Kriiing... Kriiing... Kriiiing
Suara alarm dari jam weker yang di letakan di atas meja belajar di kamar Andini terdengar begitu keras, memecah keheningan kamar Andini. Alarm menunjukan pukul empat dini hari yang setiap pagi selalu membangunkan Andini.
Bergegas Andini bangun dan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya agar menghilangkan rasa kantuknya. Andini bergegas mengambil sapu dan menyapu seluruh ruangan rumahnya tanpa ada satu sudutpun yang terlewat. Kemudian Andini mengabil pel dan air kedalam ember.
Itulah kebiasaan Andini setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Dia selalu membantu Ibunya sebisa mungkin. Setelah beres, Andini mengambil handuk dan membersihkan tubuhnya tanpa memperdulikan dinginnya air seperti es ketika waktu pagi. Karena setelah mandi Andini akan merasakan tubuhnya segar dan tidak merasa dingin lagi.
Ibu Salamah sedang berada di depan tungku sambil memasak air ditemani suaminya. Setelah Andini keluar kamar mandi, Pak Husein beranjak dari samping Ibu Salamah dan meraih handuk yang sudah digantungkan di kursi meja makan yang berada di dapur.
"Mih, Dini mau berangkat lebih pagi ya biar ga buru-buru jalannya. Suka cape pas nyampe sekolah Mih kalau jalannya cepet-cepet."
Andini menghampiri Ibu Salamah yang masih berada di dapur yang sedang menyiapkan teh manis hangat untuk suaminya dan hanya menoleh ke arah Andini yang sudah siap dengan baju seragam dan tas hitam di punggungnya.
Andini duduk di kursi meja makan, disana sudah siap nasi goreng hangat buatan ibunya. Andini menyantap habis sepiring nasi goreng yang sudah menjadi makanan favoritnya. Ibu Salamah menyodorkan sejumlah uang yang setiap pagi dia berikan pada putrinya itu sebagai bekal sekolah.
"Dini berangkat ya Mih.. Pih." Andini berpamitan kepada Mimih dan Pipihnya, setelah mencium punggung tangan kedua orangtuanya Andini mengucap salam.
"Waalaikumsalam." Ibu Salamah dan Pak Husein menatap punggung putrinya yang berjalan makin menjauh meninggalkan mereka berdua yang berdiri di depan teras rumah.
Setelah Andini tidak terlihat mereka berdua kembali kedapur. Pak Husein meraih baju kebunnya dan setelah siap dengan pakaian kerjanya Pa Husein pamit lalu berangkat. Sedangkan Ibu Salamah seperti biasanya berkutat di dapur menyiapkan makanan untuk diantarkannya ke perkebunan.
TENG...TENG...TENG
Bel tanda masuk sekolah telah berbunyi, semua murid berhamburan memasuki kelasnya masing-masing.
"Cepet Diiiin! Teriak Rima dari depan gerbang sekolah.
Andini masih satu meter diluar gerbang berjalan gontay setengah melamun.
"Din!" Rima menghambur menghampiri sahabatnya itu dan menarik tangan Andini agar mempercepat langkahnya.
"Rimaaa!"
Andini setengah berlari dibelakang Rima yang terus menarik tangannya.
"Cepet ih, jalan kamu lambat banget Din. Bel masuk tuh dari tadi. Mau kamu berdiri di depan kelas."
Mendengar Rima yang mengingatkan hukuman wali kelasnya jika ada murid yang telambat masuk kelas, berhasil membuat Andini berlari menyusul Rima.
"Kamu Andiniiiii Huseeiiiiin!
Teriak Rima sedikit kesal terhadap sahabatnya itu. Rima pun berlari mengejar Andini yang seolah tak memperdulikannya. Andini tiba-tiba berhenti menunggu Rima dan meraih tangan sahabatnya itu.
"Rim,, ah kamu bikin aku nunggu aja larimu itu lambat tauuuu. Ayooo cepet aku gak mau nanti aku duduk sendiri dan liatin kamu berdiri deket meja guru."
"Ga salah!" Rima cemberut
Andini tertawa melihat sahabatnya yang cemberut lalu menggandeng bahu sahabatnya itu.
"Makasih ya Rim, kamu udah nungguin aku. Kamu tuh emang sahabat yang paling baik."
"Kamu juga Din, selalu nunggu juga kalau aku telat datang." Rima membalas senyuman sahabatnya itu.
Setelah jam istirahat berbunyi seperti biasa Andini dan Rima berbaur bersama teman-temannya menuju kantin. Mereka membeli baso tahu goreng untuk mengganjal perutnya sebelum di isi nasi sepulang sekolah jam 1 siang nanti.
Jam istirahat masih sekitar 10 menit lagi. Andini dan Rima selalu menuju perpustakaan sekolah untuk menunggu bel kembali berbunyi tanda jam istirahat telah selesai. Kali ini mereka hanya duduk di kursi yang berada di depan perpustakaan sekolah.
"Din, gimana dirumah?" Rima mengubah posisi kursinya berhadapan dengan Rima.
"Cepet Din cerita ih nanti keburu masuk!" lanjut Rima penasaran melihat sahabatnya itu hanya menatapnya dan memainkan ballpoint yang ada ditangannya.
Ctrek...Ctrek..
Rima mengambil ballpoint dari tangan Andini yang sejak tadi di mainin Andini.
"Din!" Rima menepuk paha Andini lumayan keras
"Sakit Rimaaa."
"Makanya cepet cerita, aku kan penasaran." Rima tidak menghiraukan mata Andini yang melotot karena merasa sakit pahanya ditepuk keras oleh sahabatnya.
"Soal Mimih Pipihku..." Andini setengah bertanya dan memandang Rima.
Rima mengangguk. "Iya, soal jodohin kamu itu Din." lanjut Rima begitu penasaran.
"Belum pasti Rim." Sahut Andini sedih
Terngiang kembali di telinganya ketika omanya menyebut janda muda. "Ga. Ga bisa. Aku ga mau jadi janda muda." Andini berbicara pada dirinya sendiri
"Din kamu tuh malah melamun bikin aku khawatir aja." Rima kembali menggeser tempat duduknya hingga lututnya beradu dengan lutut Andini.
"Iya Rim belum pasti. Soalnya kemarin Mimih bilang mau bicara dulu sama Pipih. Kalau Pipih setuju ya aku bisa lanjut sekolah. Walaupun Mimih sedikit udah mendukungku tapi Mimih ga bisa mutusin sebelum bicara sama Pipih." Jelas Andini sambil tertunduk menahan bulir bening di sudut matanya agar tidak jatuh
"Teruuus... Kapan Mimih ngobrol sama Pipih kamu Din."
Andini hanya menggeleng, dadanya sesak menahan tangis. Rasanya sudah tidak sanggup lagi membuka mulutnya untuk bicara. Karena Andini tahu sedikit saja dia membuka mulut untuk meneruskan apa yang dirasakannya. Andini tidak akan bisa menahan tangisnya. Andini tidak mau teman-teman sekolahnya tahu kalau orangtuanya sedang berusaha menjodohkannya dengan laki-laki yang sama sekali tidak Andini kenal. Andini pasti akan sangat malu jika teman-temannya mengetahui itu.
Melihat sahabatnya begitu terlihat sedih, Rima tidak memaksa Andini untuk terus bercerita. Rima memegang kedua tangan sahabatnya berusaha memberi dukungan dan menguatkan hati Andini.
Mereka hanya duduk terdiam tanpa ada satu patah katapun terucap dari keduanya.
Rima yang merasakan kesedihan sahabatnya itu berusaha mencari cara agar Andini kembali ceria dan sedikit melupakan masalah yang sedang dihadapinya.
"Din." Rima beranjak dan menatap Andini
"Ada gosip tapi nyata Din." lanjut Rima masih menatap wajah sahabatnya.
"Maksudnya apa.. Gosip tapi nyata."
Andini mengerutkan keningnya. Seketika terlihat raut wajah penasaran terhadap apa yang dikatakan sahabatnya. Hal itu membuat Rima tersenyum dalam hati. Dia merasa telah berhasil mengalihkan fikiran Andini agar tidak terus bersedih.
"Kamu mau tahu Din."
Andini mengangguk
"Yakin kamu mau tahu." Sahut Rima sedikit mengerjai Andini.
"Iya Rima gosip tapi nyata apa maksudnya, ayo cerita jangan lama-lama." Jawab Andini ketus.
"Mau tahu atau mau tahu bangettt." Rima seolah mengejek sahabatnya yang terlihat sangat penasaran. Rima tersenyum kebar dan beranjak dari kursi.
"Rima mau kemanaaa, jangan dulu pergi. Cerita dulu. Rima Melatiiiii!
Andini berteriak seraya beranjak dari kursi yang di dudukinya dan berlari mengejar Rima yang sudah jauh berjalan di depannya.
Rima tidak menghiraukan teriakan sahabatnya itu. Dia hanya tersenyum dan terus berjalan, Andini pun mengikuti sahabatnya untuk masuk kedlaam kelas karena bel sekolah telah berbunyi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments