Bab 18 : Suapan Untuk Ibra

"Nak, kamu cantik sekali," puji ibu Seruni yang ternyata mengikuti langkah Chandani masuk ke dapur. Tentu saja, wanita itu lantas menoleh ke arah sang ibu kesayangan.

Chandani tersenyum, "terimakasih, Bu. Pasti aku secantik ibu saat muda dulu," begitu jawabnya.

"Iya, kamu secantik ...," ucapan ibu Seruni menggantung. Dia sedikit mengingat beberapa hari yang lalu. Namun, ia segera melupakannya.

"Ekhem," ibu Seruni lantas berdehem. "Mmm, itu teman kamu, atau teman suami kamu?" tanyanya lagi. Memang itu yang ingin wanita paruh baya itu tanyakan, karena rasanya sangat aneh jika memang teman Chandani, kenapa malah terlihat lebih akrab dengan Ibra. Begitu yang tertangkap di dalam pikiran wanita paruh baya itu.

"Itu teman aku, Bu. Hanya saja memang lebih dulu kenal dengan Mas Ibra, tidak apa 'kan kalau dia di sini sementara, soalnya ... ada sedikit masalah yang tidak bisa Chandani ceritakan, bu," jawab wanita itu akhirnya.

Ibu Seruni mengangguk, "iya. Tapi ... tidak ada kaitannya dengan polisi 'kan, Nak?"

Chandani tertawa, "tidak ada, Bu. Masalahnya bukan sama polisi atau rentenir, ibu tenang saja," ucap wanita itu seraya mengusap lengan ibunya. "Sudah, ibu temani saja Mad Ibra dan Jilana, Chandani selesaikan membuat minuman dulu ya," sambungnya.

Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk, lantas ia memutar tubuh dan pergi dari sana. Meninggalkan Chandani yang sendirian di dapur.

...----------------...

Sementara itu, Jilana tengah terlihat kesal dengan Ibra. "Kamu gimana sih, Ib. Masak aku harus tinggal sama anak-anak kecil, berisik lah."

Ibra menarik napas dan mengembuskan nya perlahan, "tapi nggak ada tempat lain lagi, selain di sini, Ji," katanya dengan pelan.

"Tapi kamu tahu 'kan, aku sudah rindu dunia malamku, kalau di sini aku akan semakin tertekan," kata Jilan lagi tak terima.

"Terus kamu maunya gimana? Mau balik aja, bisa saja 'kan, orang suruhan ayah kamu nyari ke rumah aku, secara semua yang dekat denganmu tahu tempat tinggal ku," begitu ucap Ibra lagi dengan bisik-bisik. "Sudahlah, kamu coba dulu di sini, siapa tahu kamu betah," sambung pria itu.

"Terus kita gimana? Aku nggak mau ya, kamu berduaan di sana sama istri kamu, terus aku di sini sendirian," Jilana masih kesal.

Baru saja mulut Ibra akan kembali terbuka, namun ia mendapati ibu panti keluar, jadi dia mengurungkan apa yang ingin ia katakan. Lantas, ia pura-pura menggunakan ponselnya demi membuat wanita paruh baya itu agar tak curiga, kalau dirinya baru saja ngobrol dengan Jilana.

"Nak, Jilana ... umur berapa?" tanya ibu Seruni saat baru saja duduk kembali di kursinya.

"Tiga puluh," jawab Jilana.

Ibu Seruni mengangguk, "oh, pantesan tetap terlihat muda Chandani. Ternyata memang lebih sedikit ya umurnya," ucapnya.

"Maksudnya apa? Aku kelihatan tua?" tanya Jilana dengan kesalnya.

"Maksudnya, Kak Jilan terlihat lebih dewasa," ujar Chandani yang baru datang dengan nampan berisi tiga gelas diatasnya.

"Iya, itu yang ibu maksud," kata ibu Seruni.

Ibra dan Jilan lantas diam.

"Silakan diminum, Bu, Mas, Jilan," kata Chandani mempersilahkan, lantas ia duduk disebelah sang suami.

"Jilan, di sini lah tempat tinggal ku, ini adalah ibuku, jadi, kamu tidak perlu khawatir untuk tinggal di sini," begitu kata Chandani. "Dengan kamu di sini, kamu jelas akan tahu, bagaimana aku bisa tumbuh sekuat dan seberani ini, dan ini semua karena ini," tangan Chandani mengusap lengan Ibu Seruni, "karena ibu terhebat ku, dan aku berharap, setelah kamu juga tinggal di sini, kamu juga akan jadi wanita kuat dan berani seperti diriku, yang tidak mungkin lari dari masalah, apalagi kenyataan," sambung wanita itu.

Ibra menatap Chandani dengan heran, begitu juga dengan Jilana yang tidak mengerti maksud wanita itu. Namun satu yang ia tahu, kalau wanita yang bergelar istri dari kekasihnya itu ingin memberitahu dirinya kalau dia adalah wanita yang kuat. Sudut bibir Jilana naik ke atas karena kesal, namun tak terlalu ia tunjukan ke arah wanita itu, tentu saja ia seolah tak perduli. Walupun ia mengerti kalau nyatanya Chandani tengah menyindir dirinya yang pergi dari masalah. 'S i a l a n !' batin nya kesal.

Tak lama setelah ngobrol kaku, Chandani lantas mengajak sang suami untuk pulang. Tentu saja wajah Jilana terlihat memelas dan tidak ikhlas. Tapi, apa boleh buat, akhirnya dia pasrah berdiri di depan panti dengan ibu Seruni menyaksikan sendiri mobil yang membawa kekasih dan istri dari lelakinya itu pergi.

Entah apa yang akan Jilana lakukan sekarang, mungkin pulang dan menikah dengan Ardan adalah pilihan yang tepat, jika nanti ternyata tinggal di panti membuatnya kehabisan napas.

Bayangkan saja, dia adalah wanita yang tidak menyukai anak kecil, tidak suka di ganggu apalagi di atur. Lalu, jika tinggal di sana, dengan anak-anak dan dengan aturan panti, "Huh!" Jilana mengembuskan napas kesal. Namun setelahnya ia di ajak masuk oleh ibu Seruni, tentu saja walau dengan berat hati, wanita itu akhirnya menurut. Melangkahkan kakinya masuk.

...----------------...

Lain Jilana lain Chandani, saat ini dirinya tengah meminta untuk ditemani oleh sang suami untuk makan bakso favoritnya. Maklum saja, saat itu mood makannya sudah hilang, jadi ia ingin menggantinya dengan hari ini.

Duduk berhadapan dengan sang suami, dirinya memakan dengan lahap bakso dengan isian daging sapi cincang itu, tak memakai apapun. Hanya Baso dan kuah, dan itupun tanpa tambahan bumbu seperti kecap maupun saus, apalagi sambal. Chandani benar-benar menikmati bakso itu dengan khas.

"Nggak dikasih saus, memangnya enak?" tanya Ibra dengan heran.

Chandani mendongak, "cobain, Mas." ujar Chandani seraya menyodorkan sesuap bakso yang sudah dipotong. "Ayo, kalau kamu belum nyoba yang tanpa bumbu, kamu nggak akan tahu kalau bakso di sini sangat lezat," sambung Chandani.

Ibra menurut, ia memakan suapan dari istrinya itu. Mengunyah dengan pelan, 'ya, rasanya memang enak. Apalagi ditambah disuapi kamu, makannya jadi lebih enak,' begitu ucap Ibra dalam hatinya, matanya tak lepas dari wajah sang istri yang terlihat bahagia. Padahal, hanya diajak makan bakso di warung yang tak mewah, hanya warung bakso biasa.

"Gimana, enak 'kan?" tanya Chandani.

Ibra mengangguk, "iya, enak."

"Makanya, kalau mau tahu rasa bakso itu enak atau tidak. Mas pertama makan jangan pakai saus atau kecap, cobain yang polos dulu, baru tahu rasanya enak atau tidak. Untuk seukuran aku yang miskin, makan bakso di sini sudah paling istimewa loh, apalagi rasanya memang paling nikmat di sini, mengalahkan rasa bakso enak di tempat lain," kata Chandani dengan akrabnya. Membuat senyum di bibir Ibra semakin lebar.

Lelaki itu yakin, jika sudah lebih dekat lagi. Wanita di depannya ini akan lebih membuatnya asyik, karena obrolannya jelas akan banyak dan tidak melulu menusuk hati, tapi membahagiakan hati. Seperti saat ini, padahal sangat sederhana, tapi Chandani terlihat begitu bahagia.

Jadi, apakah ini sudah bisa disebut jatuh ke dalam jurang cinta yang halal? Ibra mengedikan bahunya, 'entahlah, ini perasaan apa. Yang jelas, jika saat ini aku di suruh melepaskannya, aku tidak mau.'

Terpopuler

Comments

Tyara Lantobelo Simal

Tyara Lantobelo Simal

Lanjut

2023-05-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!