Di dalam kelas Andini masih terlihat sering melamun. Entah Andini mendengarkan atau tidak apa yang guru sampaikan hari itu.
Sesekali Rima menatap wajah sahabatnya itu. Rima tahu betul Andini yang periang tidak pernah melamun di dalam kelas. Andini selalu memperhatikan dengan seksama setiap kata yang di sampaikan oleh guru mereka.
Rima tidak berani menegur ataupun bertanya pada sahabatnya yang sedang sedih dan terus memikirkan masalah perjodohannya.
TENG..TENG..TENG..
Bel sekolah berbunyi tanda pelajaran telah selesai.
"Din.. Ayo pulang." Rima berdiri menunggu sahabatnya yang masih duduk termenung.
"Rasanya aku males pulang Rim." Jawab Andini lirih dan terdiam menunduk.
Sejak masuk sekolah Andini terus melamun memikirkan kedua orangtuanya yang selalu bersikeras menyuruhnya menikah setelah keluar sekolah. Andini menerka-nerka bagaimana jika orangtuanya tetap memaksakan keinginannya untuk menikahkan dirinya.
Dalam lamunannya Andini juga terus berdoa agar Mimih dan Pipihnya berubah fikiran dan mendukung Andini untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas yang Andini impikan selama ini.
"Din.. Ga mungkin kan kamu diem sampe besok di kelas kita."
Andini masih tetap membisu dan terus menudukan kepalanya. Rima tahu sahabatnya itu sedang menangis meluapkan kesedihannya. Bahu Andini sesekali berguncang tertahan. Rima hanya bisa menatap Andini dengan sedih, dia membiarkan sahabatnya itu menangis agar beban di hatinya sedikit berkurang.
"Dengan cara apa aku bisa membantu kamu Din... Andai aku tahu pasti akan aku lakukan." Rima bicara kepada dirinya sendiri sambil menjatuhkan tubuhnya diatas kursi di samping Andini.
"Oh iya Din. Gosip tapi nyata itu..." Rima melirik sahabatnya itu dengan sudut matanya sembari menunggu reaksi Andini atas apa yang di katakannya.
Andini masih terdiam membisu tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya.
"Ya udah kalau udah ga mau tau ga apa-apa. Biar aku aja yang tahu ntar kamu ketinggalan berita." Kembali Rima memancing sahabatnya.
"Itu si Dewi yang kelas 3H itu kamu tahu kan Din..." kembali Rima melirik Andini dengan sudut matanya.
"Hem.." Andini menganguk perlahan dan masih tetap tertunduk. Dia berusaha menghentikan tangisnya sembari menyeka air matanya yang sejak tadi terus menetes membahasi pipinya.
Perlahan Andini mengangkat wajahnya, menarik nafas begitu dalam dan menghembuskannya perlahan seolah sedang mengumpulkan tenaganya yang terasa telah hilang.
Rima menunggu reaksi sahabatnya itu tanpa menoleh sedikitpun kearah Andini. Rima hanya sesekali melirik dengan sudut matanya.
"Andini udah bisa ngntrol sedihnya." gumamnya dalam hati, nampak sedikit senyum kecil di bibir Rima.
"Nah itu si Dewi katanya mau nembak cowo Din. Cowonya itu anak SMP Taruna. Ganteng banget tahu anaknya Din. Aku juga naksir sih. Hehe.."
Rima menutup matanya seolah malu ketika mengakui dia menyukai seorang laki-laki.
Andini menegakkan punggungnya sembari menyenderkannya ke sandaran kursi lalu menoleh ke arah Rima.
"Kamu yakin."
Rima mengangguk dan menjauhkan kedua tangannya yang menempel erat ke pipinya dan menjatuhkannya diatas meja. Rima menoleh dan menatap Andini.
"Hem.." Rima mengangguk dan tersenyum pada sahabatnya itu. Bukan senyum membenarkan perkataanya yang sedang naksir seorang cowo tapi senyum bahagia melihat sahabatnya itu sudah tidak menangis lagi.
"Tapi.." Giliran Rima terdiam dan memperlihatkan wajah sedih.
"Tapi keduluan sama si Dewi gitu Rim." Andini menengadahkan wajahnya sembari menatap Rima.
"Bukan... Bukan gitu." Sahut Rima sembari menoleh ke arah Andini.
"Terus kenapa..." Andini membalikan badannya menghadap Rima sahabatnya yang telah dia anggap sodaranya sendiri.
"Cowonya ga suka sama aku Din."
"Kamu tahu darimana." Pungkas Andini penasaran.
"Ya dia bilang sendiri sama aku."
"Lah kapan itu cowo ketemu kamu." Andini melongo memandang sahabatnya.
Andini mengingat-ingat kapan mereka ketemu cowo di luar sekolah mereka. Seingat Andini selama ini tidak ada satu cowopun yang pernah jalan bareng sama mereka.
"Itu cowo rumahnya searah jalan menuju rumahku. Kemarin saat aku lewat di depan rumah yang deket mesjid besar disana kan ada rumah bagus yang pagar besi warna coklat, kalau kita lewat kesana pagarnya tinggi selalu tertutup itu Diin.. Ingat ga sih."
Rima membalikan badannya menghadap sahabatnya. Mereka duduk berhadapan seolah akan membahas sesuatu yang sangat serius. Rima sengaja mengarang cerita hanya untuk membuat sahabatnya itu penasaran hingga fikirannya teralih dan tidak terus-terusan memikirkan perjodohannya.
Andini mengernyitkan keningnya mencoba mengingat-ingat rumah yang Rima jelaskan tadi.
"Ah.." Andini mengangkat telunjuknya membuat Rima kaget.
"Iya aku ingat rumah besar itu, yang ga pernah ada penghuninya. Jadi itu rumah cowo yang kamu maksud yang mau di tembak sama si Dewi."
Andini mulai penasaran dengan gosip nyata yang akan di ceritakan sahabatnya. Rima mengangguk sembari sedikit tertawa.
"Jadi aku cerita ga nih.." Rima menatap Andini menunggu. Spontan Andini mengiyakan sembari menganggukan kepalanya.
"Tapi ceritanya sambil jalan pulang, Yu ah.. "
Rima beranjak dari kursi dan meninggalkan Andini yang melongo dan masih duduk di kursinya. Mau tidak mau Andini pun beranjak meninggalkan kelasnya yang semenjak tadi sudah kosong. Andini mempercepat langkahnya menyusul Rima yang sudah berjalan lumayan jauh di depannya.
Rima tersenyum menoleh Andini sembari menggandeng tangan sahabatnya itu yang sudah berjalan disampingnya.
"Terusin Din ceritanya, aku kan jadi pengen tahu."
"Yakiiin, pengen tahu atau mau tahu." Rima terus menggoda Andini.
"Iya aku pengen tahu dan mau tahu bangeettt Rima Melati."
"Okey." Rima tertawa sambil terus menggandeng tangan Andini dan dia mulai jalan berjingkrak-jingkrak di samping sahabatnya itu.
Mereka berjalan di halaman kelas menuju gerbang sekolah. Setelah menengok kiri kanan jalan, lalu mereka menyebrang dan kembali berjalan berdampingan menyusuri jalanan aspal menuju jalan kearah rumah Omanya Andini.
Seperti biasanya Rima mengambil arah yang sama dengan Andini agar mereka bisa jalan bareng lebih lama sebelum terpisah karena harus kembali ke rumah masing-masing. Dari rumah Oma sahabatnya itu Rima naik angkutan umum sedangkan Rima selalu mampir terledih dulu ke rumah Ibu Imas sebelum Rima kembali berjalan menuju rumahnya yang belum terjamah angkutan umum.
"Jadi gitu Rim, Si Dewi naksir sama si Reyhan anak taruna itu. Kalau kamu ketemu pasti bakalan suka. Ganteng sih orangnya, sopan pinter lagi."
"Masa sih. pinter tapi kok di swasta." Andini menoleh kearah Rima yang berjalan di sampingnya.
"Ortunya sering keluar kota, bahkan mamahnya sering ke luar negeri nengok neneknya si Reyhan jadi si Reyhan itu diemnya sering di rumah nenek bapaknya. Nah itu deket SMP Taruna. Swasta tapi berkualitas kan Din."
"Iya sih." Andini mengangguk membenarkan ucapan sahabatnya itu.
"Nah sekarang si Reyhan itu sering balik kesini kan mamahnya lagi ada..."
"Kok kamu tahu sampe segitunya Din." Andini menghentikan langkahnya sembari menatap wajah sahabatnya.
Andini terheran karena selama dia kenal dengan Rima yang anti cowo dan tidak pernah pede jika ngebahas cowo. Kini Rima begitu antusias menceritakan tentang Reyhan.
Cowo anak SMP Taruna yang mempunyai perawakan tinggi, kulitnya yang putih memperlihatkan anak gedongan. Dan wajahnya yang tampan blasteran luar negeri dari ibunya. Reza terkenal anaknya yang pintar dan pemberani juga sopan kepada semua orang. Seolah komplit idaman semua cewe remaja.
"Kan aku udah bilang, waktu aku balik lewat depan rumahnya tuh. Nah dia lagi jongkok depan rumahnya. Nongkrong gitu. Waktu aku lewat depan dia, dia nyapa gitu. Terus ngajak ngobrol."
Kembali Andini melongo tak percaya seorang Rima bisa ngobrol dengan cowo yang baru dikenal. "Ga mungkin banget" Fikirnya Rima bergumam dalam hati.
"Lha terus apa hubungannya sama si Dewi... Kenapa Si Dewi bisa naksir, Kapan ketemunya sama Si Reyhan. Kapan ngobrolnya sampe bisa naksir..."
Rima hanya tertawa kecil mendengar sahabatnya yang terus nyerocos dengan pertanyaan-pertanyaan yang memperlihatkan rasa penasaran sama gosip nyata itu.
Dalam tawa kecilnya Rima bahagia sudah bisa sejenak mengalihkan kesedihan sahabatnya itu.
"Si Dewi sempet ketemu waktu dia main ke rumah pamannya dan kebetulan rumah pamannya itu satu perumahan sama rumah neneknya si Rey." Jelas Rima sambil kembali menatap wajah Andini.
"Ooh gitu."
Andini melirik ke arah Rima yang berjalan disampingnya dan terus senyum-senyum bahagia.
"Kamu senyum mulu Rim, ingat si Rey..." tiba-tiba Andini meraih bahu Rima dan membalikkan badannya.
Rima menghentikan langkahnya lalu tertawa lebar sembari menatap wajah sahabatnya itu.
"Bukan ingat si Rey tapi ingat si Dewi yang katanya mau nembak besok."
"Besok..." sahut Andini heran
Andini masih bingung kenapa cewe mesti nembak cowo. "Ga perlu banget." Gumam Andini masih dengan rasa herannya kenapa cewe mesti mengejar.
Karena bagi Andini cowolah yang harus mengejar dan memperjuangkan. Sesuka apapun Andini akan memilih diam dan menunggu. Baginya agresif namanya kalau cewe nembak duluan. "Itu malu-maluin aja sih si Dewi." kembali Andini bergumam dalam hatinya.
"Iya besok, kan si Dewi udah tahu setiap hari Sabtu si Rey balik ke rumah orangtuanya." Rima menghentikan langkahnya.
"Jadi beneran kamu belum pernah ketemu sama si Rey ..." Rima mendahului langkah sahabatnya itu yang hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.
Rima berdiri di depan Andini seolah menghadang langkah shabatnya itu agar berhenti melangkah. Andini berdiri diam heran dengan tingkah Rima yang menurutnya aneh. Mereka berhadapan di pinggir jalan raya dan saling, lalu lalang mobil di sampingnya tidak mempengaruhi langkah mereka. Sudah terbiasa mereka berjalan kaki setiap hari sepulang sekolah sambil mengobrol.
Rima juga Andini yang saling heran dengan sahabatnya itu. Rima heran kenapa Andini ga pernah ketemu si Reyhan yang sekarang namanya sudah menjadi gosip si sekolah mereka.
Andini yang mematung menatap Rima juga heran dengan tingkah sahabatnya yang super cuek terhadap laki-laki. Kini begitu antusias membicarakan si Reyhan seolah terlihat binar suka di bola matanya Rima, padahal si Reyhan besok mau di tembak sama si Dewi. Rima juga udah tahu nama panggilan cowo itu Rey. Berarti Rima sudah kenal jauh sama si Reyhan. Tapi....
"Kenapa.. Kenapa.." Andini dan Rima bersamaan saling melongo. Mereka lalu tertawa lepas sembari melanjutkan langkah mereka menyusuri jalanan aspal.
"Rim, tuh rumah Oma." Andini menujuk sebuah rumah mungil nan asri yang berada 3 meter dari mereka.
"Aku tau.. Kenapa dengan rumah.. Itu baik-baik aja." sahut Rima santai melangkahkan kakinya sembari menatap rumah Ibu Imas.
"Hemm... Bentar lagi kita pisah. Kamu naik angkot aku ke rumah Oma dulu nanti baru balik ke rumah Mimih."
Rima mengangguk mendengar ucapan sahabatnya itu seolah mereka berdua tidak mau terpisahkan.
Andini menggandeng tangan sahabatnya.
" Kamu mampir dulu ya Rim, lanjutin ceritanya di rumah Oma."
Rima menoleh wajah Andini yang sudah lebih dulu menatapnya. Rima mengangguk sembari tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments