Sungguh, kaku sekali lidah Ibra saat harus memanggil Chanda dengan sebutan Dik. Seperti sekarang ini, mereka tengah makan malam dan Ibra menginginkan lauk yang tidak jauh dari Chanda.
"Mmm, Dik, tolong, Mas mau yang itu," ucap Ibra pada Chandani yang duduk di sebelahnya. Ia menunjuk capcay kesukaannya.
"Kenapa, Mas," Chandani pura-pura tidak mengerti. Ibra berdehem dan menunjuk ke arah capcay.
"Oh, Mas mau capcay, sebentar," Chandani berdiri dan mengambilkan nya untuk sang suami.
"Cukup, Mas, atau mau lagi capcainya?" tanya Chanda pada Ibra yang tengah mendongak menatapnya. "Cukup, Dik," jawab Ibra.
Chandani lantas menaruh piring capcay dan duduk di kursinya kembali.
Ibu Lili tersenyum, saat mendengar panggilan Ibra pada Chandani. Menurutnya itu adalah panggilan sayang. Ibu Lili sampai mencubit gemas perut papa Ahmad yang duduk di sebelahnya. sang suami yang menyadari itu hanya bisa mengusap perut nya yang terasa panas. Karena cubitan dari isteri nya itu sedikit tapi kencang. Bisa di bayangkan bukan sakitnya.
Setelahnya semua makan dengan diam, sesekali Ibra mengerling ke arah Chanda yang makan dengan diam tak melirik siapapun.
..._-_-_-_-_...
Usai makan, Ibra dan papanya langsung beranjak dari kursi mereka. Ada yang ingin mereka bicarakan, sedangkan Chanda langsung membereskan meja makan. Walaupun sudah di larang oleh Ibu Lili, namun ia tetap melakukanya.
"Tidak, apa-apa, Ma. Aku biasa melakukan ini. jadi, kalau tidak seperti ini rasanya akan sangat aneh," begitu ucapnya saat di larang oleh sang mertua. Yang akhirnya ibu Lili meninggalkannya bersama bibi Nunik.
"Sudah, Non, biar sama saya saja," ujar Bu Nunik tidak enak, saat sang menantu majikannya ikut membereskan ruang makan dan dapur.
"Tidak, apa-apa, Bi. Aku biasa melakukan ini, di panti," jawab Chanda jujur.
"Non, benar-benar baik. Tidak heran kalau Ibu Selalu bercerita tentang kebaikan Non setiap hari," ujar bibi Nunik, tersenyum di sebelah Chandani.
Wanita itu menoleh dan tersenyum, "benarkah bi, Mama selalu cerita tentangku?" tanya Chanda penasaran.
"Benar Non, di depan Aden Ibra dan Bapak, Ibu pasti cerita tentang Non. Katanya, Non pintar sekali menjahit, benarkah, Non?" tanya bibi Nunik.
Chandani mengangguk, "masih sedikit-sedikit, Bi. Soalnya tidak sekolah menjahit hanya melihat dari tetangga saja," begitu jelas Chandani.
"Wah, hebat dong. Bibi dulu padahal pernah bekerja di konveksi Non, tapi tetap saja tidak bisa," seloroh bibi Nunik.
"Oh, ya?" tanya Chandani yang tangannya masih sibuk mencuci piring.
Keduanya sibuk bercerita sampai tidak menyadari ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka, khususnya Chandani. Tadinya, Ibra ingin mengambil minum. Namun, urung demi untuk mendengarkan sang istri yang tengah bercerita dengan bibi Nunik.
Ibra tersenyum, dalam otaknya terselip ide untuk istri yang tidak ia cintai itu. Mungkin, bisa untuk kegiatan Chanda nanti saat mereka sudah menempati rumahnya.
Ibra masih di sana sampai kini Chandani sudah ada di depannya, "Mas, membutuhkan sesuatu?" tanyanya. Ibra terkejut saat tiba-tiba wanita berjilbab itu sudah ada di depannya.
"Hah!" Ibra menggaruk kepalanya, "tidak. Aku_"
Ucapan Ibra terhenti saat Chandani mengingat kan dirinya untuk menyebut dengan mas, bukan aku. "Mas!"
Ibra mengembuskan napas kasar. "Mas hanya mau mengatakan kalau, Mas sudah bilang sama Papa, kita bisa pindah ke rumah kita besok pagi, setelah sarapan," ujar Ibra dengan sangat terpaksa.
Chandani mengangguk, "baiklah. Sekarang kita bisa istirahat?" tanyanya dengan senyum yang manis.
Ibra mengangguk, "Dik Chanda naik dulu, Mas ambil air minum," kata Ibra.
Chandani tersenyum dan mengangguk. lantas ia pergi dari sana. Meninggalkan Ibra yang kesal dan Bibi Nunik yang tersenyum lucu.
"Permisi, Den," pamit bibi Nunik dari sana.
Ibra hanya mengangguk. Setalah nya ia mengembuskan napas kasar dan benar-benar mengambil air minum, untuk ia bawa ke kamarnya.
..._-_-_-_-_...
Ibra masuk ke dalam kamar, ia bisa melihat Chanda yang tengah bersimpuh di atas sajadah dengan Al-Qur'an di tangannya. Lantunan ayat yang di baca wanita itu membuat dia memelankan langkah. Ia bahkan menaruh gelas dan wadah air nya dengan pelan. Tak ingin mengganggu istrinya yang tengah mengaji.
Ibra lantas duduk di sofa, menyandarkan kepalanya ke belakang dan memejamkan mata. Mendengarkan, menikmati setiap lantunan yang terdengar. Bibirnya tersenyum, rasanya begitu damai saat mendengar suara indah sang istri.
Bahkan ia sampai lupa pada pesan-pesan yang masuk begitu banyak di ponselnya. Melupakan janji temu dengan sang kekasih yang sudah menunggunya di suatu tempat.
Membuat Ibra lupa segalanya. Yang jelas suara indah itu begitu nyaman di pendengaran Ibra. Begitu menenangkan sampai akhirnya ia terbang ke alam mimpi.
Sementara itu, Chanda kini sudah selesai mengaji. Ia menaruh Al-Qur'an kembali di atas meja setelah menciumnya.
Beranjak dari sana dan mendapati Ibra yang tertidur di sofa. Iseng-iseng, Chandani mendekat menatap lama wajah yang ... tampan. Ya, ia mengakui kalau wajah Ibra memang tampan. Wanita itu tersenyum, lantas ia duduk di sofa di sebelah Ibra.
Dengan perasaan deg-degan dan tidak karuan. Chandani mencoba untuk merebahkan kepalanya yang masih terbalut jilbab di pangkuan sang suami. Pelan-pelan dan akhirnya, bug. Kepalanya sudah mendarat di paha Ibra. Chandani langsung memejamkan matanya, ia tak mau melihat Ibra, karena kini ia merasakan kalau Ibra bergerak.
Namun sepertinya Ibra hanya menggeliat, karena setelahnya tidak ada pergerakan lagi. Chandani tersenyum lantas dengan pelan ia mencoba untuk memiringkan kepalanya, memunggungi Ibra.
Sedetik, dua detik. Satu menit, dua menit, akhirnya Chandani terlelap di pangkuan Ibra, suaminya.
Ibra tertidur dengan posisi duduk menyandar dan Chandani tertidur dengan meringkuk ber-bantal-kan paha sang suami.
Sampai entah pukul berapa, yang jelas tengkuk Ibra terasa sakit, yang akhirnya membangunkan dirinya, namun seketika ia melebarkan kelopak mata saat melihat seseorang tengah tertidur dengan pulas di atas pangkuan.
"Chanda," gumamnya.
Ibra membenarkan duduknya dengan pelan, ia tak ingin membangunkan Chandani yang terlihat begitu pulas. Netranya melirik jam dinding, "baru jam satu," gumamnya lagi.
Padahal jujur saja, sekarang kaki Ibra tengah kesemutan, namun, jika untuk membangunkan Chandani rasanya tidak tega.
"Berani, juga kamu Chand," ucap Ibra lagi. Ia masih betah memandangi wajah Chandani yang kini tertidur dengan posisi miring mengarah ke perutnya.
"Cantik. Sayangnya rasa cinta itu tidak bisa datang hanya karena melihat kecantikan. Apalagi cinta pertama, susah untuk di lupakan Chand," ujar Ibra pada wajah ayu yang kedua netra nya terpejam.
Ia mengulas senyum, pada wanita yang sudah mengajukan syarat aneh padanya itu. Sedikit tertawa karena ternyata istrinya seberani itu.
"Semoga kamu tidak sakit hati, saat nanti keinginanmu tidak sesuai dengan kenyataannya Chand. Karena untuk melupakan Jilan sungguh susah, bahkan selama ini aku tidak pernah jatuh cinta ke dua kalinya, setelah pada Jilan. Dia tetap yang aku cintai Chand." Kata Ibra.
Ia mengusap pelan puncak kepala Chanda yang tertutup jilbab. Tersenyum pada istri nya. Istri yang tidak ia cintai. Karena nyatanya, cinta nya tetap pada Jilan nya, cinta pertamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Bidan Simba
NT kamu akan lupa sama kekasih dan mencintai yg halal
2023-04-03
1