Percayalah sudut hatinya merasa sakit. Saking sakitnya, mata itu sampai berembun. Menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, berharap sedikit saja ia merasa lega.
Di bukanya pintu besar tinggi berwarna putih di depannya, melangkahkan kaki kanan terlebih dulu dan, "assalamu'alaikum, warahmatullahi wabarakatuh," ujar nya sembari tangan kiri menyeret koper miliknya.
"Wa'alaikumsallam, Non Chandani ya?" tanya seorang wanita sekitar usia tiga puluhan lebih, baru saja keluar dari arah dalam.
Chandani mengangguk dan tersenyum, "iya, Mbak, saya Chandani," jawabnya.
"Panggil Bibi saja Non, mari, saya antar ke kamar." Ajak Bibi Titi.
Bibi Titi menunjukkan jalan menuju kamar yang ada di lantai dua, setelah meminta koper Chanda agar di bawakan juga olehnya. Namun, wanita yang tengah sakit hati itu menolaknya dan dia sendiri yang membawa kopernya menuju kamar yang di tunjuk oleh bibi Titi.
Melewati ruang tengah, yang bersebelahan dengan ruang makan, lalu menaiki tangga, Chanda yang kesusahan lantas di bantu oleh bibi Titi. Hingga sampailah di lantai dua rumah itu, di kamar paling pertama dari tangga.
"Ini, Non. Silakan, kalau perlu apa-apa, panggil saja ya Non. Saya ada di bawah," begitu ujar bibi Titi setelah sampai di depan pintu kamar bercat putih.
Chandani mengangguk, "makasih ya, Mbak. Boleh 'kan saya panggil Mbak saja, soalnya masih terlihat muda," begitu ucap Chandani.
Bibi Titi tersenyum lebar, "terserah Non saja kalau gitu, saya ini anaknya bibi Nunik, kalau Non Chandani pernah bertemu dengan ibu saya," kata bibi Titi.
"Oh, iya. Ternyata anaknya bibi Nunik," ucap Chandani sembari menganggukkan kepalanya.
"Jelas bertemu, Mbak. 'Kan saya baru saja dari rumah ibu Lili," ucap Chandani. "Ya, sudah, saya masuk ya Mbak," pamitnya pada wanita itu.
"Silakan-silakan. Saya turun kalau gitu, Non." Chandani mengangguk dan bibi Titi berlalu dari sana. Kembali menuruni tangga.
Wanita itu lantas membuka pintu kayu bercat putih di depannya, menyeret kopernya membawa masuk. "Assalamu'alaikum," ucap nya saat kakinya melangkah masuk. "Wa'alaikumsallam," jawabnya seorang diri.
Menutup kembali pintu dan menatap seisi kamar yang ternyata adalah kamar suaminya. Chanda lantas membiarkan kopernya dan melihat sekeliling. Ada meja panjang di sana, di mana di atasnya tersimpan rapi buku-buku panduan berbisnis. Lalu dia mendekat, melihat buku-buku yang tertata rapi, mengusapnya dan beralih ke foto-foto yang terpajang di dinding.
Ada beberapa foto saat suaminya masih SMA, ada foto perempuan berbalut seragam SMA juga, yang di mana di sebelahnya terpasang foto Ibra namun di tempat yang berbeda. Yang Chanda yakini itu adalah foto hasil editan.
Chanda tersenyum miring, "mungkin, dia lah kekasih suamiku," ucapnya menatap foto wanita cantik dan s e k s i berbalut seragam SMA. Bajunya ketat dan rok nya di atas lutut. Berdiri menonjolkan dada nya ke arah depan.
Lalu, Chanda beralih menatap satu set sofa. Ia lantas mendudukkan p a n t a t nya di sana. Sepi, hening. Ah, rasanya seperti ada di tempat yang paling asing, yang tidak menyenangkan. Yang membuat nya tidak betah seketika.
Rasanya tidak nyaman, namun setelahnya ia lebih memilih untuk mengaji, agar tak terlalu merasa bosan di kamar sendirian.
..._-_-_-_-_...
Sementara itu, di tempat lain.
Ibra sampai di sebuah Cafe, ia menemui Jilan yang kini tengah nongkrong dengan para teman-teman nya. Teman nya tidak hanya perempuan, namun lelaki juga.
Ibra langsung duduk di sebelah sang kekasih, setelah cipika-cipiki dulu dengan sang kekasih hatinya itu.
"Lama, banget lo Ib, semalam gue tungguin," ujar Carlo, temannya.
"Iya, semalam sibuk banget," kilah Ibra. Tidak mungkin 'kan dirinya mengatakan yang sebenarnya, kalau istrinya tertidur di pangkuannya dan dia tidak tega membangunkannya. Apalagi teman-teman nya tidak ada yang tahu kalau Ibra sudah menikah.
"Nggak asik, lo Ib. Semalam padahal lebih seru," ucap Laras yang duduk di sebelah Carlo.
"Iya, nih. Sibuk apa sih, sampai melupakan kekasih tercinta mu ini?" tanya Jilana yang dari tadi hanya diam dan tersenyum.
Ada sesuatu yang tengah mengganggu Jilana, itu sebabnya dia tengah tak terlalu mood duduk di sana. Namun jika di rumah pun ia tak betah. Berisik, penuh ocehan dari kedua orangtuanya.
Jilana padahal adalah anak dari orang yang lumayan berada, namun sayang sekali ia salah jalan. Terlalu di manja saat kecil membuatnya jadi lebih suka menyenangkan dirinya sendiri. Tak perduli pada kedua orangtuanya yang menginginkan dirinya untuk melanjutkan perusahaan keluarga.
Bergabung dengan teman-teman nya yang sama seperti dirinya. Tidak berpikiran dewasa. Tidak bisa membagi waktu untuk menyenangkan diri sendiri dan menyenangkan orang tua, yang mereka pikirkan hanyalah mereka senang.
"Bukan gitu, Ji. Aku benar-benar sibuk. Maaf ya," ucap Ibra pada Jilana.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting malam ini lo jangan sampai pulang kalau kita belum senang-senang, bener nggak Ji?" tanya Laras pada sahabatnya itu.
Jilana membalas dengan mengacungkan jempolnya.
Seperti itulah Ibra saat bersama teman-teman nya, nanti saat sore tiba ia hanya akan mendatangi beberapa Cafe nya, setelah itu malamnya ia akan menyusul Jilan dan teman-teman nya di sebuah tempat. Tempat yang akan membuat mereka lupa akan waktu dan segalanya.
..._-_-_-_...
Berdiri di sana, menikmati malam. Menunggu harapan yang mungkin akan sia-sia. Chandani, gadis yang baru saja mensucikan dirinya itu kini tengah berdiri di balkon kamar. Ditemani angin yang berembus.Embusan nya begitu terasa di wajahnya yang masih basah.
Hah, menunggu memang membosankan, sekaligus mengecewakan. Bayangkan saja, setelah pagi nya hanya di antar sampai halaman dan kini sudah sampai tengah malam sang pengantar yang tak lain adalah suaminya belum juga pulang.
Chandani sudah mencoba untuk merebahkan tubuhnya, mencoba istirahat. Tapi, sayang. Matanya tak bisa terpejam begitu saja. Begitu banyak yang ia rasakan, dari rasa sakit sampai kecewa. Yang lagi-lagi mengarah ke segalanya, sampai pada ibu kandungnya yang entah di mana.
Dalam batin nya mengatakan, 'seandainya kau tak melahirkan ku, aku tak akan berada di keadaan ini bu.'
Batin gadis dua puluh lima tahun itu begitu sakit. Entah pada siapa kini ia bisa menggantungkan hatinya agar bahagia, selain pada ibu Seruni tentunya.
"Ibu. Ah, aku sangat merindukan mu Bu, aku ingin pulang saja, menemani adik-adik mengaji dan membacakan dongeng sebelum tidur. Tidak seperti ini, bersama dalam kesepian," ujar Chandani saat ia mengingat ibu Seruni, adik-adik dan keadaan panti yang selalu hangat.
"Jika, ibu tahu, aku yakin. Ibu pasti akan membawa ku kembali, tidak akan dirimu biarkan aku di sini bersama suami yang bahkan tak menginginkanku bu."
Lagi-lagi air mata nya menetes. Ayolah, siapa yang mau menjadi Chandani, tidak ada, bukan. Menjadi anak yang tidak di inginkan, yang lantas di buang di panti asuhan, tak perduli ibu Panti baik ataupun tidak, yang jelas seorang anak tidak ingin selalu menjadi orang yang tidak di inginkan. Dan kini ... ia kembali tak di inginkan oleh sang suami.
Chandani menarik nafasnya dalam-dalam, merentang kan tangannya dan menengadah kan kepalanya ke atas, memejamkan mata dan ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Mom Dian
Ternyata masih berlanjut kak, ku kira sudah end kak. Semangat kak💪
2023-05-24
2