Kedua bola mata Bulan menatap jengah ucapan Bintang. Dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan Bintang. Bintang itu memang nyaris sempurna, ganteng, baik, ramah, pintar, agamis, siapapun pasti suka dengan Bintang. Sedangkan dirinya? Nilai Akademik pas pasan, Nilai Agama minim sekali, Nilai bar-bar maksimal .... Astaghfirullah ... mau jadi apa generasi penerus bangsa kalau semua anak seperti Bulan.
Bulan terus saja menggandeng Umi Sofi. Kyai Mansyur berjalan di paling depan dengan membawa koper Bulan. Bintang berada di belakang Kyai Mansyur beriringan dengan Ustad Ihsan. Sedangkan Umi Sofi terus saja mengusap bahu Bulan dengan lembut menguatkan Bulan untuk sabar dan ikhlas.
Saat ini mereka sudah berada di Pondok Putra. Umi Sofi dan Bulan menunggu di depan gerbang. sebelum memasuki gerbang itu, Bintang mendekati Bulan.
"Baik-baik disana. Aku akan menjaga kamu selama disekolah saja, untuk di Pondok kamu harus bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri kamu sendiri. Kamu pasti bisa Bulan." ucap Bintang pelan menyemangati Bulan.
Wajah Bulan sudah sembab, sejak tadi menangis di lengan Umi Sofi. Wajahnya menatap Bintang yang bisa tanpa beban menerima ini semua. Sedangkan Bulan, ini semua terasa berat.
"Yang penting pikiran kamu positif biar hasilnya positif. Kalau kamu berpikiran negatif terus maka hasilnya pun akan negatif." ucap Bintang lembut dan memeluk Bulan.
"Iya Bintang." ucap Bulan membalas pelukan Bintang sambil menganggukkan kepalanya.
"Kamu cantik pakai hijab. Istiqomah ya Bulan." ucap Bintang berbisik di telinga Bulan. Lagi-lagi Bulan menjawab dengan anggukan kepala. Lalu melepaskan pelukan itu.
"Makasih Bintang." ucap Bulan sedikit termotivasi dengan ucapan Bintang.
"Umi ... Makasih ya atas dukungannya. Doakan Bintang bisa menjadi Hafiz Qur'an." ucap Bintang pelan sambil memeluk Umi Sofi. Lalu mencium punggung tangan Umi Sofi untuk meminta restu dan ridho.
Bintang itu lebih tegar dan tidak mudah menangis karena dia laki-laki. Bintang tidak ingin kedua orangtuanya ikut khawatir dengan kegundahannya.
Bintang pun berjalan menuju Kobong dengan diantar Kyai Mansyur dan Aby Rendy.
Setelah ini mereka akan mengantar Bulan ke Pondok Putri yang letaknya lumayan berjarak dengan Pondok Putra.
Ustad Ihsan dalam diam menatap Bulan dengan iba. Namun, hal itu segera ditepisnya.
Sekarang giliran Bulan yang akan memasuki gerbang Pondok Putri. Umi Sofi tetap menggandengnya ditemani dengan Ustad Ihsan. Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong-lorong.
"Assalamualaikum ... Ustadzah Hilya. Ini santriwati baru, namanya Bulan. Titip mohon bimbingannya. Nanti Pak Kyai Mansyur akan bicara langsung dengan Ustadzah selaku guru pembimbing disini." ucap Ustad Ihsan dengan sopan.
"Waalaikumsalam ... Iya Ustad Ihsan." ucap Ustadzah Hilya yang terus menunduk tanpa berani menatap mata Ustad Ihsan.
"Bulan, kenalkan ini Usatadzah Hilya. Dia yang akan membimbing kamu selama di Pondok Putri. Selebihnya kamu bisa berdiskusi dengan Pak Kyai Mansyur langsung, atau dengan saya juga boleh." ucap Ustadz Ihsan pelan.
Sesuai amanah Pak Kyai Mansyur tadi di kamarnya. 'Bulan dan Bintang itu anak sahabat saya, tolong jaga dan bimbing mereka berdua. Terlebih Bulan, bimbing dia agar benar-benar bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.' ucap Kyai Mansyur memberi amanah kepada Ustad Ihsan.
Bulan pun menatap Umi Sofi dengan mata berkaca-kaca dan kemudiannya memeluk Umi Sofi.
"Sudah Bulan. Umi kan masih bisa menjenguk kamu disini." ucap Umi Sofi pelan dan mengusap punggung anaknya.
"Bulan takut Umi. Bulan takut gak bisa beradaptasi." ucap Bulan lirih dan polos.
"Ada Ustad Ihsan, ada Ustadzah Hilya. Ada Bintang, ada Umi Siti ada Pak kyai. Kamu belum mencoba, nanti kalau sudah adaptasi, kamu disuruh pulang pasti gak mau." ucap Umi Sofi pelan menggoda anaknya.
"Iya Bulan. Ada saya yang akan membantu dan membimbing kamu. Ayo ikut saya, akan saya tunjukkan kamar kamu." ucap Ustadzah Hilya dengan sopan.
"Terima kasih Ustadzah Hilya sudah mau membimbing anak saya Bulan." ucap Umi Sofi lembut.
"Sudah menjadi tugas saya Umi." ucap Ustadzah Hilya dengan sopan.
Ustad Ihsan sedari tadi berdiri di dekat tembok menatap Bulan. Sesekali wajahnya diusap karena panik dan cemas. Rasa berdebar di dalam hatinya makin menjadi tatkala menatap wajah Bulan. 'Ada apa dengan diriku ini', batin Ustad Ihsan dalam hati.
Ustadzah Hilya menatap Ustad Ihsan dengan pandangan berbeda. Namun, hal itu langsung ditepis Ustadzah Hilya dan kemudian membawa koper Bulan. Bukan berjalan di belakang Ustadzah Hilya dan sesekali menengok ke belakang menatap Umi Sofi yang masih berdiri di pintu masuk Pondok Putri Al Ikhlas. Umi Sofi melambaikan tangannya kepada Bulan. Bulan pun tersenyum manis dan menganggukan kepalanya. 'Aku harus bisa, akan aku tunjukkan kepada Aby dan Umi', batin Bulan di dalam hatinya.
Bulan sudah sampai di depan kobongnya. Istilah Kobong adalah kamar, yang biasanya dihuni beberapa orang santriwati sesuai dengan ukuran kamarnya. Ustadzah Hilya memperkenalkan Bulan kepada empat orang lainnya yang sudah lebih dulu menghuni kamar tersebut.
"Assalamualaikum .... Perkenalkan ada santri baru yang akan ikut tinggal di Kobong ini. Ini namanya Bulan. Tolong dibantu ya agar bisa beradaptasi dengan baik." ucap Ustadzah Hilya memperkenalkan Bulan kepada teman-teman sekamarnya.
"Waalaikumsalam ... Iya Ustadzah Hilya." ucap Fatima pelan.
"Assalamualaikum Bulan ... Kenalkan saya Sifa, ini Fatima, ini Aisyah dan yang ini Anisa." ucap Sifa dengan ramah.
"Waalaikumsalam ... saya Bulan. Salam Kenal semuanya. Mohon bimbingannya dari ustadzah dan teman-teman semuanya." ucap Bulan pelan.
Awalnya memang sulit. Tapi dijalani seperti ini rasanya mudah dan tidak sulit. Belajar menerima dengan rasa ikhlas itu memang butuh kesabaran dan hati yang lapang. Sedikit demi sedikit Bulan menerima kenyataan bahwa ini memang jalan hidupnya.
"Bulan kamu boleh membereskan barang-barang bawaan kamu. Nanti adzan Maghrib kita akan sholat berjamaah di masjid Ponpes. Fatima, Sifa, Anisa dan Aisyah, tolong bantu Bulan ya." ucap Ustadzah Hilya lembut.
"Siap Ustadzah Hilya." ucap Fatima pelan.
Ustadzah Hilya pun keluar dari kamar tersebut. Dirinya terus berpikir, tidak biasanya Ustad Ihsan mau mengantarkan santriwati hingga pintu gerbang, dan tatapannya terhadap Bulan itu yang aneh, seperti menyimpan sesuatu yang berbeda. Padahal biodata untuk ta'aruf aku saja belum dibaca. Padahal sudah lama aku ingin mengenal Ustad Ihsan bukan sekedar tim kerja di Pondok Pesantren tetapi juga memikirkan untuk ke jenjang yang lebih halal lagi.
Ustadzah Hilya hanya terdiam menatap lurus ke depan dan berjalan menuju ruangannya.
"Bulan ... Ini lemari dan ini kasur yang kita pakai untuk tidur. Awalnya berat, tapi lama-lama kita akan terbiasa. Dulu aku juga seperti itu." ucap Anisa pelan.
Bulan menatap Anisa dengan perasaan tidak percaya. Anisa terlihat seperti baik-baik saja dan sangat betah.
"Iya Bulan. Kami betah disini karena lumayan ada hiburan disini." celetuk Sifa polos.
"Hiburan seperti apa?" tanya Bulan polos tidak mengerti maksud teman-temannya.
"Ya ampun Bulan. Ustad Ihsan ... Ustad Abigail ... Ustad Fatih. Mereka semua itu ganteng banget, tapi yang paling ganteng itu Ustad Ihsan." ucap Fatima berapi-api.
"Ohh .. Ngomongin Ustad." ucap Bulan pelan tidak merespon sama sekali.
Bulan itu memang anak yang barbar, banyak yang suka kepada Bulan, namun Bulan bukan type perempuan yang mudah jatuh cinta. Terlebih bila awalnya adalah persahabatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments