Seusai sarapan, Chandani masih beraksi memanas-manasi Jilana dengan menyusul sang suami yang tengah berganti pakaian, alasannya karena sang suami sudah terbiasa dengan bantuannya. Tentu saja, itu langsung membuat Jilana membanting sendok dengan kesalnya, namun dengan segera juga wanita yang notabenenya adalah kekasih dari Ibra itu tersenyum dan mengatakan kalau dia tidak sengaja.
Chandani tiba di kamar, memang benar. Dia lantas masuk dan menyiapkan pakaian yang akan di pakai oleh Ibra. Hanya saja, saat di kamar wanita itu lantas diam. Sampai membuat suaminya heran, bahkan sampai heran.
"Enggak usah di siapkan juga nggak papa, kok, Dik," begitu ucapnya saat rasanya ia tak enak hati pada perempuan yang bergelar sebagai istrinya itu.
"Enggak papa, dari pada di bawah. Di pelototi terus sama pacar kamu," begitu katanya dengan menegaskan kata pacar pada suaminya.
"Maaf ya, nanti akan aku carikan tempat baru untuk dia."
"Terserah, aku memang mengizinkan kamu untuk bertemu dengannya sesuka hati, asalkan kamu mau memperlakukan diriku dengan baik. Tapi, kamu harus tahu, Mas. Aku tidak suka jika ada wanita lain yang statusnya adalah pacar kamu di bawa ke sini," begitu kata Chandani dengan tegas.
Ya, dia boleh menjadi istri yang tidak di inginkan. Tapi, dia adalah istri sah, yang memiliki hak dan kewajiban atas segala sesuatu tentang suaminya bukan, jadi jangan salahkan dia kalau saat ini dia ingin pacar suaminya itu segera pergi dari rumah mewah sang suami.
Bukan apa, jujur saja, jika ia tak mendapati sang suami dengan wanita lain. Tentu itu tidak akan terlalu menyakitkan. Tapi, jika melihat secara nyata, itu jelas akan menyakitkan sekali. Bahkan bisa saja akan membuatnya menyerah dari keinginannya merebut hati suaminya.
"Iya, aku minta maaf sekali lagi," ucap Ibra yang saat ini tengah berdiri tepat di depan sang istri. Wanita cantik yang semalam menangis di bawah guyuran hujan lantaran sakit hati akan sang suami yang kembali ke rumah dengan membawa sang kekasih.
Chandani menarik napas dan mengembuskan nya perlahan. Lalu, dengan cepat dia memberikan baju dan segala yang sudah ia siapkan untuk sang suami. Setelah diterima oleh lelaki itu, dia lantas duduk di sofa menunggu suaminya itu selesai berganti pakaian.
Lantas, keduanya turun dengan Chandani yang menggandeng lengan sang suami. Berdua turun melewati anak tangga dengan senyum yang sangat merekah. Manisnya bahkan seolah nyata, tanpa di buat-buat.
Tentu saja, lagi-lagi itu membuat Jilan merasa sebal. Wanita yang sedari tadi di tanya banyak tentang pekerjaan serta hidupnya itu tengah kebingungan jawaban. Karena, tidak mungkin bukan dia jujur dan menceritakan segalanya pada ibu Lili.
"Dik Chanda, Mas berangkat ya," pamit Ibra pada Chandani tepat di samping mama Lili.
"Iya, Mas. Hati-hati ya, jangan lupa tinggalkan shalat, dan jangan pulang kemalaman," begitu ujar Chandani.
Lantas, wanita cantik itu mencium punggung tangan sang suami, tak lupa Ibra juga mengecup puncak kepala sang istri di depan mama dan kekasihnya.
Setelah pamit pada sang istri, Ibra lalu pamit pada sang mama, dan tentu saja tidak pamit pada Jilana, karena di depan mamanya Jilan bukan kekasih dari dirinya. Melainkan teman dari istrinya. Sungguh, saking kesalnya Jilana ingin sekali memporak-porandakan meja makan.
Tapi sayangnya, saat ini dia bukan lah siapa-siapa. Dan jika melakukan demikian, otomatis dia akan langsung keluar dari sana dan ditemui oleh suruhan orangtuanya.
...----------------...
Kesal, itulah yang dirasakan Jilana. Apalagi saat ini dia tengah dikacangi karena mama Lili yang terus saja ngobrol dengan Chandani. Bahkan wanita cantik itu mengatakan kalau dia akan membuatkan baju yang sepesial untuk sang mertua, tentu saja mama Lili menjawab dengan rasa bahagia yang penuh sampai membuat wanita cantik yang masih memakai baju milik Chandani itu merengut terus-menerus.
Bahkan sampai siang, saat sudah waktunya untuk makan siang pun dua wanita yang notabenenya adalah menantu dan mertua itu tetap saja terlihat asyik tanpa dirinya.
Lanjut sampai sore, saat mama Lili sudah pulang dan Ibra pulang. Tiba-tiba saja lelaki itu pulang dengan membawa bakso kesukaan sang istri yang ia beli atas dasar pendengarannya dari penuturan wanita itu pada sang mama.
Tentu saja, itu semua semakin membuat Jilana kesal tidak karuan.
"Maksud kamu apa sih, Ib. Kamu sengaja, mau bikin aku kesel dengan melihat kemesraan kamu sama dia?" tanya Jilan penuh emosi pada pria tampan yang saat ini tengah berdiri di depan meja makan.
Chandani tersenyum sinis, lantas sebelum sang suami menjawab dengan kejujuran yang hakiki, dia lantas mendekat setelah memutari meja. "Loh, kenapa marah?" tanyanya mengejek. "Aku istrinya loh, kamu siapanya?" sambung wanita itu bertanya.
"Iya 'kan, Mas?" Chandani beralih bertanya pada sang suami yang saat ini tengah diam, terbengong ditempatnya. Padahal niatnya membeli bakso kesukaan Chandani adalah agar sang mama merasa kalau apa yang dikatakan istrinya tentang dirinya itu benar. Tapi sayangnya, dia belum mengatakan bagaimana sandiwaranya dia dengan Chandani pada Jilan, yang mana membuat kekasihnya itu salah paham. Lagipula, mana dia tahu kalau ternyata mamanya sudah pulang.
"I-iya," jawab Ibra akhirnya.
"Ck, kamu ngeselin banget sih!" teriak Jilana sembari mendorong kasar lelaki itu, lantas dia pun berlari menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.
Ibra yang kaget hanya bisa mengembuskan napas kasar, lantas dia menatap sang istri. "Kenapa kamu kayak gitu?" tanyanya kesal.
"Loh, apa salahnya. Aku mengatakan yang sejujurnya bukan, aku istri sah-mu, dan dia ... siapa? wanita kamu yang haram untuk di pandang apalagi di sentuh," begitu jawab Chandani yang langsung membuat diam sang suami. Karena mau semengelak apapun, yang di katakan istrinya adalah benar, jadi dia hanya bisa diam dan pergi menyusul ke kamar sang kekasih.
Chandani tersenyum miris, sekarang saat dia ditinggal hatinya merasa sakit. Iya, dia memang bisa emosi dan mengatakan dengan jelas bagaimana seharusnya. Tapi, jujur saja, dia merasa sangat sakit di dadanya. Karena dia masih belum juga diinginkan oleh sang suami.
Bahkan dalam hatinya merasa putus asa, 'mungkinkah dia bisa mencintaiku dan melupakan kekasihnya, jika bisa kulihat begitu besar cintanya pada kekasihnya itu. Apakah masih lama untukku berjuang mendapatkan cinta dan pengakuan keberadaan dari Mas Ibra?'
'Atau memang aku terlahir dari orangtua yang tidak menginginkan, jadi setiap orang pun tidak menginginkanku,' sambung wanita cantik itu dengan air mata yang menetes. Sungguh, rasanya sangat sedih, sakit dan kecewa. Kendati di depan ibu mertuanya ia bisa haha-hihi, pada kenyataannya di dalam dada ia merasakan kesakitan yang hakiki. Untuk apa, memiliki suami, jika lelakinya masih memiliki kekasih? Begitu kira-kira yang ada di dalam pikiran wanita cantik yang saat ini tak lagi selera walaupun melihat makanan favorit di depan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments