Kamarnya tidak besar, dan bisa dikatakan kecil. Hanya ada kasur tanpa tempat tidur, lemari pakaian, meja dan kursi dan kamar mandi di dalam.
"Siapa Bulan tadi? Apa hubungannya dengan anak tadi?" tanya Ayah Araby dengan penasaran.
"Bulan adalah santriwati baru, dan Bintang itu saudara kembarnya." ucap ustad Ihsan singkat.
"Lalu, siapa calon istrimu?? Kenalkan pada Ayah, mumpung Ayah disini." tanya Ayah Araby pelan.
"Beri Ihsan waktu Ayah, nanti akan Ihsan bawa ke rumah Ayah." ucap Ihsan pelan.
"Lihat ... Kamu masih betah disini?? Ayolah Ihsan, bantu Ayah mengurus perusahaan Ayah. Mau sampai kapan lagi Ayah menunggumu?" tanya Ayah Araby dengan perasaan khawatir
"Ihsan minta waktu tiga tahun lagi Ayah. Ihsan akan menikahi calon istri Ihsan, dan Ihsan akan membantu perusahaan Ayah." jawab Ihsan singkat.
"Baiklah Ihsan. Ayah tunggu tiga tahun lagi dan bawa calon istrimu untuk mendampingi kamu. Ayah merestui siapapun calon istrimu itu. Ayah yakin, kamu pasti memilih yang terbaik diantara yang baik." ucap Ayah Araby.
"Insya Allah Ayah. Ihsan akan selalu mengingat semua nasihat Ayah kepada Ihsan. Ihsan pasti akan memberikan yang terbaik untuk Ayah dan Bunda." ucap Ihsan pelan.
"Kamu memang anak Ayah yang terbaik. Tapi, apakah benar, calon mertuamu yang memintamu langsung menjaga anak gadisnya? Apakah gadis itu berada di Pondok ini?" tanya Ayah Araby tersenyum penuh kemenangan.
"Ayah, Ihsan memang tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu. Ya, gadis itu Bulan namanya. Ia masih berusia 14 tahun. Orang tuanya memintaku untuk menunggu hingga Bulan berusia 17 tahun untuk di nikahkan. Dan selama itu, Ihsan harus membimbing dan mengajari Bulan agar menjadi wanita Sholihah." ucap Ihsan menjelaskan dengan sopan dan pelan.
"Ayah sudah mengira sejak tadi. Karena saat saudara kembar Bulan itu memberi kamu kotak makan, wajahmu langsung berubah bahagia dan ceria. Ayah ini, Ayah kamu, sudah tentu tahu sifat dan watak kamu seperti apa." ucap Ayah Araby.
Ihsan hanya tersenyum menatap Sang Ayah. Begitu bijak dalam menanggapi suatu masalah. Tidak sekalipun pernah memarahi Ihsan sedari kecil. Benar-benar Ayah teladan.
Ustad Ihsan masih duduk di kasurnya. Sang Ayah telah kembali ke kotanya. Satu kotak makan sudah berada ditangannya, dibuka kotak itu. Wangi khas nasi goreng sudah tercium, hanya saja nasinya sudah mulai dingin.
Satu sendok nasi goreng sudah berpindah ke dalam mulutnya. Lumayan, bumbunya pas hanya saja kurang asin sedikit, batin Ustad Ihsan dalam hatinya.
Mengingat Bulan yang manja, dan terlihat tidak bisa apa-apa tapi bisa memasak dengan rasa yang cukup enak. Tidak terasa nasi goreng itu pun habis, ustad Ihsan mencuci kotak itu dan meletakkan di meja.
Tok tok tok ... Suara ketukan pintu terdengar dari luar pintu kamar ustad Ihsan.
Pintu kamar di buka oleh ustad Ihsan dan ternyata ada ustad Abigail yang membawa satu kantong plastik besar untuk ustad Ihsan.
"Assalamualaikum Tadz ini titipan dari satpam. Boleh masuk?" ucap Ustad Abigail.
"Waalaikumsalam .. terima kasih. Masuk Tadz." jawab Ustad Ihsan pelan.
"Ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan kepada kamu, Ihsan." ucap Abigail pelan.
"Tentang apa?" tanya Ihsan pelan.
"Apa benar kamu sudah memiliki calon istri di Pondok ini?" tanya Abigail yang penasaran dengan desas desus itu.
"Betul sekali Abigail." jawab Ihsan dengan jujur.
"Siapa? Bukan ustadzah Hilya?" tanya Abigail kemudian.
"Bukan Abigail." ucap Ihsan pelan.
"Ihsan, kita berteman sudah lama. Aku mau cerita sesuatu. Tadi aku didapur, ketemu bidadari yang sangat cantik sekali. Katanya lagi belajar memasak makanya membantu di dapur." ucap Abigail pelan.
Deg .... Deg ... Jantung Ihsan seakan berlari dan berdetak sangat cepat. Takut bidadari yang disebutkan itu adalah calon istrinya.
"Lalu?" tanya Ihsan pelan.
"Dia menawarkan aku hasil masakannya. Dan ternyata sangat enak, sepertinya masih sangat kecil tapi cukup dewasa." ucap Abigail dengan antusias.
"Siapa namanya?" tanya Ihsan menyelidik. Hatinya makin tidak karuan rasanya. Jangan sampai itu semua terjadi. Menyukai orang yang sama dengan teman sendiri itu tentu akan menyakitkan.
"Bulan Az-Zahra." ucap Abigail mantap.
Hati Ihsan rasanya panas dan sakit sekali mendengar ucapan Abigail.
"Bulan?? Kamu tidak salah?" tanya Ihsan sedikit ketus.
"Apa yang salah? Karena dia masih kecil dan dibawah umur." ucap Abigail pelan.
"Ya, gak ada yang salah. Takutnya sudah punya jodoh. Kita kan gak tahu." ucap Ihsan pelan.
"Masih banyak waktu kan, untuk mengenalnya." ucap Abigail pelan.
"Ya benar." ucap Ihsan terbata. Rasa cemburu itu makin merasuki hatinya.
"Ekhmm ngomong-ngomong siapa gadis yang sudah dijodohkan denganmu? Anissa ya?" tebak Abigail pelan.
"Bukan Abigail. Suatu saat kamu akan tahu." ucap Ihsan pelan.
"Baiklah ... Kalau gitu aku permisi dulu. Acara untuk anak santri Minggu besok gimana?" tanya Abigail pelan.
"Nanti malam kita rapat di Saung Kyai Mansyur. Panggil semua ustad dan ustadzah pembimbing, kita berkumpul setelah sholat Isya berjamaah." ucap Ihsan menitah.
"Oke Siap." ucap Abigail pelan dengan mengacungkan jempolnya.
Ihsan membuka plastik yang berisikan banyak sekali makanan ringan dan coklat pesanannya. Ihsan membuka satu persatu bungkus coklat dan menatanya di dalam kotak makan Bulan. Rencananya akan diberikan saat sholat Maghrib berjamaah.
Hari semakin sore, tidak terasa sudah memasuki waktu sholat Maghrib berjamaah di Masjid Ponpes. Bintang bertugas untuk melaksanakan adzan Maghrib.
Bulan dan keempat temannya sudah berjalan menuju masjid Ponpes dengan membawa mukena masing-masing.
Ustad Ihsan sejak tadi sudah mengintai Kedatangan Bulan, dan dengan sengaja berjalan di belakangnya.
"Bulan ... Ada yang harus kita bicarakan sebentar. Masalah lomba mengaji yang akan diadakan Minggu depan." ucap Ustad Ihsan yang berdiri di belakang Bulan.
Bulan yang mendengar namanya dipanggil menengok ke arah belakang lalu membalikkan badannya ke arah ustad Ihsan.
"Maaf, ada yang harus say bicarakan dengan Bulan." ucap ustad Ihsan pelan.
"Iya ustad Ihsan. Apa itu?" tanya Bulan pelan.
"Kamu tadi mengirimkan nasi goreng dalam kotak makan melalui Bintang?" tanya ustad Ihsan dengan rasa tingkat percaya diri yang tinggi. Jujur, ustad Ihsan sangat senang dan diperdulikan.
"Ohh ... Nasi goreng tadi. Iya betul, Bulan lagi mencoba resep baru, dan semua pembimbing dapat kotak makan itu agar bisa mencoba masakan Bulan." ucap Bulan dengan jujur dan polos.
Ustad Ihsan hanya kaget dan membelalakkan matanya hingga membola. Rasanya malu dan kecewa campur aduk, ustad Ihsan pikir, Bulan khusus memberikannya secara special ternyata itu salah.
"Jadi ... Kamu memberikan semua ustad dan ustadzah pembimbing untuk makan masakan kamu?" tanya ustad Ihsan perlahan.
Bulan menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum.
"Iya betul sekali. Gimana? Enak kan ustad?" tanya Bulan dengan senyum sumringah.
"Enak sekali. Sudah cocok jadi istri." ucap ustad Ihsan yang lolos begitu saja.
"Apa? Jadi istri? Pak Ustad ini Ngadi Ngadi. Bulan masih kecil, masih mau main, nongkrong sama teman, nikah atuh nanti umur tiga puluh tahun." ucap Bulan yang dengan cueknya menjelaskan.
Ustad Ihsan cukup terhenyak mendengar perkataan Bulan yang tidak biasa, sifat kepremanannya mulai keluar. Saat apa yang tidak disukainya itu di pancing.
"Kamu gak mau nikah muda?" tanya ustad Ihsan pelan.
"Ya, Gak lah." ucap Bulan ketus.
"Kalau diajak ta'aruf atau dijodohkan juga gak mau?" tanya ustad Ihsan makin penasaran dengan Bulan.
"Sama sekali gak mau. Apalagi ta'aruf, ehhh... ta'aruf itu gimana ya, Bulan gak ngerti." ucap Bulan pelan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Nanti saya akan ajarkan di kelas. Apa itu ta'aruf." ucap ustad Ihsan dengan lembut.
"Boleh juga. Tapi Bulan juga gak akan mau diajak ta'aruf. Mending pacaran, kan kenal betul siapa calon kita." ucap Bulan dengan polos.
"Nanti kamu juga akan mengerti Bulan. Ini kotak makan kamu, makasih Bulan. Nasi gorengnya bikin nagih." ucap ustad Ihsan pelan lalu berlalu begitu saja meninggalkan Bulan yang masih berdiri tegak bagaikan patung.
Satu tangannya memegang kotak makan itu, karena berat Bulan membuka kotak itu dan ..... banyak coklat disana.
'Yes yes yes .... tahu aja, Bulan suka banget coklat, apalagi coklat putih. Yummy ... rejeki anak sholehah.' teriak Bulan sedikit tertahan.
Ustad Ihsan berdiri di samping tembok pintu masuk dan melihat bagaimana reaksi Bulan. Ternyata memang sesuai harapan. Mungkin setelah ini, ustad Ihsan harus mencari cara unik lagi untuk bisa mendekati Bulan. Sudah jelas, ustad Abigail pun kini menjadi saingannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments