Kini perempuan yang tadi basah kuyup itu sudah ganti baju dan duduk di depan cermin. Sementara sang suami juga sudah duduk di ranjang memperhatikan dirinya lewat pantulan cermin.
"Dik Chanda, maafkan Mas," begitu kata Ibra memecah keheningan.
"Aku tidak bermaksud membawanya ke sini, hanya saja, jika aku tidak menolongnya, lalu pada siapa dia akan meminta bantuan," sambung lelaki itu.
"Apa tidak ada teman ataupun siapa, selain dirimu?" tanya Chandani dengan kesal.
Jujur saja, wanita itu masih sangat marah akan sikap keterlaluan sang suami yang tega membawa wanita lain ke dalam rumahnya. Ya, dia tahu, dia tak dicintai oleh sang suami. Tapi, apa salahnya menghargai keberadaanya yang berstatus sebagai seorang istri.
Sungguh wanita cantik itu tak mengerti dengan apa yang dipikirkan sang suami. Jika saja dia sudah tak punya akal, ia akan mengusir dengan tak baik-baik perempuan s e k s i yang di bawa lelakinya itu.
Ibra menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sampai membuat senyum sinis terbit di bibir Chanda. "Bukannya anak orang kaya banyak temannya ya?" tanyanya lagi masih dengan nada kesal.
"Semua temannya di ketahui ayahnya, Dik. Dan hanya aku yang tidak di ketahui oleh orangtuanya," begitu jelas suami dari Chandani itu. Entah kenapa, Ibra merasa sangat bersalah. Namun, bagaimana saat dia juga tidak bisa membiarkan Jilan sendirian mencari tempat persembunyian. Ya, Jilan kabur saat ada acara makan malam bersama seseorang yang akan dijodohkan dengan wanita itu.
Chandani mengangguk, "jadi, pacar Mas kabur?" tanyanya menoleh ke arah sang suami.
"Iya, dia tidak mau di jodohkan."
"Ya Allaah, kenapa dulu kamu tidak seperti itu saja, Mas. Biar cocok," Chandani menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh pacar dari suaminya itu. "Jadi tidak perlu menyakiti hati seorang perempuan yang seperti aku," sambungnya.
"Maafkan Mas, Dik Chanda. Aku bisa apa, saat orangtuaku memilihmu, dan tidak membiarkan aku untuk mencari pasangan sesuai pilihanku. Bukan apa, Dik Chanda. Tapi, Jilan adalah wanita yang menjadi cinta pertama bagiku, dan jujur saja, susah untuk lupa," begitu jelas Ibra.
Wanita cantik yang sudah memakai jilbabnya kembali kendati rambutnya basah itu mengangguk. Ya, dia mana tahu pasal cinta. Selain cinta terhadap ibu panti dan adik-adik saja. Jadi sekarang, dia tidak tahu apa rasa yang ia punya saat merasa kesal karena suaminya membawa wanita lain. Ia pikir, dengan memberi hadiah, berarti dia sudah mulai berubah. Tapi pada kenyataannya, justru malah sebaliknya.
"Dik, kamu pernah bilang 'kan kalau aku boleh bertemu dengannya asal aku memperlakukan dirimu dengan baik bukan," ucap Ibra lagi.
"Tapi, tidak di bawa ke sini juga, Mas," sergah Chandani.
"Ya, terus aku harus bawa dia ke mana. Ke Hotel jelas akan mudah di ketahui," lanjut Ibra.
Chandani mengembuskan napas kasarnya, lantas dia diam ditempatnya tanpa satu katapun yang terucap.
...----------------...
Paginya, siapa sangka, tiba-tiba Ibra dan Chandani kedatangan tamu, yang mana tamu itu adalah mama Lili. Tentu saja kedatangan wanita paruh baya itu langsung membuat Ibra dan Chandani kalang kabut, lantaran bingung harus mengatakan apa pasal keberadaan Jilan di rumah mereka.
"Dik, bagaimana ini?" tanya Ibra bingung, saat ini mamanya tengah ngobrol di depan dengan seseorang yang lewat, mungkin mereka berdua sudah lama kenal dan baru kembali bertemu.
Chandani yang saat ini berwajah kesal itu hanya mengedikan bahu, padahal jujur saja akibat dari suaminya yang membawa wanita lain ke dalam rumah membuatnya ikutan pusing saat ini.
Sementara Jilan yang baru bangun dan keluar dari kamar tamu, bingung dan menggaruk kepalanya. "Ada apa, Ib? Kenapa kalian berdua ada didepan kamar," tanya wanita itu dengan muka bantalnya.
Chandani mengembuskan napas kasar, "di depan sekarang ada mama dari suami aku, dan kamu masih di sini. Jadi, nanti kalau mama masuk, kamu harus diam dan menurut apa yang aku katakan, jangan sampai memberitahu mama Lili kalau kamu adalah pacar dari suami saya. Ngerti!" tegas wanita itu dengan menekan kata 'suami' pada wanita yang saat ini tengah merengut itu.
Ibra yang berdiri memandang dua wanita itu hanya mampu menelan ludahnya dengan kasar. Sungguh, ia tak pernah menyangka jika gadis yang ia nikahi akan seberani itu pada orang yang sangat ia cintai.
"Assalamu'alaikum," suara mama Lili terdengar.
"Wa'alaikumsallam," jawab Ibra dan Chandani bersamaan.
"Sekarang kamu masuk dulu, nanti aku panggil untuk keluar," perintah Chandani lagi pada wanita itu, tak lupa tangannya mendorong tubuh mungil Jilan.
Setelah memastikan Jilan masuk, wanita cantik yang pagi ini memakai jilbab abu muda itu menggandeng tangan sang suami menuju ke depan, menyambut kedatangan sang mama mertua.
"Loh, ini dia couple kesayangan mama," ucap mama Lili penuh dengan bahagia. "Kenapa nggak keluar dari tadi, kalau dari tadi 'kan mau mama kenalkan dengan teman mama," sambung wanita paruh baya itu.
Chandani lantas melepas tangannya dari genggaman dan menyalami tangan mama mertuanya itu. "Mama sendirian?" tanyanya dengan nada lembut.
"Iya, kamu belum berangkat Ib?" tanya mama saat kini sang putra yang menyalaminya.
"Mmm, sebentar lagi, Ma. Setelah sarapan," jawab sang putra.
"Wah, belum sarapan. Pas sekali, ayo kita sarapan bareng-bareng," ajak mama Lili dengan merangkul sang menantu.
Ibra hanya bisa nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lantas pria itupun mengikuti langkah dua wanita yang tengah tertawa sembari berjalan menuju ruang makan.
"Kamu nggak masak, 'kan?" tanya mama Lili saat sudah duduk di kursinya.
"Tidak, Ma. Aku tidak di bolehkan masak," jawabnya bohong. Padahal pagi tadi ia bangun pagi demi untuk memasak sarapan.
Ibra menggeleng pelan kepalanya, ia pikir wanita itu akan memberitahu bagaimana dirinya bekerja di rumah sebesar ini, kendati memang tak di suruh. Tapi ternyata, perkiraannya salah semua. Wanita yang berstatus istrinya itu bahkan menceritakan dirinya dengan begitu baik.
"Alhamdulillah, Ma. Mas Ibra baik sekali, bahkan sampai membelikan aku mesin jahit, agar aku tidak bosan katanya di rumah sebesar ini," katanya memberitahu.
"Mas Ibra juga tidak pernah pergi, Ma. Seusai kerja selalu langsung pulang, bahkan sampai rumah selalu membawakan mie ayam kesukaan aku yang di perempatan panti," kata Chandani lagi.
"Benarkah?" tanya mama Lili tak percaya. Chandani mengangguk. "Ya Allaah, alhamdulilah kalau gitu, mama ke sini memang untuk melihat bagaimana keadaan rumah tangga kalian," sambung wanita paruh baya itu.
"Oh iya, sebentar Ma. Kemarin teman aku datang, menginap di sini, aku panggilkan dulu ya." pamit Chanda seraya beranjak dari duduknya.
"Siapa?" tanya mama yang tak lagi di jawab oleh sang menantu, lantas wanita itu menatap sang anak. Ibra hanya menjawab dengan mengedikan bahu, pura-pura tidak tahu.
"Ini dia Ma, kenalin. Namanya Jilan." katanya saat dia sudah datang lagi dengan wanita yang kini sudah terlihat rapi walaupun bajunya belum ganti.
"Jilan, kenalkan, ini Mama Lili, mertuaku. Ma, ini Jilan, teman aku," katanya dengan senyum remeh saat melihat ke arah Jilana, dan senyum manis saat melihat ke arah sang mama mertua.
"Oh, Jilan. Kayak pernah dengar," begitu ucap mama Lili saat Jilana mengangguk ke arahnya. Bahkan gadis itu tidak ada inisiatif nya untuk sekedar salim.
"Ya sudah, sekarang kita sarapan ya, ayo Jilan duduk di sini," Chandani menarik kursi dan memaksa agar wanita itu duduk di sana, di dekat mama Lili.
"Mas Ibra, ayo, kamu duduk di sini." Chandani lantas menarik kursi di sebelahnya. Tentu saja dengan gerakan mata yang memaksa, yang mana lantas membuat Ibrahim bak robot yang langsung memutari meja dan duduk di sana. "Makasih, Dik." kata Ibrahim saat sudah duduk.
"Sama-sama, Sayang," Chandani tersenyum dan duduk di sebelah sang suami, berhadapan langsung dengan Jilan yang saat ini menatap nya penuh emosi.
"Seneng deh, lihat kalian kayak gini, jadi ingat waktu mama dan papa saat muda dulu," kata mama Lili degan menyangga dagunya dengan telapak tangan yang mengepal.
Chandani tersenyum malu-malu, "mama bisa aja, Mas Ibra memang se manis ini Ma. Dia selalu menurut apa kata istrinya," katanya seraya melirik kesal Jilana.
Ibrahim hanya bisa tersenyum mengangguk dengan apa yang di katakan sang istri, walaupun entah kenapa saat Chandani mengatakan demikian, ia merasa tengah tersindir dengan perkataan wanita itu. 'Mungkinkah, selama ini, itu yang dia inginkan,' begitu ucap lelaki itu dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Saya Siapa?
bner can merka psngan yg ccok
2023-05-22
0