Fou keluar dari rumah hendak berjalan kaki menuju kios pulsa milik Febi, kuotanya cepat habis kali ini karena dia keranjingan menonton film melalui sebuah aplikasi, sebuah cara yang baru sekarang dilakukannya untuk melepaskan rasa penatnya setiap malam. Kios Febi tak terlalu jauh, hanya selisih lima rumah. Biasanya dia singgah sepulang sekolah, kali ini hari sabtu dan sesekali dia harus menggunakan kakinya dari pada dengan motor.
Baru beberapa langkah ada seorang cowok keluar dari kost depan. Fou tidak menatap langsung hanya tertangkap ekor matanya. Dan bayangan itu bergerak bersamaan dengannya hanya berbeda jalur Fou di sisi kanan dan cowok itu di sisi kiri. Setelah sepuluh langkah Fou tak sengaja menggerakkan lehernya melihat cowok itu dan matanya menemukan bahwa cowok itu juga sedang memandang padanya.
Fou segera memalingkan muka dan menatap jalan. Sudah biasa melihat dan bertemu orang asing di sekitar lorong ini, jika itu masyarakat setempat pasti sudah saling berbasa-basi. Dan feelingnya mulai menangkap sesuatu, cowok itu sedang memperhatikan dirinya. Refleks kakinya bergerak lebih cepat sehingga bisa segera tiba di kios Febi.
Kios Febi kosong, pintu lipat di depan telah terbuka seluruhnya tapi tidak ada yang menjaga.
“Febi… Feb…” Fou meneriakkan nama pemilik kios.
“Febiiii…” Volume suara Fou bertambah lebih keras.
Fou melongokkan kepalanya ke bagian rumah yang ada di belakang dan masih mengulang menyebutkan nama Febi beberapa kali.
“Yang jual pulsa gak ada ya?”
Suara bariton terdengar dan itu membuat Fou sedikit terjengkang, dua tangannya refleks memegang dadanya. Fou memutar kepala mencari asal suara. Cowok yang tadi ada sekitar tiga langkah di belakangnya, tidak menduga bahwa cowok ini akan berhenti bersama dirinya membuat dia kaget, ekspresi di wajahnya membuat cowok itu tersenyum.
“Maaf… kaget ya?”
Astaga.
Fou tidak menyahut, dua tangannya turun, memperhatikan sejenak pemilik suara lalu kembali menatap rumah. Karena teralih dengan cowok itu Fou tak lagi meneriakkan nama Febi.
“Orangnya gak ada?”
Sekarang otaknya sudah bekerja dengan baik lagi menyadari bahwa cowok itu sedang bertanya padanya. Telinga Fou kini bisa menangkap suara bariton itu yang terdengar mengalun lembut…
Suaranya enak… Otak Fou mengirim penilaian di pikirannya. Dan otaknya juga mengingatkan dia harus menjawab pertanyaan itu.
“Eh… gak tahu ya, mungkin gak ada…” Fou menjawab tanpa melihat cowok itu matanya masih memindai rumah Febi dan berharap Febi keluar dari sana.
Beberapa menit berdiri dan Fou tidak lagi berteriak, tangannya kemudian mengambil hp di sakunya dan memilih menelpon Febi. Sebetulnya dia bisa meminta Febi mengisikan datanya lewat menelpon saja, tapi beberapa kali dia lupa membayar dan Febi pernah mengeluhkan itu di perkumpulan ibu-ibu pasukan elit yang suka nongkrong di poskamling. Dan gak enak banget orang membicarakan hutangnya.
Panggilannya dijawab Febi.
.
“Iya Enci Fou?”
“Kamu di mana Feb, aku di depan kiosmu…”
“Aku masih di pasar…”
“Oh ya udah… nanti aja.”
“Iya.”
.
Fou menutup panggilan lalu memutuskan pulang. Febi terkenal suka lama kalau ke pasar karena Febi punya tujuan lain kalau ke sana, ada tempat menjual pakaian preloved, dan Febi menggilai itu.
“Gak ada yang punya kios?” Cowok itu konsisten dengan pertanyaan yang sama.
Fou berbalik kali ini dia bertatapan dengan cowok itu dan mendapati senyum yang sama penuh keramahan. Dari dialeknya Fou memastikan cowok ini dari luar provinsi ini.
“Iya, lagi ke pasar.” Fou menjawab tapi tak membalas senyuman itu.
“Oh gitu, apa aman ninggalin kios terbuka?"
"Aman sih." Fou menjawab sambil mengingat-ingat pernah tidak Febi kecurian?
"Ada kios pulsa lain gak di sekitar sini?” Si cowok masih bertanya, masih niat mendapatkan kebutuhannya.
“Ada sih… di lorong sebelah…” Fou menjawab saja lalu mulai berjalan hendak pulang, meninggalkan cowok itu kemudian.
Berbicara panjang dengan orang asing sudah biasa di sini, bukan suatu hal yang perlu ditakutkan atau bersikap mencurigai. Sejauh ini lingkungan ini aman saja sekalipun banyak orang yang berganti-ganti datang dan pergi karena dua lorong ini penuh dengan bangunan kost.
“Di sebelah mana ya? Bisa tunjukkan arahnya, saya butuh pulsa pagi ini…” Cowok itu berkata sambil menjejeri langkah Fou.
Fou terpaksa berhenti lalu mulai menjelaskan arah yang berlawanan dengan arah pulang.
“Eh, jalan aja sampai ujung lorong ini terus belok kanan, ketemu perempatan kanan lagi, udah kelihatan kiosnya.” Tangan Fou bergerak memberi isyarat menunjukkan tempat sesuai dengan perkataannya.
“Terima kasih.”
Fou melihat lagi senyum di wajah itu ketika mengucapkan dua suka kata bentuk kesopanan di negara ini. Fou tidak membalas dengan senyum, hanya menganggukkan kepala lalu meninggalkan cowok itu.
“Bu guru gak jadi beli pulsa? Gak bareng saya aja?”
Suara cowok itu terdengar lagi di belakangnya, tapi kali ini tidak membuat Fou kaget tapi otaknya justru mengubah suara yang ditangkap indra pendengarnya sebagai sesuatu yang menyejukkan.
Enak banget alunan suaranya ya… Satu sudut bibir Fou terangkat saat mendengarkan suara hatinya yang kembali membuat kesimpulan.
“Bu guru?”
Fou terkesiap, cowok itu bukannya pergi ke arah yang sudah ditunjukkan Fou malah sekarang berjalan di sampingnya kini bukan lagi berjarak beberapa meter seperti tadi, hanya dengan jarak satu rentangan tangan. Dan Fou menyadari sesuatu…
Bu guru… Dia tahu profesiku?
“Kita bareng beli pulsa? Sekalian kenalan, bu guru… kan kita bertetangga… saya baru di lingkungan ini, mungkin suatu saat saya butuh pertolongan, sudah ada yang saya kenali…”
Apa cara cowok ini terkesan kurang ajar? Rasanya tidak ya, di negara ini terkenal dengan keramahan bahkan slogan provinsi ini, Torang Samua Basudara, menunjukkan bagaimana sikap yang seharusnya dalam bermasyarakat. Jadi permintaan berkenalan itu sangat wajar apalagi dengan status bertetangga. Dalam hatinya Fou memutuskan untuk merespon permintaan penghuni baru kost di depan rumahnya.
Fou menghentikan langkahnya, menghadap si cowok yang juga ikut berhenti tapi Fou tidak ingin memulai, bukan sifatnya bersikap atraktif, dia menunggu sambil menantang tatapan cowok itu.
Beberapa detik saling tatap…
“Eh… saya Petra…”
“Saya Foura…”
Tak ada jabat tangan hanya ada senyum paten di wajah cowok itu. Fou hanya sedikit menarik bibirnya menanggapi itu.
“Kita ke kios aja?”
Fou tidak mengangguk tapi entah kenapa kakinya melangkah bukan ke rumahnya. Cowok itu segera mengikuti Fou berjalan dengan jarak seperti tadi.
“Sudah lama jadi guru?” Suara enak itu kembali menggema.
“Lima tahun…” Singkat Fou menjawab. Ingin melanjutkan dengan pertanyaan, dari mana tahu profesiku guru? Tapi itu hanya menggantung di bibirnya.
Fou memang hanya menjadi fleksibel dan energik dan ceria saat ada di panggung dalam tugas-tugas MC-nya, tapi sehari-harinya Fou hanya akan banyak bicara dengan teman-temannya terutama yang sefrekuensi dengannya. Dengan ibu-ibu kompleks ini dan dengan orang baru… dia akan menjaga ucapannya.
“Saya sudah sebulan di kost depan rumahmu, saya dari kota S.”
“Oh…” Satu suku kata saja jawaban Fou tapi dalam hati melanjutkan… pantas dialeknya medok seperti itu.
“Saya beberapa kali melihat Foura di depan SMA Negeri itu… makanya saya tahu Foura seorang guru…”
Mendengar kalimat si Petra mengatakan persis apa yang ada di benaknya Fou tersenyum terlebih cowok itu sekarang menyebut namanya. Senyumnya dapat dilihat Petra, dan itu membuat Petra mendapatkan keleluasaan untuk berbicara lagi.
“Foura, Rumah Sakit Ibu dan Anak Citra Kasih letaknya di mana ya?”
Fou mengernyit, pernah mendengar tapi belum pernah ke sana.
“Oh… itu rumah sakit baru kayaknya, persisnya saya gak tahu… cari pakai Maps bisa kan…”
“Oh bisa memang, saya hanya ingin mencari tahu waktu tempuh ke sana… ada Profesor saya sehari-harinya praktek di sana, dia pemilik Rumah Sakit itu.”
Fou mengolah sedikit data di kepalanya… umumnya yang kost di tempat Jerol adalah dokter koas, apa si Petra ini dokter juga? Apa dia penghuni kost yang sempat masuk Top Ten pergibahan ibu-ibu poskamling kemaren? Fou bisa melihat sekarang bahwa cowok ini punya good looking dan juga sikap yang membumi dan ada niat hati menjalin hubungan baik dengan tetangga.
“Ada estimasi waktu juga kan di Maps.” Fou menjawab lugas.
“Haha… bener juga…”
Suara tawa itu sama indahnya ketika mencapai telinga Fou, membuka sekat di hati dan otak Fou untuk berbincang.
“Apa… Petra dokter koas?” Fou bertanya sambil memutar kepala memandang Petra, mengikuti cara Petra berkomunikasi, menyebut nama lawan bicaranya, tidak menggunakan kata kamu, anda, situ, atau lain penyebutan untuk orang kedua.
“Bukan… saya sedang mengambil spesialisasi dokter anak…”
“Oh? Bukannya universitas di ibukota dan di kota-kota besar di pulau J jauh lebih bagus?”
“Di sini bagus kok, banyak teman-teman dokter yang memilih universitas ini untuk mengambil spesialisasi anak...”
"Ohh..." Satu suku kata kembali keluar dari mulut Fou, dia tidak mengerti apapun tentang dunia kedokteran, tidak pernah punya cita-cita jadi dokter, dia begitu mencintai angka dan rumus, sangat tertantang dengan rumitnya Matematika dan mematahkan ketidaksukaan banyak orang terhadap mapel ini.
"Saya juga tertarik dengan cerita teman-teman mengenai kota ini, dan cerita mereka banyak benarnya."
"Cerita apa?" Fou tertarik ingin mendengar pandangan orang luar tentang kotanya.
"Haha... kata mereka gadis-gadis kota ini cantik-cantik, itu benar..." Dan dokter Petra menyambung dalam hati... Kamu salah satunya.
Fou tidak dapat menahan senyum, walaupun terdengar basi dan terlalu mengada-ngada, entah di mana letak ukuran cantik itu, ada sedikit rasa senang asal itu citra positif aja.
"Saya suka iklim bertetangganya... sangat terasa jiwa persaudaraannya."
Dan jiwa pergibahannya. Fou melanjutkan dalam hati saja. Dokter ini belum tahu saja kalau kehadirannya di sini sudah jadi trending topic sejak hari pertama dia di sini.
Akhirnya mereka sampai di Kios Pulsa Sintia, pemiliknya ibu muda bernama sama.
"Bugur... sama siapa? Pacarnya ya, pagi-pagi udah jalan bareng... ngedate ya..."
Lidah Sintia langsung menari-nari, ibu satu anak ini pandai dalam mengolah sebuah info, cocok sih kerja jadi admin Lam*be.
"Mau beli data, Tia..." Fou memilih menjawab sesuai tujuannya.
Fou baru sadar bila dengan Sintia gak akan ada yang lolos, pasti dalam waktu dekat hpnya akan terhubungan dengan banyak ibu-ibu pecinta laman pergosipan, bibir dan tangan akan segera menerbitkan cerita indah sampai pulsanya habis. Mentang-mentang penjual pulsa, gak kira-kira menggunakan pulsanya.
"Tumben beli sampai jauh ke sini... biar lebih lama jalannya kan? Kenalin dong pacarnya."
"Ini tetangga depan rumah, Tia... ketemunya di kios Febi, Febi ke pasar makanya kita ke sini." Sekalipun percuma saja tapi Fou tetap menjelaskan.
Fou melirik Petra, cowok itu seperti tadi memasang senyum patennya. Lama-lama kayaknya senyum itu membuat cowok itu terlihat semakin ganteng ya?
"Gagal sama pemilik kost, sekarang jalan sama anak kost ceritanya, bugur..."
"Astaga Tia... sesukamulah..." Fou menjawab pasrah.
Fou menyebutkan data yang diinginkannya, Petra juga. Setelah proses transaksi selesai, keduanya lalu pamit pulang.
"Yang itu aja, bugur... gak kalah ganteng kok dari Jerol. Lupain Jerol."
Teriakan Sintia dibalas Fou dengan mengangkat tangan. Sejenak merasa tersentil diminta lupain Jerol... hah seharusnya sudah lupa tapi sejak peristiwa Jerol nikah nama itu sering muncul di pikirannya. Tapi feelingnya mencuat, dia harus siap-siap dengan rumors yang segera akan beredar tentang dirinya dan Petra.
"Jerol itu siapa?" Si Petra bertanya. Penasaran rupanya.
"Hah? Gak kenal ya?"
"Suka denger namanya sih, makanya pengen tahu."
"Anak pemilik kost yang Petra tinggali..." Fou menjawab Petra
"Oh dia? Istrinya yang lagi hamil kan?"
"Iya..." Fou menjawab pendek dan tidak bicara lagi sampai di depan rumahnya. Petra juga sama.
Di depan pagar ketika Fou berbelok Petra memanggil...
"Foura..."
Fou berbalik memindai wajah senyum Petra.
"Makasih ya..."
Fou mengangguk saja dan belum sempat berbalik lagi matanya menangkap pandangan Jerol di belakang punggung Petra, berdiri di dekat pintu mobilnya dengan pandangan tajam padanya.
.
.
Aku mengedit byk hal di part 1-7 karena dpt saran dari editor NT, semoga sdh lebih baik ceritaku ini. Makanya telat update. Makasih utk semuanya. Setelah ini baru mulai nulis Brill eps 44, semoga keburu mlm ini... Makasih semuanya.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Sri Astuti
soal gibah menggibah mungkin perlu dikurangi ya.. hehe
2023-06-30
1
Putri Minwa
ada yang lagi sakit hati tuh
2023-04-20
0
ein
yg sudah jadi om om ngak usah cemburu yaaaaa..
2023-04-09
0