Sementara itu Ibu Salamah Dan Pak Husein sedang asik berbincang dengan Rangga yang semenjak pagi sudah berada di rumah Andini.
"Bagaimana pun keinginan Andini untuk melanjutkan sekolah itu baik, jadi tidak apa-apa saya akan menunggu Andini sampai lulus. Tiga tahun itu ga akan lama."
Tutut Rangga pada kedua orangtua Andini sembari menatap Ibu Salamah dan Pak Husein yang duduk dihadapannya.
Kedua orangtua Andini tersenyum mendengar ucapan Rangga yang terasa begitu melegakan.
"Terimakasih Nak Rangga atas pengertiannya. Bapak betul-betul senang bisa mengenal Nak Rangga." Ucap Pak Husein sembari membalas senyum pemuda itu.
"Tapi Pih..." Ibu Salamah menatap cemas kearah suaminya. "Bagaimana jika Andini tetap menolak walaupun sudah lulus dari sekolah yang dia mau selama ini."
Pak Husein terdiam mendengar ucapan isterinya itu seraya melirik ke arah Rangga.
Rangga mengerti kekhawatiran kedua orang tua yang ada di hadapannya itu. Rangga tersenyum menatap keduanya.
"Bu... Pak... sebaiknya jangan terlalu mencemaskan hal itu. Biarkan saja semua berjalan semestinya. Kalaupun Andini tetap tidak menerima saya, tidak jadi masalah." ucap Rangga santai sembari meneguk kopi hitam yang sudah di suguhkan Ibu Salamah.
Mendengar penuturan Rangga, Ibu Salamah dan Pak Husein saling menatap heran sekaligus lega.
"Nak Rangga tidak akan kecewa..." tanya Bu Salamah penuh rasa heran.
"Tidak Bu." jawab Rangga tegas. Bibirnya tak lepas dari senyuman yang membuat kedua orangtua Andini semakin kagum.
"Saya bisa mengerti jika Andini tetap menolak. Bukankah setiap manusia berhak atas pilihan hidupnya. Lagipula jodoh bukan kita yang mengatur. Biarkan takdir yang menentukan."
Semakin kagum terlihat di wajah kedua orangtua Andini. Mereka kembali saling menatap dalam hatinya Bu Salamah sangat berharap mempunyai menantu yang begitu pengertian dan bijak seperti Rangga yang nantinya akan bisa menjaga dan menyayangi anaknya dengan sepenuh hati.
"Mimih sangat berharap Andini menerimanya." Akhirnya tak kuasa juga Bu Salamah menahan isi hatinya.
Rangga dan Pak Husein tersenyum saling menatap.
"Saya juga berharap gadis baik seperti Andini yang akan mendampingi perjalanan hidup saya Bu."
Rangga tak ragu menuturkan isi hatinya. Dia sudah jatuh hati dari semenjak pertemuan pertama dengan Andini. Apalagi setelah mendengarkan semua yang Andini sampaikan dengan jujur tentang apa yang di inginkannya dalam hidup.
Gadis cantik dari desa yang tak kalah pintar dengan gadis-gadis kota. Andini yang masih begitu lugu dan begitu kuat keinginannya untuk merubah adat istiadat di kampungnya yang menurut Andini tidak masuk akal jika wanita dibawah lima belas tahun harus sudah menikah. "Kenapa wanita tidak boleh sekolah lebih tinggi? Kenapa tidak boleh bekerja di kantor-kantor? Kenapa harus terfokus ngurus rumah ngurus anak?"
Mengingat pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan Andini membuat Rangga melebarkan senyumnya. Andini dengan bertubi-tubi melontarkan pertanyaan pada Rangga tapi Andini tidak memerlukan jawaban atas semuanya.
"Din."
"Hem" Andini menoleh ke arah Reyhan yang memanggilnya.
Reyhan masih berdiri mematung disamping Rima sembari menatap tajam kedua bola mata Andini.
"Aku minta maaf ya." Reyhan menatap amplop surat yang di pegangnya.
"Salah kamu apa kok minta maaf sih Rey." jawab Andini heran dengan sikap Reyhan.
Reyhan menoleh ke arah Rima yang semenjak tadi terus menatapnya. Reyhan tersenyum melihat kecemasan di wajah Rima.
"Ini." Reyhan menyodorkan surat itu ketangan Andini. Andini heran sembari menatap amplop yang Reyhan berikan padanya. Sungguh Andini tidak mengerti dengan semua ini. Andini mengangkat wajahnya menatap wajah Reyhan tanpa berkata apapun.
Reyhan tersenyum melihat tatapan Andini. "Ini aku minta tolong balikin aja ke Dewi ya Din." Kembali Reyhan menyodorkan amplop yang dipegangnya itu.
Andini semakin tidak mengerti dengan situasi yang di hadapinya, lalu Andini menatap kearah Rima seraya mengangkat dagunya. Rima tersenyum lebar sembari mengangkat kedua bahunya.
"Kenapa sih Rey." Andini mengalihkan pandangannya pada Reyhan yang masih menatapnya.
"Ya aku ga bisa menerimanya. Sampaikan maaf aku ke Dewi juga ya." sahut Reyhan.
"Setidaknya kamu baca dulu gitu sebelum di balikin." Andini menatap surat di tangan Reyhan.
"Ga usah. Ga penting harus tahu isinya Din." Reyhan meraih tangan Andini dan meletakkan amplop itu di telapak tangan Andini.
Andini menghela nafas panjang, dia begitu enggan mengambil surat itu apalagi harus mengembalikannya pada kakak sepupunya.
"Menyusahkan saja.." Gumam Andini sembari memasukan surat itu kesaku rok seragamnya.
"Coba saling ngomong langsung aja buat hal-hal kaya gini. Malah main surat-suratan. Kaya anak esde." Andini menggerutu dengan logat khas sundanya yang begitu kental.
Rima dan Reyhan hanya tertawa melihat tingkah Andini.
"Udah yuk ah kita pulang bareng." Reyhan menatap Rima dan Andini bergantian.
"Ayo." sahut Rima sembari melangkahkan kakinya. Andini masih dengan rasa kesalnya mengikuti langkah Rima yang sudah berjalan selangkah di depannya.
Reyhan yang berjalan di samping Andini masih tersenyum-senyum sendiri memperhatikan tingkah Andini yang cemberut sembari menendang-nendang batu kecil yang ada di hadapannya.
"Rim..." Suara Reyhan memecah keheningan diantara ketiganya yang semenjak tadi tidak ada yang bersuara.
"Hem." Rima menoleh kebelakang.
"Jadi setiap kalian pulang pada cemberut aja gitu sepanjang jalan.." Reyhan tersenyum melirik kearah Andini yang masih berjalan disampingnya.
"Kaya musuhan aja gitu sejak tadi pada diem." lanjut Reyhan menggoda.
Rima tertawa kecil sembari menghentikan langkahnya.
BUK
"Awww...Aduh" Andini dan Rima memekik bersamaan.
Rima terdorong badan Andini kedepan hampir saja terjatuh. Sementara Andini memegang dadanya yang sakit menabrak tas punggung Rima karena sahabatnya itu mendadak menghentikan langkahnya.
"Kamu ga apa-apa." Spontan Reyhan memegang bahu Andini dengan rasa khawatir.
"Aah Din. Kebiasaan kamu tuh ya..." Rima membalikan badannya memastikan sahabatnya itu baik-baik saja.
"Ya maaf... " Andini mengatupkan kedua bibirnya sembari menatap Rima.
"Pasti kamu tuh sejak tadi fikirannya kemana-mana." Rima menatap sahabatnya itu menyelidik apa yang sedang Andini fikirkan.
"Emang kamu mikirin apa Din." Tanya Reyhan seraya menoleh sejenak ke arah Rima lalu mengalihkan pandangannya menatap wajah Andini.
"Soal surat ini..." Andini menatap Rima dan Reyhan bergantian.
"Haha." Rima terbahak mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. "Din, Surat gitu aja kamu fikirin." lanjut Rima sembari melirik ke arah Reyhan.
"Bukan gitu Rim. Aku kasihan sama Dewi. Terus nanti aku ngomomgnya gimana coba... supaya Dewi ga sedih." Tutur Rima sembari meraih tangan Rima dan menariknya agar mendekat.
"Dari tadi kamu juga jauh-jauhan terus jalannya. Kenapa!" Suara Andini sedikit meninggi sambil mengangkat dagunya.
Rima hanya tersenyum. Sementara Reyhan tak lepas memandang wajah Andini yang terlihat tetap cantik sekalipun sedang cemberut ataupun marah.
"Kamu bilang aja, Reyhan ngambil surat ini terus bilang makasih sama kamu Din. Nah... Reyhan malah ngebalikin lagi surat ini tanpa dibuka sedikitpun. Minta tolong ke kamu Din buat ngebalikin lagi surat ini. Gitu kan." Tutur Rima panjang lebar seraya melirik ke arah Reyhan.
"Lah itu aku tahu Rima Melatiii..." Andini memeluk bahu sahabatnya dengan kesal. "Yang aku fikirkan cara ngomong aku nanti pasti bikin Dewi sedih." lanjut Rima seraya melirik Reyhan dengan kesal.
"Kamu marah sama aku.." spontan Reyhan membalas lirikan Andini sembari tetap tersenyum.
"Iya lah." sahut Andini ketus. "Coba kamu kasih langsung aja, kenapa harus aku lagi yang ngasiin ke Dewi. Dewi udah bikin repot masa kamu juga mau bikin aku repot nanti saat Dewi sedih aku harus nenangin ngebujuk... Ah malas! Andini nyerocos sembari melirik Rima dan Reyhan bergantian.
Rima menatap Reyhan. Reyhan masih tetap tersenyum sembari melirik ke arah Rima yang menatapnya.
"Ya sudah sini suratnya balikin, biar besok aku yang kasih ke Dewi." sahut Reyhan sambil menatap wajah Andini.
"Nah gitu dong." Andini setengah melompat membalikan badannya ke arah Reyhan. Andini tersenyum senang sembari menyerahkan surat kepada Reyhan.
"Maaf ya Rey, aku ga tega aja gitu nanti melihat Dewi sedih cintanya di tolak sama kamu."
"Iya ga apa-apa aku ngerti." Reyhan mengangguk. "Aku juga ga tega melihat kamu sejak tadi melamun sedih gara-gara surat ini." lanjut Reyhan sambil tersenyum.
"Ehem." Rima menyenggolkan bahunya ke pundak Rima sembari mengedipkan matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments