Warga lorong ini ganti-gantian membesuk si Vinzy yang baru melahirkan, dengan caesar tentu saja mengingat seperti apa gemuknya Vinzy. Dan bayinya perempuan dengan berat badan 4 kilogram.
Itu informasi sementara yang didengar Fou.
"Kita besuk si Vinzy ya Fou?" Mama menjemput kepulangan Fou dengan pertanyaan.
"Mama aja, aku gak ma, gak wajib kan..."
Fou langsung memberengut, jadi menginginkan atmosfir kehidupan di ibukota yang katanya sekalipun bertetangga tidak ada yang saling mengusik, kehidupan yang berjalan adalah milik masing-masing.
"Tapi kita tetangga paling dekat masa gak ke sana... gak enak sama Anet..."
Mama masih memaksa Fou untuk ke rumah sakit.
"Mama aja kan mewakili..."
"Fou... apa kata mereka, dikira kamu masih gak terima Vinzy jadi istri Jerol..."
"Mama kali yang gak terima, aku juga bodoh amat mau diceritain macem-macem... aku pergi gak pergi selalu dikait-kaitkan." Fou menjawab ketus.
Dirinya capek berdiri mengajar seharian ini disambut mama dengan pembahasan tentang tetangga, Fou segera masuk kamar dan menutup pintu. Setiap kali cerita tentang Jerol terangkat ke permukaan Fou selalu merasa ingin pindah dari sini, tapi masalahnya ini rumahnya, ini lingkungannya. Dan entah kenapa dia jadi merasa terusik dengan hal-hal tentang Jerol.
Kemudian mama pergi ke rumah sakit bersalin dengan temannya untuk menyatakan kebersamaan dengan tetangga yang berbahagia, tapi mama pulang membawa cerita...
"Fou, anak si Vinzy gak mirip Vinzy dan gak mirip Jerol."
Cerita apa lagi yang sedang dikembangkan orang-orang ya, apa mereka tidak bisa ikut berbahagia saja tanpa harus mencari celah untuk menyalurkan hobi gila mereka dalam bergosip?
"Mungkin mirip tante Anet atau om Herry... atau mirip orang tuanya Vinzy, ma..."
Selalu ada keinginan dalam hati Fou untuk mengabaikan setiap cerita sang mama, tapi perasaan sebagai anak membuat dia gak tega. Di rumah ini hanya dia keluarga dekat sang mama, siapa lagi yang akan diajak berbicara ini dan itu, hanya dirinya.
"Rambut anak itu kriwil-kriwil dan lebat, Anet bilang dulu Jerol dan Jilly lahir gak punya rambut, gak ada katanya keluarga mereka yang rambutnya kayak itu..."
"Ma, masih orok, masih kecil, anak itu akan berubah setelah tumbuh besar. Astaga kalian ke sana sebenarnya niatnya menyatakan simpati atau apa?"
"Ahh kamu selalu aja mengeritik mama..."
Fou dilahirkan di sini, tumbuh dan besar di lingkungan ini, nanti ketika dia dewasa dan ketika dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang di dunia pendidikan baru pikirannya terbuka dan kemudian mulai mengkritisi kebiasaan ibu-ibu di lingkungan ini.
.
🧊
.
Hari sabtu, setengah enam pagi, Fou berjalan ke arah ujung lorong di mana terletak gerobak sampah. Warga diwajibkan membawa sendiri sampah rumah mereka ke sana, setelahnya om Pala yang akan membawa gerobak itu ke tempat pengumpulan sampah kelurahan, baru di sana dijemput truk sampah kota ini.
Baru beberapa langkah berjalan mobil double cabin milik Jerol berhenti di sisinya. Fou tidak mungkin berlalu begitu saja karena dari jendela yang terbuka itu Jerol sudah menyapa dirinya.
"Ra..."
Kenapa dia harus berhenti sih? Fou mengeluh jengkel dalam hati.
Tidak baik pagi-pagi dimulai dengan memarahi orang, jadi Fou hanya menantang mata Jerol tanpa senyum dan tanpa suara.
"Mau ke mana, Ra?"
"Nih..."
Fou hanya mengangkat dua kantong plastik di tangannya. Jerol paham lah apa itu. Saat hendak melanjutkan langkahnya...
"Ra... aku mau minta tolong sesuatu, jangan pergi dulu."
"Ada apa Erol?"
Sekalipun dalam suaranya ada penekanan karena tak suka bercakap dengan sang mantan, tapi Fou mencoba bersikap baik saja.
"Anakku udah lahir dua hari yang lalu, Ra..."
"Aku udah tahu, Rol. Selamat jadi papa ya..."
Fou mencoba tulus mengucapkannya. Mendengarkan pengakuan Jerol dan dengan tampang kusut seperti gak cukup tidur pasti dia dari rumah sakit, ini mematahkan rumors bahwa Jerol gak peduli terhadap anaknya, jika Fou gak bisa memilah dan mencerna semua cerita dengan baik maka dia akan salah menilai Jerol.
"Makasih Ra. Anakku perempuan..." Jerol tersenyum saat mengatakannya.
Fou bisa melihat wajah seorang papa yang bahagia. Hatinya tersentuh, Jerol yang dia kenal memang baik. Fou ikut tersenyum, jujur ini momen di mana dia bersinggungan dengan Jerol tapi dengan perasaan hati yang beda.
"Sekali lagi selamat ya Erol... Jadi papa yang baik ya buat anak perempuanmu..."
Fou masih melebarkan senyumnya dan sejak tadi mata keduanya tetap bertatapan. Jujur dia suka ekspresi Jerol yang sekarang, seorang Jerol dengan aura kedewasaan, memiliki anak ternyata berpengaruh pada seorang pria, dan itu sesuatu di mata Fou.
"Cariin nama, Ra... untuk anakku."
"Hahh?" Fou membulatkan mata, kaget dengan permintaan gak masuk akal dari Jerol.
"Cariin nama yang bagus..."
Ini ternyata yang Jerol maksud dengan permintaan tolong. Mantan antik yang gila, gak ada duanya di dunia, sekarang meminta Fou memberi nama untuk bayinya.
"Erol? Kamu waras gak sih? Kamu kurang tidur, sana pulang biar bisa mikir logis."
Akhirnya Fou gak bisa bersikap simpatik lagi. Fou segera meninggalkan Jerol.
"Aku serius Ra, minta nama dari kamu, aku tunggu ya..."
Jerol teriak di belakang Fou. Fou tidak lagi menggubris, langkahnya dia percepat menuju tempat pembuangan sampah, jika bisa dia ingin menghempaskan semua hal yang ada sangkut pautnya dengan Jerol bersama dua kantong besar sampahnya. Apa kata dunia jika mendengarkan tentang ini...
Selesai meletakkan sampah, Fou singgah membersihkan tangannya di poskamling, ada tempat mencuci tangan di sana. Perasaan gusar membuat dia berlama-lama membiarkan tangannya kena air dingin dari kran.
Sementara membersihkan tangan Fou melihat sebuah city car warna hitam berhenti di sampingnya, jendela terbuka dan wajah senyum milik Petra menyembul di sana.
"Foura..."
Sebuah sapaan yang segera meredam kegusaran di hati. Suara rendah tapi mengalun lembut menyebutkan namanya, terdengar indah saja. Jerol dan sensasi paginya segera menguap dari otak Fou. Suasana hati segera berganti, kini adem lagi, segera Fou dapat merasakan dingin udara pagi menyentuh kulitnya.
"Pagi Foura..."
"Selamat pagi, dokter..."
Pagi yang dingin, matahari belum muncul, tetapi senyum di wajah itu langsung bersinar memancarkan kehangatan. Fou pun tersenyum, benar kata orang-orang bahwa senyum itu menular.
"Petra aja, Foura..." Masih dengan wajah senyum Petra meminta Fou mengganti sebutan.
"Dari mana, pagi-pagi, eh... Petra?"
"Dari rumah sakit..."
"Lagi sakit?" Fou jadi ingin bercakap lebih lama dengan dokter yang senyumnya mulai menawan pikirannya.
"Tidak... saya sehat, Foura."
"Oh... ngapain pagi-pagi?"
"Dokter kalau ke rumah sakit ngapain Foura?"
Fou tersipu menyadari kebodohannya, kalimat itu bisa saja diartikan, apa kamu tidak bisa menggunakan nalar? Tapi dengan cara Petra mengucapkan dan dengan alunan suara itu Fou tidak merasa bahwa Petra sedang meremehkan atau meragukan kemampuan otaknya.
"Hehe, tapi katanya lagi ambil spesialis anak, apa praktek juga?"
"Seperti itu caranya Foura, belajar teori memang ada, tapi lebih banyak prakteknya, belajarnya dari kasus-kasus pasien..."
Fou menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba, dalam hati berjanji gak akan membicarakan tentang dunia si dokter, supaya tidak terkesan bodoh di hadapan Petra.
"Foura... ini hari sabtu, kamu tidak ke sekolah, mau menemani saya cari sarapan? Teman-teman merekomendasikan sebuah tempat di pinggiran pantai, saya ingin mencoba..."
Saat mengatakan itu Petra memutar bagian atas tubuhnya menghadap Fou seperti hendak keluar dari jendela itu saja dengan satu tangan bertumpu di jendela.
"Hah??" Kali yang kedua Fou kaget pagi ini.
"Haha... kamu seperti baru menerima ajakan ke hutan, Foura... temani saya ya... Ini permintaan lanjutan perkenalan kita..."
"Eh? Sekarang?"
"Sekarang Foura, ayo naik..."
Dari tempatnya berdiri Fou melihat Petra membuka pintu sebelah dan saat menatap Fou dengan kepalanya dia memberi isyarat untuk Fou naik ke mobil.
"Tapi saya belum mandi..." Fou berkata sungkan.
"Saya juga belum mandi Foura...." Petra tersenyum.
"Saya belum sikat gigi."
"Oh? Saya sudah, tadi di rumah sakit. Kamu hanya perlu menjaga jarak dari saya atau menutup mulutmu jika berbicara..."
Ekspresi jenaka menyertai kalimatnya dan diakhiri senyum. Fou tersipu lagi melihat itu. Fou terbawa dengan cara Petra berbicara sehingga dalam hati terbit keinginan untuk lebih lama menikmati suara itu dan senyum itu.
"Naiklah Foura... saya memaksa kali ini..."
Sebuah pemaksaan yang indah nampaknya.
"Tapi pakaianku seperti ini..."
"Itu cukup sopan, dan orang pasti memahamimu karena ini masih pagi. Lain kali kita janjian lagi baru kita berpakaian bagus."
Lain kali? Batin Fou girang.
Naluri Fou mencium sesuatu dan dengan sadar Fou membiarkan dirinya mengikuti alur yang telah dimulai dokter Petra. Maka Fou bergerak menuju pintu sebelah lalu naik dan duduk di jok empuk dengan perasaan hati yang mulai berisi letupan-letupan indah.
"Beritahu arahnya ya Foura..."
"Petra belum beritahu kita mau ke mana..." Fou bicara sedikit malu-malu. Setelah sekian lama baru hari ini dia pergi dengan seorang pria.
"Wah... saya lupa namanya, seperti menggunakan bahasa daerah di sini deh, tapi katanya lokasi itu di pinggiran pantai..."
Petra menjawab sambil menjalankan mobilnya.
"Ada banyak tempat sarapan di sini dan umumnya di pinggiran pantai..." Fou berkata dan sekarang berani memandangi Petra.
Melihat pakaian yang Petra kenakan sekarang, setelan biru navy dari kain dan ada bordiran namanya dan gelarnya di bagian kiri, demikian juga sepatu karet tebal berwarna putih yang melekat di kaki, orang akan segera tahu profesinya.
"Kenapa? Saya juga terlihat lusuh kan? Jadi jangan pikirkan penampilanmu, Foura..."
Fou memalingkan wajah ke jendela, malu kedapatan memperhatikan dokter itu. Sementara Petra senyum-senyum saat melihat tingkah Fou.
"Kita ke mana Foura?" Suara enak itu terdengar lagi saat mereka keluar di jalan utama.
"Ehh? Petra yang ngajak saya jalan kan?"
"Iya... tapi tempatnya dan arahnya saya tidak tahu, saya belum banyak berkeliling kota ini, baru seputar rumah sakit dan tempat kost saja..."
"Pinggiran pantai ya? Ke kanan berarti, mungkin yang direkomendasikan itu tempat baru di ujung kota ini..."
"Oke... kita coba ke sana... tolong beritahu arahnya ya... Foura jadi Maps saya dulu pagi ini..."
Senyum paten itu keluar lagi dan lirik-lirikan yang terjadi setelahnya membuat mereka berdua tertawa bersama. Atmosfir semakin enak, Fou entah kenapa tidak membatasi perkataannya, padahal jika dihitung Petra masih termasuk orang asing, ini baru kedua kalinya mereka bersua.
.
Setelah sarapan perkenalan yang terbilang lancar dan menyenangkan, di depan rumah saat menurunkan Fou dan sebelum Petra masuk ke area parkir kostnya...
"Terima kasih sudah menemani saya, Foura..."
"Sama-sama Petra, terima kasih sudah mengajak saya sarapan..."
"Ah besok temani saya ke tempat wisata yang Foura sebutkan tadi ya... saya memaksa juga kali ini..."
"Jadi Petra ini termasuk cowok pemaksa sepertinya..."
"Ah, tepatnya tidak seperti itu... hanya... saya bersikap sedikit memaksa Foura untuk lebih cepat jadi teman saya saja... mungkin karena saya tipenya suka memiliki banyak teman, dan di sini saya baru mengenal beberapa orang saja..."
Petra menjelaskan dengan cara yang lagi-lagi enak dilihat dan didengar. Fou tersenyum karena hal itu.
"Oh... Oke, baiklah... Petra boleh menganggap saya teman..."
"Hahaha... besok ya... kita jalan lagi..."
"Siyaap pak dokter Petra..."
Fou melambai sampai mobil Petra masuk ke halaman kost depan rumah. Ini sesuatu yang baru, dan ini cukup menyenangkan, baru sekali ini dia jalan dengan cowok dengan tampang bangun tidur.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Sri Astuti
asyiik.. lumayan ada teman baru atmosfer baru
2023-06-30
0
Putri Minwa
ada ya mantan itu yang antik
2023-04-20
0
AbyGail
Part 10 sepertinya ketahan lagi deh...
malas banget nulis kl kyk gini...
ide langsung ambyar
2023-04-10
0