tampang suami.
Rasa girang karena Fou mendadak berganti dengan rasa gundah karena masalah dalam rumah tangganya sebenarnya belum berakhir. Mereka hanya melakukan rekonsiliasi saja, masuk kembali dalam hubungan suami dan istri padahal si papa belum melakukan tindakan apapun terhadap selingkuhannya, si papa dan si selingkuhan masih terikat. Si papa hanya lebih banyak berada di rumah ini saja.
“Iya… aku tahu… aku salah… aku sudah minta maaf padamu, Sil…”
“Bukan hanya padaku Mil, pada anak-anak juga, mereka yang banyak merasakan luka tentang itu, mereka sangat manja padamu, tiba-tiba kamu pergi meninggalkan mereka…” Mama berkata sambil mendorong suaminya duduk di salah satu kursi makan, mama duduk di sebelah si papa.
“Eillen dari dulu selalu mencariku, Sil… dia yang pertama memaafkanku.”
Eillen adik bungsu Fou sebenarnya menjadi mata-mata mama Silvia dulu untuk mengawasi si papa, sering disuruh ke rumah si papa dan selingkuhannya, Papa Emil tidak mengetahui hal itu, dan Eillen termasuk pintar memanfaatkan peluang, ketemu papanya hanya untuk mendapatkan uang jajan lebih banyak kemudian memberitahu mama Silvia hasil observasi di rumah selingkuhan.
“Shirley juga… malah dia paling sering datang ke rumah setelah punya anak, membawa cucuku melihatku… tapi Nonie… mungkin karena rasa malu teman-temannya mengetahui kelakuanku saat dia ulang tahun dulu membuat dia begitu marah hingga sekarang…” Lanjut papa Emil dengan mata menerawang, seolah sedang mengingat semua cerita sedih yang telah dilewati.
“Itu hanya salah satunya Emil, tapi kamu harus berusaha meraih hatinya. Aku selalu berpikir bahwa dia tidak ingin menikah itu… itu karena dia kecewa padamu membuat dia tidak percaya pada lelaki.”
Papa diam setengah menunduk… dampak perbuatannya sepertinya benar-benar berpengaruh pada mental anak tertuanya.
Mama kemudian meneruskan…
“Kamu tahu, ada dua pacarnya yang serius dengannya. Ada yang namanya Randy minta menikah malah diputusin anakmu, aduuuh… aku malu Mil, mamanya Randy sudah sering kirim makanan, sudah punya hubungan baik denganku… Kemudian ada Bryan juga… orang tuanya mau datang ke sini untuk lamaran Fou malah ikut teman-teman gurunya study banding ke beberapa kota…”
Mama Silvia memandang si papa lama, dia tahu suaminya ini sedang merenungkan apa yang dia lakukan tapi mama Silvia tidak hanya butuh kata penyesalan dari bibir itu. Mungkin ini saat yang tepat untuk membicarakan hubungan mereka.
Sudah cukup masa bulan madu kedua ini, mereka telah semakin intim, kegiatan ranjang telah menjadi bagian yang tak terelakkan setiap kali si papa datang ke rumah, bahkan seperti kembali ke masa awal nikah saja kelakuan pria ini, dan itu tidak dosa karena mereka adalah pasangan suami istri.
Tapi, sudah saatnya untuk kembali ke realita kehidupan, masih ada Dianita dan juga ada Fernando… pria ini harus mengambil keputusan. Mama Silvia kemudian melanjutkan lagi…
“Mil…” Mama Silvia berkata lembut, kelembutan yang dulu begitu menggoda papa Emil, kelembutan yang membuat lelaki ini terpenjara dalam cinta. Tapi kelembutan ini telah lama dia lupakan dan sekarang menjadi sesuatu yang begitu mendamaikan.
Papa Emil mengangkat muka, dan mama Silvia tersenyum, dari sorot mata itu dia sedang melihat suaminya benar-benar sedang berjalan pulang kembali kepadanya.
“Kita harus bicarakan ini, kamu… akan kembali padaku, atau kamu hanya senang-senang saja, hanya kangen sesaat karena lama kamu meninggalkanku…”
Si papa yang tadi duduk bersandar menegakkan punggungnya lalu memutar posisinya menghadap istrinya. Karena suaminya belum mengatakan apapun maka mama Silvia melanjutkan. Bicara sekarang bukan lagi untuk menghakimi dosa suami, hanya bicara dari hati ke hati saja, tidak ada lagi emosi negatif di dalamnya…
“Enam belas tahun aku menunggu membicarakan ini, Mil…”
Mata suami menyipit, sorot mata suaminya membuat si mama tertawa…
“Aku tahu sejak awal Mil, kamu pikir aku baru tahu saat Fou ulang tahun? Istri paling peka dengan perubahan suami, gerak-gerikmu waktu itu terlalu kentara ada sesuatu yang kamu sembunyikan… sejak kamu menggunakan parfum aku sudah curiga ada yang tidak beres denganmu. Aku membiarkan waktu itu karena banyak hal… tapi sudahlah, aku gak ingin membicarakan semua lukaku di masa lalu…”
Mama Silvia juga mengubah posisi duduknya, sekarang mereka berhadapan bukan sebagai musuh lagi, mungkin lebih tepatnya sebagai sahabat dekat, sahabat yang paling tahu kebaikan dan keburukan, menjadi sahabat yang paling mengerti dan mau menerima kesalahan terbesar yang telah dilakukan.
“Mil… gak baik untuk anak-anak jika kita seperti ini, kita contoh yang mereka lihat, dua anak kita sudah berumah tangga, aku bertahan selama ini supaya anak-anakku tidak rapuh dalam rumah tangga mereka, pikirkan kemungkinan suami anakmu juga melakukan seperti yang kamu lakukan. Kamu tahu kita bukan penganut kawin cerai, kita berpegang pada pernikahan itu satu kali seumur hidup, aku ingin meninggalkan teladan ini kepada mereka… karena dengan suami kedua atau ketiga persoalan yang dihadapi sama, kenapa tidak bertahan pada pernikahan pertama…”
Mama berkata panjang lebar, tidak menahan lagi apa yang disimpan selama bertahun-tahun. Papa diam… diam yang mama tahu tidak menolak untuk membicarakan hal ini lebih lanjut.
“Aku khawatir dengan Fou, mungkin saja dengan dokter Petra dia akan menjalin hubungan, tetapi saat dokter Petra meminta dia jadi istri, dia akan kembali menarik diri… dia takut menikah Emil, mungkin karena dia tidak ingin merasakan luka dikhianati suami…”
Mama Silvia menebar senyum kelembutan saat melihat riak rasa bersalah yang pekat di mata suami. Rasa sayang pada suami tak pernah hilang, luka yang paling sakit entah kenapa tak sanggup menghilangkan itu dari hatinya. Mama Silvia mengusap sayang kepala suaminya. Suami yang ada di hadapannya sekarang bukan suami yang akan menyembunyikan lagi perbuatannya.
“Kamu tahu loh… gak ada kata cerai dalam hidupku, tapi… sekarang ini, kalau kamu kembali padaku… kembalilah untuk selama-lamanya… tapi kalau kamu kembali hanya karena kamu dan si hugelmu itu dalam posisi sama seperti saat kamu meninggalkanku… aku gak akan meneruskan ini. Kamu sebaiknya jangan datang lagi ke sini, hidup tenang saja bersama si hugelmu itu, dan biarkan aku hidup tenang di sini…”
Si papa terpekur. Dia menyadari kesalahannya sebenarnya sesaat setelah dia melakukan itu. Dianita si pegawai honorer, fresh graduate, lincah dan tentu saja cantik, sehari-hari wara-wiri di depannya terhubung karena menjadi salah satu staf yang di tempatkan dekat dengannya.
Dianita kemudian menjadi lebih memukau dibanding istri di rumah yang sebenarnya tak kalah cantik, lebih cantik malahan. Tetapi istri di rumah sudah dilihat sepanjang delapan belas tahun pernikahan waktu itu ditambah delapan tahun masa pacaran karena sejak SMA dan kuliah sudah bersama-sama, Dianita menjadi sosok yang menyegarkan mata. Dan Dianita yang tergoda atau sengaja menggoda boss tertinggi di kantor itu membuat perselingkuhan menjadi begitu nikmat.
Tetapi, senikmat-nikmatnya dosa, manusia yang mempunyai nilai kebenaran sejati dalam diri selalu punya rasa penyesalan. Tapi setiap kali penyesalan datang setiap kali juga langkah yang diambil adalah melakukan lagi kesalahan yang sama.
“Mil…” Mama Silvia mempertahankan tatapannya dengan papa Emil, memegang kedua tangan si papa…
“Aku percaya kamu belajar banyak hal dalam tiga belas tahun ini… aku percaya kamu akan memutuskan yang terbaik. Aku memberimu kesempatan hanya sekali ini Mil… setelah ini jika kamu memilih pergi, keterikatan kita hanya di atas kertas. Aku gak akan tampil sebagai istrimu lagi di kantor, aku gak akan mengijinkanmu datang ke sini lagi, termasuk Nando… kamu pikir aku bahagia melihat hasil perselingkuhanmu? Tapi aku janji, jika kamu meninggalkan Dianita, aku akan menganggap Nando sebagai anakku, aku akan mencintainya seperti anakku. Kamu harus memutuskan Emil… hidup dengan selingkuhanmu atau hidup denganku.”
Tatapan masih bertaut, sekilas mama Silvia melihat kilatan bimbang, dia tahu bahwa susah untuk memutuskan sebuah ikatan antara wanita dan pria yang telah hidup bersama selama enam belas tahun terlebih ada anak di antara mereka. Tapi dia juga wanita yang punya nilai, dia tidak ingin suaminya senang-senang dengan dua wanita, itu bukan satu hal yang bisa dia terima. Dia sengaja membuka diri sekarang, melayani sebagai istri sampai ke atas ranjang dengan maksud supaya suaminya kembali selama-lamanya, bukan untuk datang lalu pergi lagi.
.
.
Di situasi Fou… Dia coba menarik diri dari pesona pak dokter Petra karena cara pendekatan pak dokter yang begitu ambigu, tapi hari ini si pak dokter membuat langkah maju lebih banyak, bukan hanya sepuluh langkah, tetapi seratus langkah, haha.
Mulai dari membukakan pintu, baru si Jerol yang pernah melakukannya, itu pun karena dia kesusahan membuka pintu secara dia sedang mengendong Elsie yang sakit. Eit… kenapa jadi mengingat Jerol? Alasannya karena Jerol mantan terdekat dalam banyak hal, selain karena tetangga juga karena entah kenapa selalu ada garis yang saling menghubungkan.
Nah, kembali ke pak dokter yang sedang membuat seratus langkah pdkt… dengan gaya yang gak dibuat-buat, seperti sudah terbiasa melakukannya dalam hidupnya, pak dokter memasangkan seatbelt tapi itu sudah biasa kan ada banyak di scene drama. Yang paling membuat Fou kesetrum adalah sejak masuk ke mall ini si dokter Petra sudah menggenggam tangannya, ini seperti arah-arah akan segera menjadi pasangan.
Dannnn… Fou menikmatinya. Saat Petra tersenyum padanya, Fou membalas sama manisnya.
“Kita minum coffee aja dulu? Ini belum jam makan malam…” Seperti sudah menjadi ekspresi patennya, Petra tersenyum.
“Boleh aja pak dokter…” Fou juga menanggapi dengan senyum. Rasa di hati bergelora indah karena Petra begitu dekat dan semua gesturenya sedang memperlakukan Fou dengan cara yang mengistimewakan.
Mereka ada di depan sebuah tempat minum kopi ternama, Petra urung membawa Fou masuk.
“Ra…” Petra berdiri sangat dekat, mungkin hanya satu senti jarang yang memisahkan, tangan satu meraih tangan Fou dan menggenggam dua tangan itu dengan rema san lembut…”
“Aku ingin mulai sekarang berhenti memanggilku pak dokter… ya?”
Sungguh manis alunan suara itu sampai ke telinga Fou, tatapan mata hitam legam itu pun menyorot menguasai tatapan Fou, Fou membiarkan dirinya tenggelam ke dalam pesona Petra yang semakin kuat.
“Ra… jangan hanya diam, panggil aku Petra mulai sekarang, oke?”
Satu genggaman tangan terlepas tapi tangan yang besar dan terlihat kemerahan itu sekarang memberi sentuhan lembut mengusap pipi Fou. Tatapan magnetis itu membuat Fou menganggukan kepala. Ada rasa asing dia rasakan muncul mulai dari pipi yang disentuh Petra, dan yang menyebar ke seluruh kulitnya. Dia gak mimpi, dan dia ingin disentuh lagi.
Petra tersenyum melihat Fou yang seperti terpaku padanya. Ada rasa gemas melihat reaksi Fou, tidak menolak afeksi darinya tentu saja, dan tidak ada ekspresi malu… tapi dia merasakan bahwa Fou sudah sangat terbuka sekarang. Niatannya tak akan lagi terhalang.
Seperti tahu keinginan Fou, Petra menyentuh pipi Fou lagi dengan telunjuknya yang dilipat, sekarang dengan menekan lembut lalu menggerak-gerakkan telunjuknya.
“Masuk yukk…”
Ajakan Petra menyadarkan Fou dari mode terpesona, dan lebih sadar lagi saat Petra sekarang mendorong lembut tubuhnya dengan cara memegang dua bahunya membawanya melangkah menuju meja yang diinginkan Petra.
“Aku pesankan aja ya, Ra…” Petra berkata setelah mereka berdua duduk dengan nyaman, saling bersisian dan hampir tak berjarak, Petra selalu mendekatkan tubuhnya pada Fou.
“Iya… tapi aku gak suka coffee…”
“Iya aku tahu minuman kesukaanmu hot coklat kan?”
Ahh, hati Fou semakin berdesir, Petra tahu minuman kesukaannya dan cara Petra mengatakannya sambil menatap intens dengan lengan yang ditempelkan pada lengannya.
“Tau dari mana?” Fou berkata sesaat setelah menetralkan hati, dia bisa mengatur suaranya dengan baik, secara job mcnya masih banyak…
“Udah sering lihat di rumahmu… tahu juga warna kesukaanmu biru kan dan tahu juga kamu suka pastry, tahu jam berangkat kamu ke sekolah, tahu kamu guru matematika, tahu kamu baru ulang tahun ke tiga puluh, tahu kegiatanmu hari sabtu apa, dan tahu juga kamu suka pakai piyama di rumah gak peduli ada aku datang kamu tetap cuek dengan tampilanmu, hahaha…”
Petra tertawa tapi mulut Fou hampir membuka lebar. Sejauh itu Petra mencari tahu dan mengamati dirinya? Petra menyentuh lagi pipi Fou, rupanya itu cara dia mengekspresikan kedekatan, dan Fou mulai menyukai itu.
Karena gerai coffee ini konsepnya self order maka Petra meninggalkan Fou untuk memesan, sebelumnya mere mas pelan pundak Fou…
“Bentar ya…” Ucapan lembut Petra dibalas anggukan pelan Fou, seperti apa rasanya merasakan lagi perhatian cowok? Itu membuat hatinya seperti mau melonjak keluar.
Menghabiskan sore duduk berdua layaknya pasangan, di tempat yang sedikit sepi di tengah keramaian karena ada di paling pojok yang jarang dilewati waitress atau pun pelanggan lain.
Penganan dan minuman hangat sudah habis…
“Ra…” Suara lembut Petra meminta atensi dari Fou membuat mereka saling tatap. Fou segera menghindari tatapan itu, terlalu mendebarkan untuk berlama-lama saling memandang, Fou gak kuat.
“Aku ragu sebelum ini, karena pekerjaanku yang begitu menyita waktu… tapi hari ini, aku ingin mengikuti kata hatiku aja… kita pacaran ya? Kamu mau kan?”
Setelah mengatakan itu Petra meraih tangan Fou saling bersilang di atas meja, sentuhan demi sentuhan yang enggan untuk ditolak Fou, termasuk keinginan lugas seorang Petra untuk mereka berdua.
Petra ternyata langsung nembak tanpa basa-basi, benar-benar seratus langkah demi mengejar waktu yang terbuang untuk pdkt yang sempat ambigu.
Wow... Tapi bagaiama dengan Jerol?
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Sri Astuti
deg"an ini
2023-06-30
0
ugi tea
nyesssss
2023-04-24
0
Shaqila Nazwa
keren
2023-04-19
0