Bab 3 : Menuju Akad

Chandani lantas membantu Ibu Seruni membereskan meja di ruang tamu. Membawa cangkir yang sudah kosong ke dalam. Ibu Seruni mengikuti langkah Chanda sampai tiba di dapur. Chanda yang tahu kalau Ibu Seruni mengikuti nya, ia lantas membalikan badannya, begitu nampan dan para gelas sudah di taruh di bak cuci.

"Kenapa, Bu?" tanya Chanda heran pada Ibu Seruni yang mengikuti dirinya.

"Apa, kamu menerimanya dari hati, Nak?" tanya balik Ibu Seruni.

"Kenapa ibu bertanya seperti itu? Bukan kah, Ibu ingin melihatku menikah?" wanita muda itu kembali bertanya.

Ibu Seruni mengangguk, "benar, Nak. Tapi, jika kau merasa terpaksa, Ibu jadi merasa bersalah," kata Ibu Seruni.

Chandani tersenyum, "Ibu tenang saja, aku tidak merasa terpaksa. Aku memang sudah menyerahkan segalanya pada Allah, jadi, aku yakin kalau apa yang ibu inginkan, itu adalah yang terbaik untukku," ujarnya.

"Peluk ibu, Nak," ucap Ibu Seruni. Sembari merentangkan tangannya. Chanda menyambut senang pelukan hangat dari seorang ibu itu. Ibu yang selama 25 tahun ini berada di sampingnya. Menyayangi nya.

"Semoga, Nak Ibra jadi jodoh yang bisa menuntun mu menuju Surga 'Nya ya Nak," ucap Ibu Seruni di sela pelukannya.

"Aamiin, aamiin ... Ya Allaah, semoga doa ibu tercintaku ini, di kabulkan oleh Allah SWT." Jawab Chanda dengan kristal bening yang menetes begitu saja dari netra cantik nya.

..._-_-_-_-_...

Kini, Chandani sudah kembali ke rutinitas yang tertundanya. Yaitu menjahit. Masih ada beberapa baju orang yang harus ia garap. Ada yang di potong bagian bawahnya, ada yang harus di kecilkan, ada juga yang di tambal, karena beli baju yang sudah jadi dan kekecilan. Begitu biasanya kata sang pemilik baju.

Chandani sibuk dengan kegiatannya, sampai tak terasa waktu kini sudah siang. Adzan dzuhur berkumandang. Ia langsung memberhentikan kegiatannya, berucap syukur dan menjawab Adzan yang tengah terdengar indah di telinga. Bibirnya tersenyum, mengingat senyum bahagia Ibu Seruni tadi saat dirinya menerima lamaran dari Ibu Lili.

Chandani masih berharap kalau keputusan nya ini adalah yang terbaik untuknya.

Setelah adzan selesai di kumandangkan, ia lantas beranjak dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi. Mengambil wudhu dan bersiap-siap untuk shalat.

Kegiatan sehari-hari Chanda memang seperti itu, sedangkan Ibu Seruni, biasanya jika siang seperti ini, Ibu Seruni masih di kebun belakang panti. Dan sebentar lagi pulang dengan berbagai sayuran.

Shalat selesai. Kini, Chanda tengah menunggu para adik-adik nya pulang dari Sekolah. Sembari menyiapkan makan siang untuk para adik-adik agar merata dan tidak saling berebut.

Dan, benar saja. Setelah ia selesai menyiapkan segalanya, para adik-adik yang kini sudah Sekolah di sekolah dasar dengan berbagai kelas itu sampai. Ramai riuh para adik-adik. Salim dan mencium punggung tangannya.

"Sekarang, kalian harus ganti baju, setelahnya makan, ok!" perintah Chandani.

"Siap, Kak!" jawab mereka hampir bersamaan.

Chandani tersenyum, begitu bahagia dirinya, saat suasana ramai oleh anak-anak yang penuh dengan rona bahagia. Tidak pernah memikirkan kesedihan tentang di mana orang tua mereka. Padahal, banyak dari mereka yang ditinggal begitu saja di jalan, tanpa surat apalagi baju. Tidak seperti dirinya.

Jadi, apakah dia harus nya merasa bersyukur karena di taruh dengan baik di depan panti?jawabnya tetap tidak. Sebaik apapun perlakuan ibunya saat menaruhnya di depan panti, menurut Chanda tetap lah salah. Karena nyatanya, ia tetap menginginkan ibu kandungnya.

Walaupun kenyataannya, ia tidak pernah bertemu barang sekalipun dengan sang ibu kandung. Padahal dirinya sengaja berada di sana sampai kini sudah berusia 25 tahun. Dulu, Chanda selalu berharap kalau ibunya datang menemui nya, dari itulah ia tak pernah mau jika ada yang menginginkannya untuk di angkat sebagai anak.

Tapi, kini ... harapan untuk nya bertemu dengan sang ibu kandung hilang sudah. Chanda tak lagi berharap. Ia sudah pasrah. Jika di takdir kan bertemu, pasti suatu saat nanti akan bertemu. Pun begitu sebaliknya, jika tidak di takdirkan, mungkin sampai akhir nafas nya pun, ia tidak akan bertemu dengan sang ibu kandung.

..._-_-_-_-_...

Hingga akhirnya, hari Jumat pun datang. Gadis dua puluh limat tahun itu tengah duduk di kamarnya, degan balutan gamis dan jilbab putih, serta mahkota di atas jilbabnya.

Ia tengah membuka kembali kertas dari ibunda nya, juga mengambil kalung berliontin love itu.

"Bu ... Chanda akan menikah, apa ibu di sana tahu, kira-kira seperti apa wajahmu bu."

Menetes lah bulir bening dari netra cantik Chanda. Mungkin mulutnya bisa, mengatakan kalau ia tidak akan lagi mengingat ibunya, nyatanya, hatinya tetap saja menginginkan ibunya.

Tok ... tok ... tok.

Kamar Chanda di ketuk dari luar. Lantas, Chanda buru-buru menaruh surat dan liontin itu. Ia masih duduk di depan meja kecil, di lantai. Lalu, ia segera menghapus bulir bening yang membasahi pipinya.

"Siapa? Masuk saja," ucap nya sembari memasang senyum pada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Walaupun ia yakin sekali, pasti ibu Seruni.

Ceklek! Pintu di buka. Munculah wajah wanita paruh baya yang begitu di sayangi anak-anak.

"Nak," panggil ibu Seruni.

"Kamu, sudah siap?" tanya ibu Seruni lagi saat kini sudah masuk ke kamar Chanda.

Chanda mengangguk, "In Syaa Allaah, siap Bu." ia lantas berdiri dari duduknya.

"Ayo," ajak Ibu Seruni. Ia menggandeng tangan mulus Chanda keluar dari kamarnya. Perempuan itu menurut, ia berjalan dengan pelan.

Dan saat tiba di depan rumah, Chanda memberhentikan langkahnya. Yang langsung membuat Ibu Seruni berhenti juga, lalu menoleh ke belakang. "Ada, apa, Nak?" tanya ibu Seruni.

Chandani menelan ludahnya kasar, "apa tidak akan mungkin, untukku bertemu dengan Ibuku, Bu?"

Ibu Seruni membeku. Lalu ia menangkup wajah Chandani. "Nak, ibu mu adalah aku. Walaupun aku tidak melahirkan mu, tapi percayalah, rasa sayang ibu padamu lebih dari siapapun," ujar Ibu Seruni dengan lelehan air mata.

Chandani lantas memeluk ibu Seruni, "terimakasih banyak bu," ucap nya.

"Jangan berterimakasih, Anakku. Cukup kau bahagia, maka, ibu lebih dari mendapat terimakasih darimu," begitu ujar Ibu Seruni.

"Sudah, cukup. Kini, saatnya kamu memulai hidup barumu." Ibu Seruni mengurai pelukan nya dan menghapus pipi Chandani yang basah.

"Ibu ber-do'a, setelah ini, saking bahagianya kamu bahkan tidak akan mengingat bagaimana rupa ibumu, kamu hanya akan mengingat kalau kamu tetap menyayangi ibu mu, di manapun ibumu berada. Karena, se-bagaimana pun ibumu memperlakukan mu, dia tetap ibu kandung mu. Ibu yang sudah susah payah mengandung dan melahirkan mu." Chandani mengangguk, lalu tersenyum. Ya, benar apa yang di katakan ibu Seruni.

"Ayo, kita sudah di tunggu di Masjid."

Lalu keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju Masjid, tempat di adakan nya ijab kabul.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!