Hatinya menangis, bagi Bulan, orang tuanya pilih kasih dan tidak adil.
"Kenapa bukan kamu saja yang dijodohkan?" tanya Bulan ketus.
"Aku laki-laki Bulan, tanggung jawab seorang laki-laki itu lebih besar." ucap Bintang dengan pelan menjelaskan.
"Karena aku perempuan? Tapi aku masih kecil, usiaku aja belum genap 15 tahun dan aku masih kelas 1 SMP. Umi sama Aby itu gimana sih." ucap Bulan setengah berteriak.
"Bulan, kamu harus percaya pada Umi dan Aby. Mereka adalah orang tua kamu. Jangan pernah berpikir negatif dengan segala usaha dan keputusan yang mereka ambil, nanti kamu durhaka. Karena ridho Allah ada pada orang tua kita." ucap Bintang menjelaskan pelan.
Bulan hanya terdiam menatap langit yang bertabur bintang. Bulan menarik napas panjang dan menghembuskan napasnya dengan pelan.
Bulan mengayun-ayunkan kakinya ke depan dan ke belakang hingga badannya ikut terayun Rasa dingin dari udara malam pun sedikit menyejukkan tubuh Bulan. Pikirannya masih melayang karena kejadian barusan.
Bulan memejamkan matanya dan menikmati ayunan itu yang semakin kencang.
Ayunan itu semakin lama pelan dan berhenti seperti ada yang menahannya. Bulan membuka matanya, Bintang sudah tidak ada disana. Kursi taman itu sudah kosong tak berpenghuni. Namun, dari belakangnya ada sesuatu yang hangat dan membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
Bulan menengok ke arah samping dan melirik sekilas.
"Astaghfirullah ... Pak Ustad. Bikin kaget aja." ucap Bulan keras karena terkejut.
"Ijinnya ke belakang, tapi sudah lima belas menit gak balik ke meja, ada apa? Kaget dengan perjodohan kita?" tanya Ustad Ihsan kepada Bulan.
Bulan hanya diam tidak menanggapi, senyumnya tertahan dan wajahnya tidak seceria tadi.
"Kok diam?" tanya Ustad Ihsan pelan.
"Gak tahu harus bilang apa? Gak tahu juga harus senang atau sedih." ucap Bulan singkat.
"Mau marah boleh? Gak terima dengan ini semua juga gak papa." ucap Ustad Ihsan dengan bijak.
"Kata Bintang nanti durhaka, melawan orang tua." ucap Bulan tenang.
Ustad Ihsan berjalan menuju kursi taman dan duduk bersandar. Terlihat sangat tenang dan nyaman, saat memejamkan kedua matanya dan menraik napas panjang dan dihembuskan pelan.
"Saya tahu. Kamu berat menerima ini semua, tapi kalau kamu menerima dengan ikhlas maka semuanya akan terasa mudah." ucap Ustad Ihsan pelan tanpa menatap Bulan.
Bulan menatap Ustad Ihsan dan mencerna setiap perkataannya. Menerima dengan ikhlas pasti akan terasa mudah. Apa iya seperti itu, batin Bulan dalam hati sambil.mendengus
"Kalau ngomong itu gampang. Ya kali enak di jodohin sama om om kayak ustad. Usia kita aja beda, apalagi sifat dan lainnya." ucap Bulan dengan ketus.
"Oke saya tanya. Apa yang menjadi hambatan kamu untuk menerima perjodohan ini?" tanya Ustad Ihsan dengan lembut.
"Saya masih ingin bebas, dan sedikitpun belum mikirin pacaran apalagi urusan nikah." ucap Bulan tegas.
"Saya juga gak mau pacaran sama kamu. Saya hanya menjaga kamu dengan rasa sayang hingga tiga tahun ke depan." ucap Ustad Ihsan pelan.
"Sama aja. Kenapa Pak Ustad gak menolak perjodohan ini?" ucap Bulan ketus.
"Kalau kamu punya alasan untuk tidak menerima perjodohan ini, saya juga punya alasan menerima perjodohan ini." ucap Ustad Ihsan pelan menjelaskan.
Bulan menatap tajam kedua mata Ustad Ihsan.
"Apa maksud Pak Ustad??" tanya Bulan pelan.
"Ya, kalau kamu gak terima tinggal bilang dengan Aby dan Umi. Gampang kan, selesai masalah." ucap Ustad Ihsan pelan.
"Gak semudah itu, merayu Aby dan Umi." ucap Bulan ketus.
"Nah, itu tahu?? Lalu?? Kamu mau gimana?" tanya Ustad Ihsan lembut
Bulan terdiam menatap langit-langit, terlihat mendung seperti hatinya saat ini.
"Bulan, hanya ingin menyenangkan Aby dan Umi. Tapi, ada syaratnya." ucap Bulan mantap.
"Syarat untuk apa? Menerima dengan ikhlas itu tanpa syarat, itu dilakukan cuma-cuma dan hanya berpasrah kepada Allah SWT." ucap ustad Ihsan menjelaskan.
"Jangan sampai rahasia ini diketahui banyak orang dan yang kedua, biarkan setelah lulus MTs, Bulan memilih sekolah biasa saja, dan tidak di Pondok." ucap Bulan dengan lantang.
"Baik kalau itu mau kamu. Aku juga ada syarat untuk kamu." ucap Ustad Ihsan dengan lembut.
"Apa itu, sebutkan?" tanya Bulan menanggapi dengan ketus.
"Jangan pernah batalkan rencana ini, apapun alasannya. Selebihnya kamu, aku beri kebebasan asal bertanggungjawab." ucap Ustad Ihsan pelan.
Bulan terdiam, karena permintaan Ustad Ihsan diluar pikiran Bulan tadi. 'Kalau seperti ini mana bisa bebas, ada juga semakin dikekang iya.' ucap Bulan pelan.
"Kamu bilang apa?" tanya ustad Ihsan kepada Bulan.
"Ohh... gak ada Ustad Ihsan, tadi lihat kucing, emm itu disana." ucap Bulan pelan sambil menunjuk arah lorong hotel.
Ustad Ihsan pun ikut menengok ke arah yang ditunjuk Bulan. Namun hanya ada pot bunga disana dan beberapa lukisan abstrak untuk mempercantik pesona hotel Arasan.
"Mana?? Gak ada." ucap Ustad Ihsan pelan.
Bulan malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Emang gak ada. Masa iya hotel se-elite ini ada kucing liar yang masuk." ucap Bulan keras.
Ustad Ihsan hanya membalas Bulan dengan senyuman yang ramah membuat Bulan malah menjadi canggung. 'Bukannya marah ini orang malah senyum-senyum gak jelas.' batinnya di dalam hati.
"Kok, Pak Ustad gak marah?" tanya Bulan pelan.
"Kenapa harus marah? Cuma bercandaan receh kayak gitu, saya gak akan marah." ucap Ustad Ihsan yang terlihat tegas dan dingin.
"Apa?! Bercandaan receh?? Pak Ustad itu gak punya selera humor ya? Oh ya pantas aja, Pak Ustad itu cocoknya jadi om saya." ucap Bulan dengan ketus.
"Sudah ngomongnya?! Ayo kembali ke meja makan, gak enak." ucap Ustad Ihsan yang terlihat menjawab dengan cuek.
Ustad Ihsan pun berdiri meninggalkan Bulan yang masih berada di ayunan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments