"Ada mobil di depan rumah Mimih.... Siapa ya."
Andini berjalan mengendap-ngendap mendekati rumah kedua orangtuanya. Dia mengintip dari balik jendela samping rumah dan melebarkan telinganya yang di tempelkan ke celah dibawah jendela.
"Jadi Nak Rangga mengelola konveksi itu sendiri?"
Samar-samar suara Pak Husein terdengar dari balik jendela. Andini semakin penasaran siapa orang yang sedang berbincang bersama kedua orangtuanya.
"Iya Pak.. Alhamdulillah dibantu sekitar limapuluh pekerja. Masih merintis, mudah-mudahan bisa semakin berkembang kedepannya. Mohon do'anya saja dari Ibu sama Bapak."
"Tentu saja.." Ibu Salamh dan Pak Husein menyahut antusias.
"Kami pasti mendo'akan untuk kelancaran usahanya Nak Rangga. Kalau kita ulet Insya Alloh bisa berhasil." Pak Husein menatap laki-laki yang duduk di depannya dengan tersenyum lebar.
"Sebentar lagi makan siang Pih.. Mimih ke dapur dulu."
Ibu Salamah beranjak dari kursi setelah mendapatkan anggukan dari suaminya. Sementara itu Andini masih mengendap-ngendap ke arah dapur hendak masuk lewat dapur.
"Andini... Mimih..." Ibu Salamah dan Andini terkejut setengah memekik tertahan saling bertatapan.
Ibu Salamah segera menutup pintu ruang tengah lalu menghampiri Andini yang masih berdiri di pintu belakang. Kakinya yang hendak masuk ke dapur tertahan karena kaget ketahuan oleh Ibu Salamah yang berjalan masuk dari ruang tengah dan sudah berdiri di pintu dapur.
"Assalamuallaikum Mih..." Andini menraih tangan Ibu Salamah dan mencium punggung tangan Ibunya.
"Waalaikumsalam.. Duduk dulu sini Din."
Ibu Salamah menuju kursi makan keluarga dan menunjuk kursi yang ada di sebelahnya.
"Iya Mih ada apa." Andini menuju kursi di sebelah Ibu Salamah.
Ibu Salamah menatap putrinya dalam-dalam. Lalu tangannya mengelus-ngelus rambut panjang Anidini yang terurai lurus.
"Maafkan Mimih..." Ibu Salamah menghela nafas dalam-dalam mencari kata-kata yang tepat untuk disampaikan pada anaknya itu.
"Yang di dalam itu Nak Rangga... Rumahnya deket rumah pamanmu yang tinggal di Dago... "
Andini hanya menunduk menatap tangannya sendiri yang diletakan di atas meja makan. Andini memainkan jari jemarinya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Ibu Salamah. Ibu Salamah tahu kalau anaknya itu mendengarkan dengan seksama semua yang dia sampaikan.
"Nak Rangga berusia duapuluh tahun, dan sudah mempunyai usaha sendiri di Bandung... Konveksi jaket dan kaos laki-laki."
Ibu Salamh terus mengelus-ngelus rambut putrinya yang masih menunduk diam seribu bahasa tanpa mau menyahut dengan satu patah katapun.
"Dia datang kesini karena ingin kenal lebih dekat dengan anak Mimih."
Ibu Salamah menghela nafas dalam seolah merasa lega telah menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan Rangga kenapa bertamu ke rumah mereka.
"Tapi buat apa Mih kenal deket sama Dini, Dini ga mau ah." Andini masih tertunduk
"Setidaknya temui saja dulu Din, kasihan Rangga sudah menunggu sejak jam sepuluh pagi."
"Mimih kasihan sama pria itu, tapi kenapa Mimih ga kasian sama Dini."
Andini menatap Ibu Salamah dengan rasa kecewa. Dia menganggap Ibunya itu tidak adil. Bulir bening mulai memenuhi sudut mata Andini.
"Mimih sayang sama Dini. Mimih hanya minta temui saja sebentar."
Ibu Salamah kembali membujuk Andini agar mau menemui laki-laki yang sejak pagi menunggu kepulangan Andini.
Andini menatap mata Ibu Salamah yang terlihat seperti memohon. Andini pun mengalah lalu berdiri mengikuti Ibu Salamah menuju ke ruang tengah.
Andini mematung diruang tengah rumahnya, terlihat ragu untuk masuk ke ruang tamu untuk menemui laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Masuk ke kamar atau ke ruang tamu." Andini bergumam pada dirinya sendiri.
"Nak Rangga, ini Andini sudah pulang."
Belum sempat Andini berfikir panjang antara masuk ke kamarnya sendiri atau mengikuti Ibunya. Ibu salamah telah membuka pintu ruang tamu sambil meraih tangan Andini.
Pak Husrin dan Rangga beranjak dari kursinya melihat Andini dan Ibu Salamah sudah berdiri di hadapan mereka.
Rangga mengganggukan kepalanya kearah Andini yang terlihat sama sekali tidak menujukan rasa senang terhadap dirinya.
"Ayo sini duduk Nak."
Pak Husein menujuk kursi yang ada di sampingnya berhadapan dengan Rangga. Tetapi Andini memiiih duduk di kursi yang lain.
"Nak Rangg ini putri kami Andini." Ibu Salamag tersenyum memandang Rangga.
"Din, ini Rangga sengaja kesini mau ketemu sama Dini."
Lanjut Ibu Salamah sambil melirik Andini yang terlihat enggan untuk menoleh ke arah Rangga.
"Rangga..."
Rangga yang mengerti dengan situasi yang dihadapinya mengulurkan tangan ke arah Andini.
"Andini."
Jawab Andini sedikit ketus.
"Nak Rangga kami tinggal dulu ke dapur."
Pak Husein yang sejak tadi di pandangi isterinya beranjak dari kursi menuju ke dapur.
"Ayo bu, siapikan makan siangnya."
Ibu Salamah mengikuti suaminya menuju dapur. Andini terlihat cemberut melihat kedua orangtuanya meninggalkannya hanya berdua bersama Rangga.
"Bagaimana Pih... Mudah-mudahan Andini bisa bersikap baik sama Nak rangga."
Ibu Salamah mondar-mandir karena cemas anaknya tidak bisa ramah terhadap Rangga. Pak Husein tidak menjawab perkataan isterinya itu. Pak Husein hanya duduk di kursi meja makan dan sembari menuangkan teh hangat.
"Sudah Mih, duduk. Jangan mondar-mandir terus."
Pak Husein sedikit kesal melihat isterinya yang semenjak tadi tidak henti-hentinya bolak-balik di belakangnya.
"Mih... Sebenarnya Pipih tidak tega terus-terusan memaksa anak kita."
Pak Husein menatap wajah istrinya yang telah duduk disampingnya.
"Tapi Pih..." Ibu Salamah menarik kursi yang di dudukinya agar lebih mendekat ke samping suaminya.
"Bukankah ini sudah sering kita bicarakan sebelumnya dan Pipih sudah setuju."
Bu salamah setengah berbisik sembari menatap wajah suaminya. Sesekali menengok ke arah pintu ruang tengah seolah khawatir pembicaraan mereka di dengar oleh Andini yang masih duduk terdiam di ruang tamu bersama Rangga.
"Iya.. Tapi melihat Andini yang selalu sedih setiap harinya. Pipih jadi tidak tega Mih." Sahut Pak Husein.
"Apa tidak sebaiknya kita pertimbangkan lagi Mih." Lanjutnya sambil meneguk teh hangat yang ada de depannya.
Ibu Salamah terdiam heran mendengarkan apa yang diucapkan suaminya itu walaupun Ibu Salamah juga menyadari kesedihan Andini.
Sementara itu di ruang tamu Rangga terus memancing pembicaraan terhadap Andini yang masih terlihat enggan menjawab setiap apa yang disampaikannya.
"Jadi... Kamu tidak bisa menerima setiap perjodohan dari orangtuamu karena kamu ingin meneruskan sekolah."
Rangga menatap serius wajah polos Andini. Andini hanya menganggukan kepalanya.
"Memangnya kamu mau melanjutkan sekolah kemana?"
Lanjut Rangga masih menatap wajah Andini sembari tersenyum melihat gadis polos yang ada dihadapannya yang selalu memperlihatkan wajah ketus seolah membencinya.
"Ke SMEA." Jawab Andini singkat.
"Bagus dong, kamu mau melanjutkan ke kejuruan."
Rangga meraih cangkir yang berisi kopi hitam yang ada di meja di hadapannya lalu meneguknya.
Andini tersenyum kecil mendengar jawaban Rangga.
"Aku ngerti kalau kamu lebih memilih melanjutkan sekolah. Bahkan aku mendukungmu."
Rangga kembali menatap serius wajah gadis polos yang terperangah kaget mendengar apa yang diucapkannya.
"Ga salah denger."
Andini mengangkat wajahnya seketika sembari menoleh ke arah Rangga.
"He emh." Rangga mengangguk tersenyum
"Terus kenapa..." Andini melirik ke arah pintu ruang tengah. Dia tidak melanjutkan kalimatnya karena takut kedengaran kedua orangtuanya.
Rangga hanya kembali tersenyum sembari menatap wajah polos Andini yang terlihat begitu cantik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments