"Dik Chanda dari kapan, bisa menjahit baju?" tanya Ibra pada wanita cantik yang saat ini tengah berdiri didepan kompor. Sedangkan dirinya saat ini tengah berdiri disamping lemari es, baru saja ia mengambil minuman dingin.
Chandani menoleh ke arah sang suami, dia tersenyum. "Baru kali ini," jawabnya jujur.
"Oh, ya?" tanya Ibra memastikan. Dia melangkahkan kakinya mendekat dan berdiri di sebelah sang istri yang tengah memasak mie instan untuk mereka berdua.
Wanita cantik itu kembali mengangguk, "iya. Biasanya aku hanya memotong atau mengecilkan saja," katanya dengan tangan yang sibuk mengaduk mie instan dalam panci.
"Keren ya, tanpa sekolah menjahit, tapi bisa," puji Ibra.
Chandani hanya tersenyum, tak mengatakan apapun lagi. Sudah cukup beberapa jam ini ia merasa malu lantaran ditemani dan diajak bicara terus menerus. Alih-alih senang, ternyata dia malah semakin grogi. Karena apalagi, kalau bukan karena acara mengukur tubuh Ibra yang berujung menggoda dirinya. Jadilah, dia malu-malu tapi ... mau.
Kini keduanya tengah makan mie, satu orang satu mangkuk, dan saling berhadapan.
"Tumben," ucap Ibra.
"Tumben, apa?" Chandani melihat ke arah sang suami.
"Diem, biasanya ngomong terus," ucap Ibra dengan senyum di wajahnya.
"Nggak ada yang perlu aku omongin 'kan, terkecuali mau aku ceramahi," kata Chandani.
Ibra menggeleng, "enggak-enggak, jangan ceramah." katanya seraya menggerakkan kedua telapak tangannya serupa orang menyerah.
Chandani tertawa, "segitunya," ucapnya seraya geleng-geleng kepala.
"Kamu seru kalau lagi nggak ceramah," kata-kata itu keluar dari mulut Ibra.
Chandani diam, namun, dalam hatinya mengatakan. 'Makannya sama aku terus, biar aku semakin lebih seru,' katanya seraya memandang sang suami.
Setelah acara teleponan tadi, Ibra memang kembali mendekat ke arah sang istri. Minta di ukur dan lanjut menemani, sampai akhirnya keduanya lapar karena terlalu lama di sana, membicarakan hal yang tidak penting.
Lalu saat ini, keduanya sudah selesai makan. Chandani lanjut membersihkan dua mangkuk dan panci, serta gelas yang dipakai. Sedangkan Ibra, ia tengah duduk di kursi makan, namun matanya tetap pada sang istri.
Lelaki itu mengembuskan napas pelan, ada rasa sesal di dadanya, lantaran masih bersama Jilana dan menginginkan Chandani. Ya, sekarang lelaki itu akui, kalau dirinya tidak bisa berpisah dengan wanita yang sudah membuatnya pusing kepala hanya gara-gara melihat dia tanpa jilbab saja.
"Ayo, istirahat. Mau di situ terus."
Ibra terkesiap, "ayo." Ibra lantas beranjak dari duduknya dan mendekat ke arah Chandani. Dia bahkan tak segan-segan untuk merangkul istrinya itu dan melangkahkan kaki ke arah tangga.
Tentu saja Chandani membiarkan sang suami sok akrab dengannya, karena menurutnya, berawal dari sok akrab, nanti jadi semakin dekat.
"Kamu mau tidur di sini?" tanya Chandani, saat keduanya sudah sampai di kamar.
"Iya, kenapa, nggak boleh?" tanya Ibra. "Bukannya kamu maunya diperlakukan seperti istri sesungguhnya," sambung lelaki itu.
Chandani tersenyum. "Ok," katanya yang lantas membuat Ibra melebarkan kelopak matanya. Tak menyangka jika sang istri akan bereaksi biasa saja.
"Mas Ibra tidur dulu, aku mau bersih-bersih wajah terus wudhu. Jangan lupa, sebelum naik ranjang tolong disapu dulu." kata wanita itu seraya berlalu.
Ibra menelan ludahnya kasar, 'apakah, sekarang?' tanyanya dalam hati.
Ya, ampun. Lupa lah dia pada Jilana yang saat ini tak bisa tidur lantaran kamar yang sempit, adanya nyamuk dan berisik suara kodok serta jangkrik. Jangan lupakan suara anak-anak yang belum tidur dan bisik-bisik, sungguh membuatnya ingin kembali kabur dari sana.
Terlebih saat makan malam tadi, Jilana rasanya ingin mengobrak-abrik segalanya. Bagiamana tidak, saat makan di jatah dan lauknya hanya dua. Sayur, dan kerupuk, yang mana dirinya tak terlalu menyukai.
Seandainya saja dirinya bisa pergi, pasti dia akan memilih pergi dari sana dari pada tinggal di tempat yang menurutnya seperti sebuah penjara itu. Sayangnya, ia yakin suruhan ayahnya masih berkeliaran untuk mencarinya, dan yabg pasti akan berujung pemaksaan untuk menikahkan dirinya dengan Ardan, lelaki yang bukan kriterianya sama sekali.
Kembali ke Chandani dan Ibra. Saat ini, dia sudah mengganti pakaiannya, namun masih mengenakan jilbab. Ia membaringkan tubuhnya disebelah sang suami. Entah pura-pura atau tidak, yang jelas saat ini mata Ibra sudah terpejam.
Dibacanya doa, dan menghapal sedikit surat yang ia hapal diluar kelapa. Lantas dia pun memejamkan mata setelah menarik selimut sampai dibatas dada.
Merem, tapi ... tidak tidur. 'Ah, kenapa jadi susah tidur?' kesal Chandani dalam hati.
Lantas dimiringkan nya tubuh menghadap sang suami. Kelopak matanya terbuka, bersamaan dengan Ibra yang juga miring menghadapnya.
Dipandanginya wajah tampan sang suami, sampai membuat bibirnya tersenyum. "Seandainya saja, aku mendapatkan cinta dari kamu, jelas aku akan bahagia sekali. Akan ku ceritakan bagaimana rasanya jadi aku, yang tak diharapkan," begitu ucapnya tanpa sadar.
"Cerita saja, aku akan dengarkan."
Dahi Chandani berkerut, "ck, kamu belum tidur, Mas?" tanyanya. Bersamaan dengan kelopak mata Ibra yang terbuka, dengan senyum yang terbit di bibirnya.
"Siapa yang tidak menginginkan dirimu?" tanya Ibra.
"Semua orang, termasuk kamu," jawab Chandani.
Ibra menatap netra wanita itu, ada gurat sedih do sana, yang ia yakini hidupnya tak semulus yang ia pikir. Ya, Ibra pikir ... Chandani selalu dalam kebahagiaan, karena bisa hidup dengan ibu Seruni yang sangat baik, lingkungan yang menyayanginya dan mamanya yang selalu memuji-muji wanita itu didepannya.
Lelaki itu lantas diam, namun Chandani tersenyum. "Boleh nggak, kalau lagi sama aku, kamu jangan memperlihatkan kalau lagi mikirin kekasih kamu, terus ... kalau mau pergi yang berhubungan dengan dia, jangan bilang. Kamu bisa bilang ada keperluan, biar aku nggak ngerasa sakit banget," pintanya pada Ibra dengan serius.
Dia hanya tidak ingin, terus-menerus merasa tak dianggap. Lagipula, Ibra suaminya, bukan. Jadi, tidak ada salahnya 'kan kalau dia menginginkan demikian.
Ibra merangsak mendekat, lantas didekap nya tubuh mungil sang istri. "Iya, aku janji. Aku memang belum mencintai kamu, tapi aku akan buat kamu senyaman mungkin di sini, disamping aku," kata lelaki itu jujur. Karena memang, sebenarnya ada rasa yang belum bisa ia ungkapkan. Dan dia juga belum mengerti, entah itu sebuah rasa cinta, atau sekedar kagum saja.
Chandani tersenyum di dalam dekapan hangat Ibra, walau ia tak membalas pelukan itu, jujur saja, sebenarnya ia sangat bahagia. Seandainya saja, lelaki itu tak memiliki kekasih, alangkah mudanya dia mendekati lelaki itu, membuatnya jatuh cinta. Sayangnya, rasa ruang di dalam hati lelaki itu sudah ada nama, yaitu Jilana.
Meski Chandani sangat yakin, lambat-laun perasaan haram akan kalah dengan sebuah kewajiban halal.
Wanita itu lantas tersenyum dan mengangguk, lalu ia pun turut membalas pelukan hangat itu.
Dalam ranjang berukuran besar itu, sepasang manusia yang berstatus suami-istri tidur saling berpelukan, dalam suasana hangat dan rasa yang nyaman. Saking nyamannya, sampai terbang ke alam mimpi indah yang membuat mereka tak ingin terbangun kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments