Bab 17 : Panti Asuhan

Nasi uduk sudah siap, Chandani sudah menyiapkan segalanya diatas meja. Namun, Ibra belum turun dari kamar, mungkin tengah berpakaian. Tapi, tentu saja baju yang akan ia kenakan sudah disiapkan oleh sang istri sebelum dirinya turun. Jadi, saat ini dia hanya tinggal menunggu saja dari bawah.

Derap suara langkah kaki menuruni tangga terdengar, membuat Chandani menoleh ke arah belakangnya. Sengaja tak ia beri senyum, dia tetap dengan ekspresi diamnya sembari memperhatikan lelakinya itu.

"Jilan belum bangun?" tanya Ibra pada Chandani. Dirinya menoleh sejenak ke arah kamar tamu.

Chandani hanya menjawab dengan mengedikan bahu. Ibra mengembuskan napas kasar, lantas memutar tubuhnya ke arah kamar Jilana.

"Ji, bangun yuk. Sarapan," panggil Ibra seraya mengetuk pintu kamar tamu.

"Ji!" panggil Ibra sedikit keras.

Ceklek! pintu di buka, "ck jam berapa sih, bangunin orang," gerutu Jilan.

"Aku mau sarapan, sekalian habis ini berangkat, takutnya kamu nggak akan enak kalau sarapan sendirian," begitu ujar Ibra pada Jilana.

"Kamu gimana sih, Ib. Masak semalam aku ditinggal begitu saja, sampai ketiduran tahu, nunggu kamu di sana," tunjuknya pada sofa depan tv.

Ibra meringis, dia jadi ingat bagaimana semalam dirinya bisa ketiduran di kamar bersama istrinya. Melupakan kekasih yang katanya adalah cinta baginya.

"Maaf ya, semalam aku banyak kerjaan, sampe lupa turun lagi," begitu kilah lelaki itu. Lantas dirangkulnya pundak Jilana dan diajaknya ke meja makan.

Kini ketiganya sudah duduk di kursi masing-masing, Chandani mengambilkan makanan untuk suami dan pacar dari suaminya itu. Tak lupa untuk dirinya juga, setelahnya ketiganya lantas sarapan.

"Ib, gimana ... kamu sudah tahu aku harus tinggal di mana?" tanya Jilana di sela-sela mulutnya mengunyah makanan.

Ibra menggeleng, "aku juga masih bingung."

"Di panti aja," Chandani menyuarakan.

Jilana melebarkan kelopak matanya. "Apa? Lo pikir gue apaan, masak gue tinggal di panti, ogah."

Ibra terlihat memikirkan apa yang dikatakan sang istri, "tapi ... bener juga Ji, kalau kamu di sana, orang-orang suruhan ayah kamu nggak akan mungkin nemuin kamu. Secara, mana ada yang akan nyari kamu di panti."

Chandani mengangguk, seenggaknya dia tidak menolong. Hanya saja, dia tidak ingin terus-menerus tinggal bertiga dengan Jilana. Rasanya dia sudah sangat risih melihat Ibra merangkul, berbicara lembut dengan wanita lain. Lagipula ia yakin, jika di panti Ibra tidak akan menemui Jilana, karena tidak akan mudah.

"Tapi, Ib. Masak panti sih," Jilana masih protes.

"Panti nya enak kok, aku juga udah kenal sama ibu pantinya, jadi aku yakin sih kamu aman. Kecuali, kamu mau dinikahkan dengan lelaki pilihan orangtua kamu," kata Ibra.

"Ck, kok kamu jadi gitu sih. Ogah tahu, nikah sama orang sok alim. Yang aku yakini cocok nya dia tuh, sama ono," dagu Jilana menunjuk ke Chandani.

Chandani yang merasa langsung menoleh, "wah, shaleh ya, orangnya?" tanyanya. "Boleh tuh, biar kalian bisa segera sadar, dan meninggalkan yang tidak baik," sambungnya yang lagi-lagi membuat Jilana kesal.

"Ck, sudah-sudah," Ibra segera menengahi. Karena jujur saja saat Chandani mengatakan seperti tadi, ada rasa tak rela dalam hatinya. "Gimana, Ji? Kamu mau 'kan sementara tinggal di panti dulu, aku bisa tengok kamu setiap sore, tapi ... tentu saja sama dia," ujar Ibra dengan menoleh ke arah sang istri.

Jilana menghentikan aktivitas makannya, "ya sudahlah, apa boleh buat," katanya pasrah.

"Mmm, Dik Chanda, nanti kamu bisa 'kan beritahu ibu Runi, bilang saja kalau yang akan tinggal di sana adalah teman baru kamu," kata Ibra lagi pada Chandani.

"Hm," Chandani mengiyakan.

...----------------...

Benar saja, sorenya setelah Ibra pulang dari tempatnya bekerja, ketiga manusia itu pergi ke panti. Chandani duduk dengan santainya di bagaian depan, disebelah sang suami. Sementara Jilana dengan kesalnya duduk di bagian belakang, jangan lupakan bibinya yang monyong lima centi.

Ibra bolak-balik melirik ke arah Chandani yang sore ini membuatnya terkagum-kagum lantaran sedikit memberi taburan warna di wajahnya, membuat wanita itu terlihat lebih fresh dan segar dipandang mata. Tapi, tentu saja tidak ada kesan mencolok nya sama sekali, Chandani tak terlihat kalau dia memakai riasan.

"Masih jauh, Ib?" tanya Jilan.

Chandani dan Ibra sama-sama melihat Jilana dari spion dalam, "sebentar lagi," jawab Ibra.

"Oh, ya. Tapi, kamu sudah kabar-kabar sama ibu Runi 'kan Dik?" tanya Ibra.

"Sudah, ibu menerima tamu yang aku bilang temanku itu dengan sepenuh hati," jawab Chandani jujur.

Ibra mengangguk, lantas tak lama kemudian mobil yang Ibra kendarai akhirnya sampai di depan panti. Anak-anak terlihat tengah duduk sore di teras, ibu panti juga terlihat tengah duduk di sana, mungkin tengah menikmati waktu sore.

"Ini, pantinya?" tanya Jilana dengan mengernyitkan dahi.

"Iya, ayo kita turun." Chandani tak perduli pada dua manusia yang masih di dalam mobil. Ia langsung berjalan menuju adik-adik dan ibu panti yang sangat ia rindukan.

"Assalamu'alaikum!" sapa Chandani dengan senangnya.

"Wa'alaikumsallam," jawab anak-anak serta ibu Seruni yang lantas berdiri dari duduknya. Tanpa basa-basi, anak-anak yang ada lantas memeluk erat wanita cantik yang baru datang kembali setelah menikah itu.

Ibu Seruni tersenyum melihat penampilan Chandani, wanita paruh baya itu terlihat bahagia melihat putrinya yang menurutnya sudah bahagia itu.

Lantas, kini Chandani mendekat ke arah dang ibu setelah memeluk erat adik-adiknya. "Apa kabar, bu?" tanya perempuan itu seraya memeluk erat ibunya itu.

"Baik, Nak. Kamu bahagia 'kan, Nak?" tanya balik ibu Seruni seraya melepas pelukannya dan memandang dari atas sampai bawah.

"Pasti. Aku pasti bahagia Bu," ucap Chandani. "Mas, sini," panggil Chandani pada suaminya yang berdiri di sebelah mobil, masih dengan Jilana yang terlihat enggan untuk ke sana.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Ibra pada ibu Seruni.

"Wa'alaikumsallam, apa kabar Nak Ibra?" tanya balik Ibu Seruni.

"Alhamdulillah, baik, Bu."

"Ayo, silahkan duduk. Ini teman kamu, Chand?" tanya Ibu Seruni.

Chandani mengangguk, "iya. Namanya Jilana Bu, Jilan, kenalkan ini namanya, Ibu Seruni," katanya mengenalkan.

Jilana yang memang sudah ikut di sana hanya mengangguk dan lalu duduk, tak menyalami apalagi sekedar menyapa ibu Seruni. Bahkan wanita itu lantas duduk dan menoleh ke kanan dan kirinya, memperhatikan suasana di panti yang membuatnya meringis jijik.

"Sebentar ya, Chandani ambilkan minum," ucap Chandani.

"Loh, Nak. Kamu 'kan tamu," ibu Seruni mengusap lengan sang anak.

"Aku bukan tamu, ibu. Aku masih anak ibu, ya 'kan Mas?" tanya Chandani pada sang suami.

Ibra tersenyum dan mengangguk, "tentu saja, Dik," jawabnya.

Ibu Seruni semakin senang melihat binar bahagia diantara keduanya. Membuatnya tersenyum merasakan bahagia anak perempuannya yang sudah menikah itu. Tanpa tahu bagaimana segalanya, ia hanya bisa melihat tanpa mengerti segalanya.

Sungguh, Chandani pandai sekali menyembunyikan segala rasanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!