"Andini.... Kenapa kamu melakukan ini Nak?" Isak tangis Ibu Salamah tumpah sembari memeluk putrinya yang baru kembali kerumah setelah lima hari tidak pulang.
Ibu Salamah merasa marah sekaligus bahagia atas kepulangan putrinya itu. Dalam hati Ibu Salamah masih tetap bertanya-tanya kemana putrinya selama lima hari ini. Hatinya masih tetap diliputi kecemasan walaupun Andini sekarang sudah berada di hadapannya.
"Setinggi apapun pendidikan seorang wanita, ujung-ujungnya hanya kembali ke dapur." Ibu Salamah menatap wajah Andini.
"Mih... Salamah..." Sahut Andini dan Ibu Imas sembari menatap wajah Ibu Salamah.
"Ibu tahu... Keinginan kamu itu tidak salah Sal." Tatapan Ibu Imas membuat Ibu Salamah sedikit tertunduk. Ibu Salamah sudah tahu kemana arah pembicaraan ibunya itu.
"Tapi.... Keinginan Andini yang ingin melanjutkan sekolah itu juga tidak salah Salamah." Ibu Imas beranjak dari tempat duduknya mendekati kursi yang di tempati putrinya.
"Kita sebagai orangtua cobalah untuk mengerti apa yang menjadi keinginan anak kita. Jangan hanya karena takut di gunjingkan masyarakat, kita mengorbankan perasaan Andini. Mungkin sekarang sudah saatnya kita mendukung Andini untuk merubah kebiasaan masyarakat di kampung kita."
Panjang lebar Ibu Imas mencoba membuka hati dan pikiran putrinya. Sementara Ibu Salamah hanya menghela nafas panjang mendengar apa yang di ucapkan Ibunya. Dalam hatinya juga membenarkan semua yang di katakan Ibunya itu tidak salah. Ibu Salamah menatap dalam wajah Ibu Imas.
"Ya Sal..." Ibu Imas mengangguk seolah mengerti isi hati putrinya.
"Tapi Bu... Aku hanya khawatir Andini terbawa pergaulan kota yang lebih banyak buruknya. Jadi lebih baiknya Andini menikah Bu."
Ibu Salamah kembali menatap Ibunya mengharap kali ini Ibu Imas akan mendukungnya. Tetapi Ibu Imas hanya menggelengkan kepala.
"Mih.. " Suara Andini lemah dan sedikit serak. Air matanya tak henti mrngalir membahasi pipi dan dagunya yang oval.
"Tidak semua yang sekolah di kota ga bener pergaulannya Mih. Andini juga pasti bisa menjaga diri."
"Kamu yakin Din akan menjaga diri dengan baik." Ibu Salamah menatap dalam kedua bola mata putrinya yang penuh dengan bulir-bulir bening yang berjatuhan membasahi kedua pipi putrinya.
Sebenarnya Ibu Salamah tidak tega melihat putrinya yang terus menangis tak henti-hentinya semenjak tadi. Ibu Salamah pun menitikan air mata melihat kesedihannya Andini.
"Iya Mih, pasti." Andini mengangguk tegas meyakinkan Ibunya.
Ibu Salamah menghela nafas begitu dalam, masih terlihat berat untuk menyetujui keinginan putrinya itu. Ibu Salamah menatap wajah Ibu Imas seolah meminta ibunya itu untuk meyakinkan hatinya.
Ibu Imas tersenyum membalas tatapan putrinya.
"Mimih harus percaya sama Dini Mih." Andini berpindah duduk kesamping ibunya sembari memegang lutut Ibu Salamah.
"Baiklah..." Ibu Salamah menatap sejenak wajah Andini.
"Mimih akan memikirkannya lagi. Nanti Mimih juga harus bicara sama Pipihmu. Baru Mimih bisa ambil keputusan."
"DUG..DUG..DUG."
Terdengar samar suara beduk dari mushola tanda sudah tiba waktunya Ashar. Ketiganya beranjak dari kursi masing-masing. Ibu Salamah menuju kamar mandi hendak mengambil air wudhu. Ibu Salamah menyediakan teh manis hangat untuk suaminya yang sebentar lagi akan turun dari perkebunannya. Sementara Andini menuju kamarnya karena sejak kembalinya Andini ke rumah, dia belum ganti baju.
Tak lama, Ibu Salamah keluar kamar mandi langsung menuju kamar kecil yang dijadikan tempat khusus keluarga Ibu Imas untuk menunaikan sembahyang sholat. Giliran Andini masuk ke kamar mandi dia langsung mengguyur tubuhnya denga air dingin dari bak mandi untuk menyegarkan tubuhnya.
"Brrrr..." Suara Andini ketika mengguyurkan air dari gayung yang ada ditangannya. Air yang ditampung dari mata air pegunungan yang langsung mengalir ke bak mandi keluarga memang lebih dingin dari air PDAM ataupun sumur buatan.
"Cepet mandinya Din."
"Iya Pih. Ini udah." Andini bergegas menyelesaikan mandinya setelah mendengar Pipihnya mengetuk pintu yang menyuruhnya untuk cepat menyelesaikan mandinya. Andini meraih handuk yang digantung di pintu kamar mandi dibalutkan kedadanya. Lalu mengenakan handuk satunya lagi yang di tutupkan ke pundak dan seluruh dadanya.
Setelah ganti pakaian dan merapikan rambutnya. Andini keluar dari kamar menuju mushola keluarga. Disusul oleh ibunya dan mereka pun sembayang sholat ashar berjamaah.
Sementara itu Pak Husein meninggalkan rumah menuju mesjid yang ada dikampungnya.
Begitulah kebiasaan keluaga ini. Setiap pagi selepas subuh Pak Husein berangkat ke perkebunan sedangkan Ibu Salamah sibuk memasak dan Andini membantu Ibunya sebisanya sebelum berangkat ke sekolah. Sekitar jam 9 pagi Ibu Salamah menyusul suaminya ke perkebunan sembari menggendong bakul nasi lengkap dengan lauk pauknya. Dan menjinjing termos air.
Ketika waktu dhuhur tiba mereka pun kembali ke rumah setelah semua pekerjanya pulang. Lalu Pak Husein kembali lagi ke perkebunan dan kembali ketika waktu sembahyang ashar, sedangkan Ibu Imas sibuk di dapur menyiapkan makanan buat makan malam keluarganya.
"Semoga saja Pipih ngizinin Dini lenjutin sekolah ya Alloh."
Andini menatap langit-langit kamarnya. Terlihat raut cemas di wajah cantik gadis belia itu. Sesekali Andini memiringkan badannya ke kanan dan ke kiri. Andini tidak menyadari kalau Omanya sejak tadi mengintip dari balik gorden kamar.
"Sal..."
Ibu Imas memegang punggung tangan anaknya, mereka duduk di kursi meja makan yang terletak di dapur.
"Iya Bu." Bu Salamah menatap wajah ibunya sembari membalas pegangan tangan Ibu Imas.
"Tadi ibu lihat Andini di kamarnya, sangat gelisah dan masih terlihat sedih. Sebaiknya jangan di paksa Sal." Ibu Imas meneguk teh hangat yang ada di depannya.
"Ibu kok malah khawatir, kalau kita paksa Andini nantinya malah pernikahannya bikin keluarga malu."
"Maksud Ibu?" Salamah memandang heran atas ucapan Ibunya itu.
"Bukankah penikahan itu harus di dasari suka sama suka." lanjut Ibu Imas.
"Iya benar Bu."
"Kalau Andini kita paksa, pernikahannya tidak akan bertahan lama Sal. Lalu nanti Andini akan menjadi janda muda. Bukankah itu memalukan buat keluarga kita Sal."
Ibu Imas kembali menatap Salamah, putri yang sangat dia sayangi. Ibu Imas tertunduk sembari menghela nafas panjang tanpa menjawab perkataan ibunya.
Ibu Imas kembali meneguk teh dari dalam cangkir yang tinggal setengah. Ibu Imas juga tidak melanjutkan ucapannya. Dia sengaja membiarkan putrinya agar mencerna semua yang di sampaikannya tadi.
"Apalagi jadi janda muda Dini ga mau Mih. Dini lebih milih tetep sekolah Ya Miiih..." tiba-tiba Andini berdiri di pintu dapur.
Ibu Imas dan Mimihnya Andini menoleh serentak ke arahnya setengah kaget. Ucapan Andini yang tiba-tiba mengangetkan Ibu Imas dan Ibu Salamah seolah membuyarkan pikiran mereka berdua yang semenjak tadi terdiam.
"Siapa yang akan jadi janda. Tidak satupun Din." Sahut Omanya
Ibu Imas hanya mengangguk sambil menatap putrinya. Andini membalikan badannya meninggalkan kedua orangtua itu yang tetap duduk di kursinya masing-masing.
Andini kembali ke dalam kamar dan menjerembabkan tubuhnya ke atas kasur. Dia membenamkan wajahnya diatas bantal sambil sesegukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments