Bab 11 : Mesin Jahit

Keduanya sarapan dengan diam, sesekali Ibra mengerling ke arah Chandani yang makan dengan serius. Tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya itu. Entah kenapa, sikap sang istri yang seperti itu membuatnya tak enak hati. Padahal, ini di rumahnya, tapi entah kenapa ia merasa tengah tinggal di rumah mertua.

Seusai sarapan, Chanda mengantar Ibra sampai ke depan rumah. Menyalami tangan lelaki itu dan mencium punggung tangan suaminya itu dengan takzim. "Hati-hati, Mas. Jangan pulang larut, agar tak ketinggalan subuh. Satu lagi, di manapun tempatnya, jangan lupakan shalat," begitu ujar wanita itu pada lelaki yang statusnya adalah suami baginya.

Ibra lantas mencium puncak kepala Chandani, "makasih," ucapnya dengan tulus.

Chandani tersenyum dan mengangguk. Jujur saja, kecupan itu membuat dadanya berdebar, ada rasa bahagia karena di beri kecupan tanpa meminta.

"Assalamu'alaikum," pamit lelaki itu yang lantas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan sang istri di teras sendirian. Menatap kepergiannya.

"Wa'alaikumsallam," jawab Chandani, setelah mobil Ibra tak terlihat.

Chanda lantas memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

..._-_-_-_-_...

Di tempat lain. Di Rumah mewah Keluarga Surya, lebih tepatnya rumah Jilana. Perempuan tiga puluh tahun itu tengah duduk di sidang sang Ayah. Perempuan yang seharusnya sudah mulai ke kantor itu malah hanya senang berfoya-foya, menghabiskan uang tanpa perduli untuk mencarinya.

Jilana yang ketahuan pulang hampir pagi itu tidak di kasih masuk. Lalu pagar tinggi pun di kunci, dia tidak bisa keluar apalagi masuk. Tertidur di teras tanpa selimut ataupun alas. Sungguh menyedihkan, ia bak gelandangan yang tak punya apa-apa.

Dan paginya, usai mata sang istri sembab, barulah sang Ayah membukakan pintu untuk sang putri satu-satunya. Jilana Elia Surya. Putri yang di gadang-gadang akan menjadi penerus perusahaan keluarga. Tapi, nyatanya, anak semata wayang itu malah membuatnya pusing tujuh keliling.

"Mau sampai kapan kamu?" tanya Ayah Surya pada Jilan, putri nya.

Jilana diam, dirinya sudah terlanjur senang dengan dunia yang ia rasakan sekarang. Jadi, kalau di suruh untuk kerja yang pastinya menguras otak ia jelas tak ingin. Dalam pikiran Jilana hanya senang-senang selagi masih di beri kehidupan.

"Jawab pertanyaan Ayah, Nak," ucap Ibu Sofia. Ia memeluk dari samping tubuh putrinya itu.

"Jilana! Jawab, Ayah lelah Jilana. Ayah dan Ibumu sudah tua, tidak ada yang mengurus perusahaan setelah Ayah tiada. Kalau kamu seperti ini terus, kamu mau jadi apa?!" ayah Surya benar-benar frustasi pada anak gadis nya itu.

Tiga puluh tahun usianya, tapi rasanya ayah Surya tengah bicara pada anak yang masih SD. Susah sekali di ajak bicara.

Tak pernah menjawab dan tidak pernah mendengarkan apa yang ayah dan ibunya katakan.

Lelaki paruh baya itu mengembuskan napas kesal. "Keputusan Ayah sudah tepat. Untuk menjodohkan mu dengan Ardan. Pemuda dewasa yang akan membimbing kamu ke jalan yang benar," kata ayah Surya menjelaskan.

Jilana hanya mampu menelan ludahnya kasar. Ardan adalah anak dari seorang Ustadz, sudah di pastikan bukan, akan seperti apa kehidupannya.

Yang Jilana rasakan sekarang adalah benci sekali pada ayah nya, lelaki yang memang selalu seperti itu. Menggertak nya dengan perjodohan. Selalu itu saja yang sang Ayah katakan. Sampai membuat Jilana kehilangan selera makan dan pusing memikirkan bagiamana caranya agar kabur dari orangtuanya namun hidup dengan aman dan bebas seperti sekarang-sekarang ini.

"Awasi anakmu, Bu! Malam nanti akan ku undang keluarga Ardan untuk makan malam." ujar Ayah yang lantas meninggalkan kedua perempuan yang duduk di sofa.

Ibu Sofia menatap sang putri, "kamu nurut ya, Nak," bujuknya pada Jilan. "Ini semua untuk kebaikan kamu," sambung ibu Sofia.

"Aku, ngantuk bu." Jilana beranjak meninggalkan sang Ibu yang terbengong di tempatnya.

..._-_-_-_-_-_...

Sedangkan di tempat lain, tepatnya di rumah Ibra. Chandani tengah kebingungan karena ada barang yang datang atas namanya, barang yang datang adalah mesin jahit.

"Tapi, Pak. Saya benar-benar tidak merasa memesan, bagiamana bisa Pak," wanita itu kebingungan di depan rumah.

Mbak Titi yang tadinya juga bingung akhirnya menelpon bos nya, Ibra. Mbak Titi menanyakan perihal barang yang datang. Yang langsung di jawab bahwasanya itu memang pesanan Ibra untuk Chanda.

"Sudah, Non. Ini memang pesanan Aden, untuk Non," ucap mbak Titi pada Chandani.

"Mari, Pak. Silakan di bawa masuk saja!" perintah Mbak Titi pada dua orang yang pengantar barang.

Chandani menatap Mbak Titi tidak percaya, "ini pesanan, Mas Ibra, Mbak?" tanyanya.

"Iya, Non. Tadi saya sudah menanyakan nya langsung pada Aden," tutur Mbak Titi menjelaskan.

"Ayo, Non. Kita masuk, kita lihat, cocok nya di taruh di mana," ucap mbak Titi antusias.

Chandani tersenyum, "ayo Mbak."

Keduanya lantas masuk mengikuti langkah dua orang yang ada di depan mereka. Dan barang yang berupa mesin jahit dan sebagainya itu di taruh di ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang keluarga.

Di sana sangat cocok untuk di taruh mesin. jujur saja setelah di tata sedemikian rupa, wanita itu tersenyum lebar bahagia. Sekarang mesin jahitnya tidak sesederhana seperti dulu, sekarang ia bisa memiliki kegiatan dan bisa kembali melanjutkan pekerjaan yang sangat ia cintai.

Kendati belum banyak pelanggan, tapi jika di sana ia bisa membuat baju, seenggaknya ia bisa membuatkan untuk para adik-adiknya. Dan ia sangat yakin kalau nanti lambat laun orang akan tahu, dan mungkin mau membuat baju di tempatnya.

Ah, bayangannya sangat indah, bukan. Keinginannya selalu saja bisa membahagiakan para adik-adik dan membantu ibu Seruni. Ya, jika usaha menjahitnya bisa laris manis, tentu saja dia bisa membantu ibu panti dan anak-anak panti.

...----------------...

Sorenya, Chandani menunggu sang suami pulang. ia sudah membuatkan makanan untuk lelaki itu, sebagai tanda terimakasih.

Wanita itu bahkan sudah cantik demi menyambut lelaki yang masih di kantornya. Lelaki yang masih memiliki hubungan dengan wanita lain. Chandani tersenyum, ia tak perduli. Karena ia yakin, lambat laun, seiring berjalannya waktu, lelaki itu pasti bisa melupakan kekasihnya dan mencintai dirinya yang sudah ber-lebel halal bagi sang suami.

Sayangnya, sore pun berganti malam. Bahkan rintik hujan mulai turun, tapi, lelaki itu belum juga sampai di rumah. Perasaannya mendadak khawatir, ia takut sang suami kenapa-napa, tak ada pikiran jika Ibra tengah dengan wanita lain, karena ia yakin. Jika, suaminya itu pasti akan bilang padanya jika akan pulang terlambat demi menemui sang kekasih.

Tapi sayangnya, kenyataan lebih membuatnya sakit dari rasa khawatir. Hatinya bahkan seperti di tusuk sebilah pisau tajam yang langsung membelah benda lembut tak bertulang itu.

Hancur seketika, saat ia mendapati siapa di depannya.

Terpopuler

Comments

anja

anja

ku tunggu dobel up nya ya Thor
. penasaran

2023-04-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!