Fou memikirkan Jerol yang tiba-tiba menjadi makhluk aneh belakangan. Entah Jerol mendapatkan dari siapa nomor wa-nya, sejak minggu yang lalu permintaan konyol dan gila Jerol melalui chat masuk ke hpnya. Fou tidak menanggapi, hingga chat terakhir yang berbunyi…
Aku akan menamai anakku Fernanda Elsyana Foura.
Fou gak membuka chat itu tapi muncul di notifikasi menu pop-up hpnya. Fou terbelalak dan refleks membuka ruang chat itu. Kenapa punya mantan segila ini? Apa yang ada di pikirannya gak bisa Fou mengerti. Tiga-tiganya nama Fou hanya pindah posisi aja, tentu Fou tahu itu hanya sebuah ancaman, tapi Fou terpaksa harus meladeni si mantan luar biasa ini.
Fou memilih menelpon langsung nomor yang dia pastikan milik Jerol.
.
“Halo Ra…”
“Kepalamu kebentur apa Rol? Kenapa kamu ngotot amat sih? Aku bukan siapa-siapa, aku gak berhak memberi nama anakmu, dan jangan gila menamai anakmu dengan namaku!”
Fou langsung menyemprot di kalimat pertamanya.
“Kamu seseorang yang berarti buatku, makanya aku ingin kamu yang memberi nama, kalau kamu gak kirim nama, yaa aku akan memberi dia namamu aja…”
“Astaga Rol, kamu sehat gak sih? Ada gangguan pada cara berpikirmu, oh ya ampun Rol… kamu bener-bener gak masuk akal. Apa kamu gak memperhitungkan perasaan istrimu, dia pasti tersakiti…”
“Dia gak peduli, Ra… dia bilang dia gak mau merawat anakku, dia gak mau menyusui anakku…”
“Masa sih Rol, gak ada ibu yang tega sama anaknya.”
“Itu kenyataannya, Ra, dia gak mau gendong, gak mau ngeliat anaknya…”
“Astaga, kenapa aku harus tahu tentang kalian sampai segininya sih… Udah Rol, tolong jangan buat heboh lingkungan kita… tanya tante Anet atau om Herry atau lihat goog*le deh kalau kamu malas nyari nama…”
“Kamu gak ngerti ya, Ra? Aku ingin kamu yang menamai anakku, bahkan aku ingin kamu menjadi mamanya…”
“Erol??? Masa bodoh deh, terserah kamu!”
.
Panggilan diakhiri Fou dengan sangat marah dan jengkel. Fou merasa dadanya tiba-tiba sakit. Apa maksud Jerol sih. Kenapa justru setelah dia menikah dia jadi agresif melibatkan Fou dengan setiap urusannya? Apa dia sekarang sedang menjalankan misi balas dendamnya? Apa ini sebuah sakit hati lama karena beberapa kali diputusin Fou? Rasanya tidak mungkin, itu sudah kadaluarsa.
Fou menenangkan dirinya dengan membuka sebuah aplikasi dengan lambang pesawat kertas untuk meneruskan drama yang sedang ditontonnya. Karena persiapan mengajar beberapa malam dia tidak sempat menonton, dan sekarang dia butuh pengalihan untuk kekesalannya.
Baru beberapa menit dia menonton di laptopnya, hpnya berbunyi, ada notifikasi chat. Fou malas untuk melihat hpnya dan meneruskan tontonannya. Beberapa pesan beruntun tak digubris Fou lalu bunyi panggilan menyusul, itu pasti Jerol. Dia tidak mungkin mematikan hp karena terhubung hotspot ke laptopnya. Saat hendak mengecilkan volume gadgetnya pintu kamarnya diketuk si mama...
"Fou, ada pak dokter nyariin," mama teriak dari luar.
Fou membuka pintu...
"Siapa?"
"Pak dokter depan rumah, yang ganteng itu..." mama senyum-senyum, mama tahu lah si dokter Petra, mama meskipun gak nongkrong di poskamling tapi bisa dengan mudah mendapatkan info terbaru.
Fou menuju teras si pak dokter ada di sana...
“Malam Foura…”
“Malam Petra…”
Lucu juga mereka berdua selalu menyebutkan nama utuh tanpa memotong satu suku kata.
“Sedang belajar ya?" Suara bariton lembut itu selalu memaniskan telinga sampai ke hatinya.
“Ehh? Belajar?” Balas Fou tersenyum.
“Pertanyaannya salah ya?”
“Gak juga, saya memang harus belajar untuk persiapan mengajar, tapi malam ini gak…”
“Lagi ngapain?”
“Lagi nonton drama.”
Ada perasaan senang tiba-tiba Petra nyariin dia. Senyuman menguasai wajahnya, dan pikiran Fou teralih tidak lagi mempedulikan drama di laptopnya.
“Keluar yuk, temani saya belanja, saya perlu ke supermarket…”
“Oh…” Singkat Fou sambil melihat jam di dinding, pukul delapan malam, belum larut.
“Foura? Temani saya, boleh?”
“Eh… boleh sih…”
“Ya udah, saya tunggu di depan, saya ambil dompet sama handphone.”
Petra pergi. Fou membuat ekspresi tak percaya, mereka akhirnya akan jalan bareng lagi, setelah janji untuk ke tempat wisata gagal, seminggu ini tidak berkomunikasi akhirnya Petra berinisiatif lagi.
Petra, cowok ini memang punya daya tarik yang bisa dengan cepat dilihat oleh setiap lawan jenis. Dan Fou akui dia tertarik dengan sosok Petra. Tapi sejak sarapan berdua waktu itu Fou menekan harapnya supaya tidak naik lebih tinggi, tetap saja akal sehatnya melarang dia untuk cepat-cepat menanggapi atau mendahului maksud dari Petra, dia bukan tipe agresif.
Fou mengganti piyama tidurnya, memilih sebuah kaos oblong putih yang satu size lebih besar dari ukuran tubuhnya dan mengenakan celana jeans yang ada di gantungan. Dia memilih penampilan umumnya orang-orang, tak ingin ada kesan berlebihan. Setelah sisiran menguncir satu rambutnya dan memakai bedak bayi, dengan tampilan seadanya dia keluar.
Di luar pagar rumah, Petra ternyata sudah menunggu.
“Foura… apa kita perlu naik mobil?”
“Petra mau mencari apa?” Fou balas bertanya.
“Kebutuhan harian saya habis…”
“Oh… kalau ke Indo maret aja gak perlu sih, jalan kaki aja… hanya keluar dari lorong ini terus ke arah kiri…”
“Saya tidak biasa membeli kebutuhan saya di toko itu, produk yang biasa saya gunakan tidak di jual di sana…”
“Oh.” Respon pendek Fou.
Petra berbeda dengan dirinya yang gak mau repot ke supermarket setelah Indo itu berdiri di kompleksnya, gak fanatik dengan merek produk tertentu, selalu acak memilih atau membeli sesuatu karena menurutnya semua isinya sama hanya nama dan kemasan aja yang berbeda.
“Jadi… kita jalan kaki atau?”
“Oh… Eh kita naik mobil, Petra, supermarket terdekat dari sini ada di daerah boulevard.”
“Oke… saya keluarkan mobil saya dulu… sebentar ya…”
Fou mengangguk, dan memperhatikan saat Petra berbalik dan masuk ke kostnya. Petra hanya menggunakan celana pendek yang benar-benar pendek untuk ukuran Fou karena jatuhnya hanya menutupi setengah pahanya, atasan oblong dengan kemeja yang kancingnya dibiarkan terbuka. Dan Petra menggunakan sandal jepit.
Fou melihat kakinya, dia tadi asal menggunakan sneakers, menggambil dengan acak di rak sepatu. Otaknya memberi perintah untuk mengganti alas kakinya, masih dengan alasan tak ingin tampil berlebihan. Dengan cepat Fou kembali ke dalam rumah, mengganti dengan sendal jepit lalu kembali ke depan pagar.
Tak lama mobil hitam Petra sudah keluar dan berhenti. Fou berjalan beberapa langkah dan naik tanpa menunggu perintah dari Petra.
“Seatbeltnya Foura…”
“Oh…” Fou memasang seatbelt. Malam ini dia banyak menggunakan suku kata ini.
“Beritahu arahnya ya?”
“Oh? Ke Goldenmart? Bukannya sudah sering melewati daerah itu ya? Itu searah dengan rumah sakit…”
“Iya… hehe, Goldenmart… oh itu ya... hehe udah pernah ke sana sebelum ini sih… tapi pengen denger aja kamu bilang… kanan, kiri, lurus… hahahaha…”
Oh mama, dia sudah sesantai ini? Batin Fou berdendang.
Fou hanya mengangkat dua sudut bibirnya merespon tawa Petra yang terdengar lebih renyah, dari gesture dokter ini Fou bisa merasa bahwa dia semakin mengakrabkan diri, dan Fou tidak ingin menolak. Mungkin saatnya untuk membuka diri terhadap sebuah hubungan lain, jika nalurinya tidak salah menangkap signal, Petra sedang mendekatinya. Tapi memang terlalu dini untuk menyimpulkan karena Petra pernah berkata dia suka mempunyai banyak teman, dia hanya ingin menjalin pertemanan? Fou hanya akan bersikap menunggu.
“Kanan atau kiri?”
“Hahaha… kanan pak dokter… iseng ternyata ya…”
Fou hanya bisa tertawa karena sebelum dia memberitahu arah lampu sein sudah menunjukkan Petra akan mengarahkan ke mana setirnya. Fou ikutan lepas dan tak ragu juga untuk bersikap santai.
Selanjutnya masih sama, Petra bertanya walau kelihatan sekali dia sudah tahu arah apa yang akan diambilnya. Fou akhirnya terbawa alur percakapan yang dibangun Petra.
“Setelah seratus meter belok kiri, lurus sepanjang dua ratus meter dan tujuan anda ada di sebelah kanan…”
Fou mengikuti suara dan intonasi mbak Maps, dia punya kemampuan untuk mengatur suara dan intonasi dengan baik, dia sering melakukan banyak improvisasi saat ada di atas panggung.
“Hahahaha…” Tawa Petra mengalun panjang dan Fou ikutan tertawa. Sepertinya malam akan berlansung dengan indah untuk mereka berdua.
“Sorry ya… kemaren batal pergi… kamu gak marah kan?” Suara Petra yang selalu enak di telinga Fou memecah kesunyian setelah arah terakhir diberikan Fou dengan cara bercanda.
“Oh… gak… gak papa kok… kan Petra ada dinas…”
“Eh… iya sih, iya… aku, aku menggantikan temanku…”
Petra mulai ber-aku-kamu sekarang. Sepertinya dinding formal sudah tidak berlaku lagi di antara mereka sekarang. Hati Fou rasanya semakin nyaman.
“Aku lihat juga mobil Petra gak ada berapa hari…”
“Hah?? Eh… biasanya kalau dinas sambung seperti itu, aku nginap di rumah sakit… gak bisa pulang…”
“Oh gitu…” Fou mengangguk maklum.
“Memilih profesi ini memang butuh waktu belajar yang sangat panjang. Seperti aku ngambil spesialis ini kembali belajar mungkin sampai empat tahun, belajar itu ya berdinas di rumah sakit. Sepanjang waktu bisa hanya berada di rumah sakit saja… kadang makan, tidur dan ganti baju itu di mobil, mobil jadi rumah kedua…”
Sambil fokus ke jalanan Petra menjabarkan tentang pekerjaannya.
“Pantas aja mobilnya penuh kayak gini ya…”
“Hahaha… maaf ya, mobilku berantakan banget… Jadi ingat mau mampir laundry, ingatkan nanti ya, Ra…”
“Siap pak dokter…”
Telingaku gak salah menangkap kan… tadi itu dia menyebutkan dengan “Ra” aja? Ahh Petra kenapa harus kayak Jerol sih? Batin Fou terusik.
“Petra aja, Ra… atau kalau kamu mau, panggil JP aja kayak teman dekatku yang lain…”
Aku, kamu, Ra, JP, teman dekat… kata-kata ini melintas di kepala Fou. Apa ini telah jadi sebuah pertanda ke mana arah hubungan ini? Tapi ini masih prematur… frasa ‘teman dekat yang lain’ yang terdengar tadi menjadi palang bagi hati Fou untuk meningkatkan pengharapannya. Pikirannya yang sudah terbentuk dengan data valid dan kebenaran yang konsisten… menghitung secara teknis dan mekanis… selalu dengan konstruksi berpikir logis, analitis, sistematis dan kritis.
Dan mengenai Petra yang sekarang, masih berdasarkan dugaan, perkiraan atau kesan. Fou mengarahkan hati dan pikirannya ke realitas sekarang. Dia tidak boleh memutuskan sesuatu hanya berdasarkan gejala yang tampak.
“JP itu singkatan nama Petra ya?”
“Iya… Jentezen Petra…”
“Oh…”
“Mami papiku memanggilku dengan nama pertama, tapi aku lebih suka nama keduaku, lebih mudah diucapkan, hehe…”
“Oh…” Hanya sebuah suku kata lagi keluar dari mulut si bu guru.
“Ra… kita keasyikan ngobrol… supermaketnya udah kelewat jauh… hahaha…”
Fou memperhatikan jalan, benar saja… ini sudah dekat dengan rumah sakit si tempat si pak Dokter berdinas malahan. Fou hanya bisa tersenyum saja mendapati hal itu.
“Sebentar ya, kita harus putar balik…” Kepala Petra memutar memperhatikan muka dan belakang mobil melihat peluang di antara banyaknya mobil yang lalu lalang.
Di supermarket, Fou berjalan canggung di dekat Petra yang mendorong trolly paling besar. nampaknya dia akan berbelanja bulanan. Dan benar adanya, setiap item barang dia memilih kemasan besar, ada yang dalam jumlah banyak. Entah apa semua yang dibeli. Fou jadi tahu dengan mengamati isi trolly itu betapa ribetnya urusan harian dokter ini, beragam kebutuhan saniter, toiletries, dan semua jenis perawatan tubuh masuk ke troly.
Fou sempat mengeluh dalam hati, dia terbiasa belanja di Indo maret kadang hanya sachetan, setelah habis tinggal beli lagi. Jadi menyadari bahwa perawatan dirinya terlalu simple padahal dia perempuan. Lotion aja kadang dia gak pakai dan si dokter ini body lotion sama hand lotionnya beda.
Astaga... Apa aku kelihatan burik ya di mata Petra? Keluh Fou.
“Ra? Mau beli sesuatu? Biar sekalian di kasir…”
Ini maksudnya mau sekalian membayarkan? Fou otomatis menggelengkan kepalanya.
“Kita beli es krim ya?” Tanpa persetujuan dari Fou si JP ini membelokkan trollynya singgah ke area frozen food dan berhenti di bagian es krim.
“Mau rasa apa, Ra?”
“Eh… terserah aja…” Fou menjawab singkat.
“Hehe… kamu kayak gak berminat…. Aku lupa kamu bukan anak kecil… haha…”
Fou hanya tersenyum, dia sedang mengikuti alur dan sedikitnya otaknya mulai menganalisa kepribadian si dokter ini dengan apa yang dia lihat sekarang. Si dokter bukannya mengambil es krim satuan tapi memilih di antara kemasan box.
”Penyuka es krim ya? Ambilnya banyak begitu?” Fou mengomentari saat melihat lima box es krim beberapa rasa masuk ke trolly…”
“Iya… makanan manis ini pelarian saat capek dengan tugas-tugas… cepat mengembalikan mood aku, hahaha… aku yang anak kecil di sini... hahaha… Nanti kita makan di mobil ya…”
Fou hanya mengangguk saja. Fou memindai Trolly besar yang sudah penuh termasuk dengan segala macam makanan, Fou membayangkan bahwa itu mungkin setengah gajinya. Fou meringis.
Di mobil… bukannya kembali ke rumah, Petra justru mengarahkan mobil ke ruas jalan yang mengarah ke pinggiran pantai. Fou diam gak ingin bertanya, bibir Fou keluh saat melihat satu sisi kehidupan sang dokter.
“Kita makan es krimnya di sini ya…”
Petra memarkir mobil tepat di sisi jalan yang dekat dengan bibir pantai. Petra turun dan membuka bagasi mobil, mengambil sesuatu di sana lalu melongok ke dalam.
“Ra… turun, yuk… makannya di luar…”
Fou turun. Petra sudah duduk di tanggul dan sedang membuka kemasan.
“Minta tissue Ra… ada di dashboard…”
Petra tidak jaim lagi sepertinya, telah memperlakukan Fou sebagai teman dekat… Dan ini adegan di drama mana ya, mereka berdua duduk di tanggul pembatas jalan, menikmati malam hari yang bertaburan bintang, dengan sekotak es krim dan dua buah sendok…
.
.
Hi…. Bril bentar malam yaaaa…. 🫠
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
jie ung
jadi pingin jalan2 ke manado...
2023-04-10
2
Emi Yuliana
udaah sma jp aj jarol seenaknya sndri aj
2023-04-10
1
ein
ehmm sekotak eskrim berduaa..😋😋
2023-04-10
1