Mama Silvia dan papa Emil entah mau rujuk atau apa, semakin sering papa Emil menginap di rumah ini, Fou bersikap gak peduli saja, tiga belas tahun dia telah menempatkan sang papa di luar hatinya dan sekarang hatinya belum mengizinkan papanya kembali pada tempat yang seharusnya, hatinya masih terlalu tawar.
Hari sabtu datang lagi, mama dan papa sedang ada acara anjangsana bersama karyawan kantor papa. Fou di rumah bersama Nando, mereka berdua baru selesai beberes rumah, anak ini cukup terampil melakukan beberapa pekerjaan.
“Kamu diajarin mamamu ya?” Fou heran melihat adiknya selesai mencuci semua sneakers, miliknya sendiri, milik sang papa juga milik Fou dan mama, itu tanpa disuruh oleh Fou. Fou sedikitnya takjub dengan adiknya yang gak seperti remaja pada umumnya, dia tidak hanya memegang hpnya sepanjang hari, komitmen belajarnya kuat dan mau turun tangan juga mengerjakan pekerjaan rumah. Rasanya ini ajaran papanya.
“Diajari papa… mama mana sempat ngajarin aku, mama kalau di rumah malas melakukan apa-apa, ada mbak katanya.” Nando menjawab sambil meletakkan semua sneakers itu di tempat yang masih terkena matahari di area laundry belakang rumah mereka.
Fou tersenyum, hal yang sama dilakukan papanya pada mereka bertiga, mewajibkan mereka ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Ternyata untuk anak lelakinya tak ada bedanya. Fou masih mengamati Nando, dia sendiri sudah selesai menjemur semua pakaian.
“Mamamu gak apa-apa kamu lebih banyak di sini sekarang?”
“Mama marah-marah sih.”
“Kenapa gak pulang ke rumahmu?”
“Males, kak… aku gak suka melihat mama papa sering berantem sekarang.”
Fou jadi tertarik untuk mengorek lebih banyak informasi, mungkinkah si mamanya Nando marah karena papa lebih banyak di sini? Apa si papa mulai bosan sama wanita simpanannya?
“Kenapa berantem?”
“Banyak alasan, terakhir mama marah papa beliin mama Sil mobil… katanya papa gak adil…”
Oh… mulai mempermasalahkan perhatian papa untuk sang mama yang adalah istri sah. Fou semakin kepoh, jujur baru sekarang dia ingin tahu kehidupan si papa bersama wanita simpanannya, kebeneran denger langsung dari anak mereka.
“Terus?” Fou masih meneruskan penyelidikannya.
“Mama juga mengeluhkan gaji papa gak pernah mama nikmati katanya, padahal selama ini mama yang bersama papa…”
Fou menatap lekat adiknya, jika adiknya bisa mengatakan masalah seperti ini dengan lancar apakah mereka selalu bertengkar di depannya? Bukankah itu bisa mengganggu perkembangan anak ini? Pantas saja awal bertemu anak ini terlihat sendu.
“Kamu mendengar hal itu, atau?” Fou mulai concern dengan situasi Nando.
“Iya, kak… sampai bosen dengernya.”
Setelah besar, tak ada lagi yang bisa ditutupi dari seorang anak, bahkan usia Nando adalah usia yang rentan, di mana dia mencari rule model untuk dirinya, lingkungan akan sangat mempengaruhi perkembangan men*talnya.
“Mamaku juga marah sama aku karena sering ke sini, aku bilang di sini enak diurusin mama Sil… di rumah aku kerjain semua sendiri.”
Rasanya Fou mulai bisa mencium sesuatu dari sikap mama sekarang, apa perhatian mama pada Nando hanya sebuah trik di balik trik, sepertinya mama bersabar untuk menunggu papa datang sendiri kemudian memulai cara untuk membawa papa kembali dengan cara halus seorang istri yang telah lebih lama mengenal suaminya.
Mama pernah bilang saat papa memilih untuk tinggal bersama Dianita si selingkuhan, apapun cara mama gak akan dilihat papa karena pesona si selingkuhan telah menguasai papa, tapi akan ada waktu papa akan melihat lagi pada mama. Mungkinkah harapan si mama sedang terwujud?
“Mamaku suka menanyakan, apa aku dikasari sama kakak atau sama mama Sil, aku bilang aku disayang kok di sini…”
Sesuatu menusuk hati Fou, jika itu mengenai perasaannya terhadap Nando dia bisa memastikan bahwa dia telah menyayangi adiknya ini, tapi mengenai perasaan mama Fou sedikit meragukan itu. Mudah-mudahan karena gak punya anak lelaki jadi mama bisa bersikap tulus pada Nando. Fou membuang napas.
“Kakak…”
“Mhhmm?”
“Eh… kakak sayang aku kan?” Suara kecil Nando menggugah hati Fou.
Tapi Fou malah menjawab… “Gak…”
Fou berpaling masuk ke dalam ruangan, di sudut matanya dia merasa panas seperti ingin menangis karena Nando dan karena papanya. Perasaan yang begitu kontradiktif, gak menerima perselingkuhan papa tapi menyayangi hasil perselingkuhan itu. Terlalu aneh.
“Kakakkk?” Nando merengek mengikuti Fou meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya. Nando meraih tangan Fou dan dengan tubuh kecilnya dia menghalangi langkah Fou. Fou hampir tertawa melihat wajah memelas sang adik. Tapi Fou membuat suaranya terdengar jengkel.
“Minggir!”
“Kakakkk…” Suara Nando yang sama dengan ekspresi yang sama membuat Fou tertawa.
“Diiih, anak lelaki kayak gini, cemen ahh. Jangan terlalu perasa.” Fou mengacak rambut adiknya.
Nando tersenyum senang lalu melepaskan tangan Fou, merasakan tindakan sang kakak membuat hatinya menyimpulkan bahwa si kakak sayang padanya walau gak mau mengakuinya.
“Kita makan di luar ya kak?” Nando bermanja sekarang
“Gak, kakak malas ke luar rumah, lagian nanti kakak harus mengantar uang arisan mama…”
“Aku go*food tapi aku pilihkan menu ya?”
“Iya, boleh tapi kamu yang bayar, kamu punya banyak uang kan, papa selalu memberimu uang jajan yang banyak.”
“Ya kak… nanti uangku berkurang… aku lagi nabung…”
“Nabung? Untuk?” Fou heran, bocah ini udah memikirkan tentang menabung dan bagaimana menahan keinginanan untuk membelanjakan uangnya.
“Nabung aja, suatu saat pasti butuh… jadi kakak yang bayarin ya…”
“Kamu kecil-kecil udah perhitungan… masa kakak yang bayarin terus?”
“Kakak udah punya gaji, aku anak SMP…”
Fou tertawa, dia tidak serius meminta Nando membayarkan makanan mereka. Menjalani hidup yang sekarang, dengan adanya Nando rasanya keadaan di rumah ini menjadi lebih baik untuk Fou.
.
.
Sore hari, Nando mengekori Fou ke tempat arisan, adiknya tidak seperti remaja pada umumnya yang malas ke mana-mana sangat terikat dengan dunia mereka yang tak bisa jauh dari gadget, tapi Nando sepertinya gak ingin jauh-jauh dari Fou.
Saat kakak dan adik itu keluar pagar, dokter Petra bertepatan hendak keluar juga.
“Mau ke mana Ra? Sekalian aku antar?” Dokter Petra menurunkan seluruh kaca jendela mobilnya
“Eh pak dokter, kita hanya deket sini aja…”
“Beneran?” Dokter Petra kembali memastikan.
Fou mengangguk sambil mengamati dokter Petra.
“Mau bertugas ya, pak dokter?”
“Eh… gak, hanya ada sedikit keperluan di luar.”
“Oh… silahkan pak dokter…”
Fou kemudian menoleh pada Nando lalu dengan isyarat meminta Nando untuk berjalan cepat. Fou tidak ingin berlama-lama berinteraksi dengan dokter Petra, keinginan hatinya jelas tak sama dengan dokter ini. Fou berpikir jika dokter ini serius pdkt paling tidak dia sudah lama meminta nomor wa, ini sama sekali tidak pernah. Fou mau berhenti menyukai dan berniat menghempaskan rasa sukanya jauh-jauh.
“Ra… nanti setelah urusanku selesai, aku main ke rumahmu ya?” Dokter Petra menyamakan kecepatan mobilnya dengan langkah Fou.
Fou menoleh galau, “ngapain dok?”
“Pengen ngobrol aja… aku pergi ya…” sahut si dokter sambil senyum lalu menambah kecepatan sekarang dan berlalu meninggalkan Fou yang hanya menatap malas.
Kenapa Petra main tarik ulur perasaan sih? Fou bingung dengan sikap Petra. Pertemuan terakhir adalah saat di rumah sakit, itu hampir sebulan yang lalu dan kembali tak ada kelanjutannya. Fou menjadi malas dengan sikap sang dokter.
Di rumah tempat arisan, selesai dengan semua urusan milik mamanya, selesai dengan semua urusan menjawab kekepoan tante-tante mengenai Nando, akhirnya Fou bisa pulang lebih awal.
Baru beberapa meter dari rumah tante Ingka si penerima arisan, namanya dipanggil tante Anet. Fou dan Nando berhenti.
“Fou, tungguin tante…”
“Gak tunggu sampai selesai acara, tante?” Fou bertanya saat tante Anet sudah tinggak beberaoa langkah.
“Tante kasihan meninggalkan Elsie lama-lama, udah ada suster tapi tetap aja gak enak perasaan ini…”
“Elsie sakit apa waktu itu, tante?” Fou bertanya sambil mulai berjalan lagi.
“Ususnya luka, gara-gara tante membiarkan mbak Vin ngasih Elsie pisang, pencernaannya belum siap, makanan tambahan baru bisa di atas enam bulan. Eh bahkan ada bayi yang meninggal karena itu…”
“Oh… untung Elsie gak papa ya tante…”
“Iya… sekarang Elsie sudah bertambah gemuk sekarang. Tante memakai suster sekarang, kasihan juga cucuku, mamanya entah di mana.”
Fou tidak ingin menanggapi soal Vinzy, sebab pandangannya sedikit berbeda dari orang-orang, dia juga melihat kesalahan Jerol di sini.
“Tante terburu-buru meminta Jerol tanggung jawab tanpa mencari tahu dulu tentang Vinzy, percaya begitu aja pada anak itu… karena Vinzy itu masih sodara sama Om Herry… tapi akhirnya seperti ini.”
Mendengarkan itu Fou diam saja melangkah lambat-lambat di samping si tante, mulai menduga ke mana arah pembicaraan ini.
“Perkataan orang-orang bahwa Elsie gak mirip Jerol sama sekali, semakin lama semakin terbukti kan… kamu memperhatikan itu juga kan Fou…”
“Wajah Elsie akan terus berubah tante… gak usah dipikirkan perkataan orang-orang, kadang mereka terlalu berlebihan.” Fou menjawab.
Fou tetap ingin bersikap netral saja, walau tahu sesuatu langsung dari mulut Vinzy. Lagi pula kasihan juga semua kesalahan dilemparkan pada Vinzy walau di sini memang secara kasat mata Vinzy melakukan banyak kesalahan.
“Tapi itu benar Fou. Kamu tahu, tante gak pernah cerita ke orang-orang soal ini, tante menghitung bulan kehamilan Vinzy, tapi sayang itu setelah mereka menikah. Tante ingat persis kapan dia mulai kost di rumah tante… ternyata dia udah hamil waktu itu.”
Tante Anet sekarang berjalan sambil berpegangan di lengan Fou, dan Fou hanya bersikap mendengarkan saja.
“Fou… mungkin tante gak pantas ngomong ini, tapi tante selalu menginginkan... yang akan menikah dengan Jerol itu kamu. Jerol itu gak pernah melupakan kamu, tante tahu sekali perasaannya terhadap kamu. Jika kalian yang menikah, pasti Jerol bahagia sekarang.”
“Tante… udah gak boleh ngomong begitu… walau bagaimana pun Jerol itu statusnya suami orang.” Fou jengah mendengarkan perkataan itu.
“Tante tahu… Ahh Fou… tante ingin sekali Jerol mengurus surat cerai aja lalu menikahimu… aduuh maafkan tante ya… keinginan tante sangat berlebihan, masa anak tante setelah jadi duda baru nikahin kamu. Tapi ini isi hati tante...”
“Tante… maaf… rasanya gak terlalu pantas kita membicarakan hal ini.”
“Iya Fou… iya… maaf tante kelepasan ngomong…”
“Gak papa tante…”
"Tapi Fou... jika kondisi Jerol sudah memungkinkan, apa kamu mau memberi Jerol kesempatan? Tante selalu merasa hanya dengan Foulah Jerol bisa hidup lebih baik dari sekarang..."
Fou tersentak.
"Tante??? Aku... Eh... itu tidak mungkin kan... maaf aku gak mungkin mengiyakan permintaan tante..."
Fou bukan orang yang bisa bersikap pura-pura, menjawab secara lugas menolak permintaan tante Fou, itu sama artinya meminta Fou menunggu Jerol menduda. Fou bukan orang yang seperti itu, memberikan harapan, atau berharap pada sesuatu yang tdak pasti.
.
Hi... Otor agak lambat kali ini untuk kedua judul yg lagi ongoing. Beberapa hari ini byk kegiatan, susah sekali mengumpulkan ide di tengah2 kesibukan. Semoga isi cerita hari ini bisa diterima pembaca hehe... Yg nungguin Brill, ceritanya baru setengah jln masih nyari waktu semoga bisa meneruskannya. Maafkan ya... Semoga sehat semuanya.
Salam bahagia aja untuk semua..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Sri Astuti
akhirnya sadar sdh tertipu ya msma Anet
2023-06-30
0
ein
dr Petra PHP.. banyak pilihan kali yaaa
dr dr nurse diRS kan banyak juga...
2023-04-18
1
Bunda Titin
hi jg Aby gpp kok santuy aj.......aku jg mohon maaf ya blm bisa koment banyak2 LG sakit aku demam n bapil sampe lemes banget,. sakit kepala mana LG puasa LG...........🙏🙏
2023-04-18
1