Sekian lama keduanya terdiam tanpa saling bicara. Mereka asik dengan hayalan yang berselancar di benaknya masing-masing. Sedikit kecanggungan terlihat diantara keduanya.
"Tidak boleh seperti ini. Semua harus baik-baik saja." Ucap Rima dalam hatinya. "Rey!" Rima memukul bahu Rey yang semenjak tadi terlihat sedikit melamun.
"Hem." Spontan Reyhan menoleh kaget.
"Kamu daripada melamun. Mending samperin Andini sana." ucap Rima dengan nada sedikit memerintah.
"Samperin kemana?"
"Ya elah kamu Rey. Ya kerumahnya masa ke kandang ayam." Jawab Rima sembari menepuk bahu Reyhan.
Reyhan tertawa lebar. Itulah Rima yang ceplas ceplos dengan ucapannya. Suasanapun kembali mencair. Tidak lagi canggung dan saling diam. Suasana yang memang seharusnya seperti itu diantara mereka. Karena pertemanan untuk keduanya lebih cocok daripada sepasang kekasih.
"Orangtuanya gak akan marah kalau aku menemui Andini?" Tanya Reyhan ragu. "Bukankah kamu bilang dia sedang berusaha dijodohkan Rim." Lanjut Reyhan sembari menatap wajah Rima.
"Masa kamu takut dimarahin orangtuanya Andini...." Ucap Rima sedikit mengejek.
"Bukan aku yang takut dimarahin. Tapi aku khawatir nantinya malah Andini yang dimarahin. Kan kasihan." Jelas Reyhan tak terima dibilang takut oleh Rima.
"Benar juga." Sahut Rima sembari mengatupkan kedua bibirnya. Diapun tidak mau jika sahabatnya kena masalah.
"Makanya itu aku tadi bilang mau cari waktu yang tepat untuk bicara dengan Andini." Ucap Reyhan seraya mengerutkan keningnya sambil berfikir keras waktu yang tepat itu kapan mengingat Andini tidak seperti gadis-gadis lain yang dengan mudah bisa keluar rumah dan bermain berlama-lama bersama teman-temannya.
Setelah pulang sekolah, Andini selalu membantu Ibunya. Lalu di sore hari berangkat ke mesjid untuk belajar mengaji hingga malam dan kembali ke rumah setelah beres sholat isya.
"Kapan jadwal kalian ngambil legalisir ijazah?" Tanya Reyhan setelah sekian lama termenung.
Rima menoleh dengan senyuman di bibirnya. "Sabtu Rey." Rima menjawab dengan penuh semangat.
"Okey. Sabtu aku tunggu kalian depan gerbang sekolah ya." Sahut Reyhan dengan kegembiraan yang nampak jelas diwajahnya.
Rima pun mengangguk. "Jangan tunda-tunda lagi. Banyak yang mencari kesempatan sama Andini lho Rey." Ucap Rima sembari mengangkat sebelah alisnya seolah memperingkan temannya itu agar jangan sampai keduluan orang lain.
"Iya iya." Reyhan pun tersenyum seraya melirik ke arah Rima yang sedang tertawa kecil.
Tidak lama kemudian Rima pun pamit pulang. Reyhan mengantarkan Rima sampai rumahnya dengan sepeda motor.
Sementara itu Andini yang berada dikamar tidurnya sedang mengemas pakaiannya kedalam tas jinjing besar.
"Ijazah sudah. Berkas-berkas lainnya sudah. Mukena baju sepatu.... Aman. Semua sudah beres."
Andini bicara pada dirinya sendiri sembari memperhatikan dan menujuk satu persatu semua barang yang disebutkannya.
"Din belum beres juga?" Tiba-tiba Ibu Salamah telah berdiri di belakang Andini.
"Mimih ngangetin ah." Andini spontan membalikan badannya sembari memegang dadanya.
"Sudah semua Mih." Ucap Andini dengan senyum lebar di bibirnya. Ibu Salamah memperhatikan satu persatu barang-barang yang Andini kemas.
"Kalau begitu kita makan dulu sebelum berangkat. Mimih juga sudah siapkan makanan buat Oma. Oma kamu pasti senang dengan kejutan ini." Turur Ibu Salamah seraya meninggalkan kamar Andini.
Andini pun mengikuti langkah Ibunya menuju dapur, dimeja makan Pak Husein sudah menunggu mereka berdua.
"Lama banget. Perut Pipih sudah berisik sejak tadi nih." Ucap Pak Husein sambil menatap isteri dan anaknya.
Ibu Salamah tersenyum seraya memandang wajah suaminya. Lalu Bu Salamah mengisi piring dengan nasi serta lauk pauk untuk suaminya.
"Nih.. Pipih makan yang banyak ya supaya cacing di perutnya Pipih ikut kenyang." Ucap Bu Salamah sembari tersenyum lalu menyodorkan piring ke depan suaminya.
Andini tersenyum melihat keharmonisan kedua orangtuanya.
"Din.. Nanti di rumah Omah kamu harus bantu-bantu Oma ya. Jangan lupa ngaji. Tanya Oma disana ada ustad yang suka ngajarin anak-anak mengaji. Kalau bisa jangan malam hari. Sore-sore saja sepulang sekolah." Tutur Pak Husein panjang lebar sembari terus melahap makanan yang ada di piringnya.
"Iya Pih." Sahut Andini tanpa menoleh sedikit pun.
"Jaga pergaulan. Pandilah memilih teman yang baik. Jangan nyusahin Oma." Sambung Bu Salamah sambil membereskan piring bekas makan suaminya.
"Iya Mih." Jawab Andini seraya berdiri menuju kamar mandi dan meletakan piring kotor bekas makannya.
"Tidak usah di cuci. Biar nanti sama Mimih. Kita langsung berangkat saja ke rumah Oma biar nanti pulangnya tidak terlalu malam."
"Iya Mih, Andini ke kamar dulu ngambil barang-barang." Sahut Andini sambil berlalu meninggalkan kedua orangtuanya yang masih duduk sambil menikmati teh hangat.
Andini mengeluarkan semua barang-barangnya dan menaruhnya kebelakang mobil kemudian menutupnya dengan terpal. Lalu Andini kembali ke dapur. "Sudah beres semuanya Mih." Ucap Andini sambil menatap kedua orangtuanya.
Pak Husein dan Bu Salamah beranjak dari kursi menuju keteras rumah. Pak Husein menyalakan mobil dolak yang dimilikinya, sedangkan Andini membantu Ibunya menutup semua gorden rumah. Setelah dipastikan semua jendela dan pintu terkunci, Bu Salamah dan Andini pun naik kedalam mobil.
Sepanjang jalan menuju rumah Ibu Imas. Tak henti-hentinya Bu Salamah menasehati putrinya untuk menjaga pergaulan dan harus menurut pada Omanya. Tidak sepatah katapun Andini menyanggah perkataan orangtuanya. Andini hanya menggut-manggut dan sesekali mengiyakan terhadap apa yang di sampaikan Ibunya.
...♡♡♡••••••♡♡♡...
"Memang sebaiknya Andini tinggal sama Omanya Mih. Anak kita itu sudah beranjak gadis. Pipih khawatir jika Andini pulang sekolah sendirian kesini terlalu jauh." Tutur Pak Husein pada isterinya sambil menengok berkali-kali ke arah pintu teras.
"Coba ini sudah hampir jam tiga, Andini belum juga pulang." Raut wajah Pak Husein sangat mengkhawatirkan Anaknya yang tak kunjung pulang juga.
Bu Salamah hanya terdiam sembari terus menatap teras rumahnya. Dia mengerti kecemasan yang dirasakan suaminya sama seperti apa yang sedang Salamah khawatirkan atas putrinya itu.
"Gimana nanti jika sudah SMEA pelajaran lebih padat lagi. Belum lagi kalau nanti ada pelajaran tambahan. Mau jam berapa anak kita sampai dirumah." Lanjut Pak Husein seraya melirik jam dinding besar yang tergantung di ruang tengah rumahnya.
"Iya Pipih benar. Terserah Pilih saja mana yang terbaik Mimih ngikut." Sahut Bu Salamah seraya membuang nafas panjang.
Terasa berat buatnya harus membiarkan anak perempuannya jauh dari pengawasannya. Tetapi apa yang disampaikan suaminya juga ada benarnya semua demi kebaikan Andini juga.
Begitu Andini sampai dirumah. Kedua orangtuanya menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang membuat Andini merasa dicurigai. Setelah Andini menjelaskan kenapa dirinya telat sampai dirumah. Kedua orangtuanya pun tersenyum menerima alasan Andini yang mengumpat di belakang sekolah karena tidak mau ikut arak-arakan untuk merayakan kelulusan bersama teman-temannya.
Andini pun menjelaskan jika dirinya sudah mulai masuk sekolah di SMEA ada kemungkinan akan sering pulang terlambat. Mengingat jarak antara sekolah dari rumahnya semakin jauh. Bahkan Andinu pun harus berangkat lebih awal lagi agar tidak kesiangan. "Selepas sholat subuh Dini harus langsung berangkat." Ucap Andini begitu berat seraya menatap Bu Salamah. "Maaf nanti Andini tidak bisa bantu-bantu Mimih dulu sebelum berangkat."
Pak Husein dan Bu Salamah terdiam mendengar semua penuturan anaknya. Mereka mengerti walaupun di sekolahnya nanti Andini tidak mengikuti les tambahanpun Andini akan terlambat sekitar satu jam untuk sampai kerumah. Belum lagi jika angkutan umum macet akan lebih lama lagi perjalanan yang di tempuh anaknya.
Apalgi dari terminal harus jalan kaki sekitar satu jam untuk bisa samoai ke rumah.
Atas pertimbangan itulah kedua orangtua Andini memutuskan agar Andini tinggal bersama Omanya.
"Yang bener Mih. Pih." Sontak Andini melompat kegirangan mendengar keputusan Pak Husein dan Bu Salamah yang akan menitipkan Andini untuk tinggal bersama Bu Imas sampai lulus sekolah nanti. Andini pun memeluk kedua orangtuanya sebagai tanda rasa bahagianya.
"Kamu harus ingat semua pesan Mimih dan Pipih." Ucap Bu Salamah ketika mobil yang mereka tumpangi telah terparkir di depan halaman rumah Bu Imas.
Andini pun mengangguk sembari turun dari dalam mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments