Bab 19

Sudah hampir seminggu ini Arga menenangkan dirinya di rumah, ia juga tidak datang ke toko dan memilih memberikan wewenang pada Manager di toko untuk sementara waktu. Itu ia lakukan sebelum pergi ke pesta Jodhi yang awalnya sengaja ia lakukan untuk lebih menikmati waktu di sana.

Pemakaman yang dilakukan secara tertutup memang sengaja dilakukan oleh keluarga, selain untuk menghindari publikasi yang terlalu menyoroti kehidupan keluarganya.

Dan mungkin ada maksud lain juga Arga tidak mengerti.

"Ma, maafin Arga," ucap Arga lirih.

Arga masih belum menceritakan pada siapapun tentang kepergian mamanya ini. Arga belum siap, terlebih pada tatapan iba jika ia tidak punya seorang ibu. Jujur Arga membenci hal seperti itu.

Tok..Tok!

"Den." Suara bi Asih bergema di balik pintu kamar Arga.

Namun tak ada jawaban yang terdengar. "Den." bi Asih kini memanggil dan mengetuk pintunya dengan lebih kencang.

Dengan langkah gontai Arga menghampiri pintu kamarnya.

"Ada apa Bi Asih."

"Ini Den, dari dari kemarin Mas, Jodhi telepon Aden. Tadi pagi juga dia telepon lagi. Sama satu lagi Den― " bi Asih menjeda ucapannya sambil mengeluarkan ponsel Arga dari kantong bajunya.

"Ini ponsel Aden dari kemarin bunyi terus dari kemarin. Bi Asih mau kasih tapi, Aden terus mengurung diri di kamar."

Arga kemudian mengambil ponselnya yang ada di tangannya ia sendiri bahkan lupa kapan terakhir kali ponsel inni ada bersamanya.

"Itu Bi Asih, temukan saat di rumah sakit pas Aden nangis sambil meluk ibu."

Mendengar hal itu hati Arga kembali teringat hari dimana ia menemukan mamanya pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Arga lantas memulas senyumnya. "Makasih Bi Asih."

"Iya Den, makanannya sudah siap. Dimakan mumpung masih hangat." ucap bi Asih berlalu meninggalkan Arga yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.

Arga kemudian menutup pintu kamarnya lagi, mengetuk layar ponselnya beberapa kali. Namun tidak ada respon. Ia kemudian mengambil kabel pengisi daya ponselnya.

Dan benar saja ponselnya dalam keadaan mati total karena kehabisan daya.

Sambil menunggu ponselnya mengisi daya Arga pergi ke bawah untuk makan.

Perutnya lapar sedari pagi belum diisi apapun.

"Hai, Kak Arga."

Mendengar sapaan itu dari mulut Arletta, Arga hanya diam berwajah datar. Sejujurnya ia tidak punya energi untuk marah.

"Kak, Arga mau makan juga," Tanya Arletta lagi.

"Ya," jawab Arga datar. Ia harap Arletta berhenti memperdulikan nya.

Arga yang hendak menyendok nasi dan beberapa lauk di atas meja makan, harus terhenti karena Arletta yang tiba-tiba mengambilkan makanan untuknya.

"Ini Kak, makanannya. Aku tuang airnya juga. Selamat makan ya, Kak."

Arga yang melihat tingkah Arletta yang sok manis dan perhatian itu sebenarnya sangat muak. Tetapi Arga menahan sekuat tenaga menahan semua amarahnya.

"Makasih, tumben lo ada di rumah." Kini Abian yang berganti bertanya.

"Iya, lagi malas keluar. Atau Kak Arga mau ajak aku keluar."

Arga menarik garis senyum tipis di wajahnya. Arletta benar-benar wanita ini luar biasa sekali.

"Boleh juga," celetuk Abian santai.

Arletta yang mendengar hal itu tersenyum senang, sebab sebelumnya Abian selalu bersikap seolah Arletta itu tidak ada.

"Mau sore ini atau nanti malam Kak," tanya Arletta.

Abian yang tengah mengunyah makanannya hanya diam mengulur waktu mengamati ekspresi Arletta.

"Em, maleman aja. Lo bisa?"

Arletta langsung mengangguk. "Bisa kok Kak."

"Oke," ucap abian dan menyuapkan kembali makanan ke dalam mulutnya.

Setelah selesai mengisi perutnya Arga kembali menuju kamarnya. Ia berniat untuk mengecek ponselnya terlebih dahulu.

Arga tidak bisa bohong, setelah melihat Arletta ia ingat dengan Bella. Sedikitnya ada rasa bersalah di hatinya karena ia hilang begitu saja.

Saat ponselnya mulai dinyalakan ratusan pesan datang memenuhi notifikasi di ponselnya.

Dan Arga bisa tersenyum senang, saat ada nama Bella di notifikasinya.

Tanpa pikir panjang Arga langsung menempelkan ponselnya pada telinga nya untuk menelepon Bella.

"Halo," ucap Arga tersenyum saat suara Bella terdengar di ponselnya.

"Apa kabar kamu. Maaf aku kemarin lagi agak sibuk aja."

"Em, selamat ya sudah masuk bab dua. Semoga terus lancar ya."

"Bel, bulan depan aku mau ke Jakarta."

Dan percakapan itu terus berlanjut. Arga sejenak bisa melupakan perasaan sedih kehilangannya. Bella memang selalu bisa membuatnya menjadi lebih baik.

Sedikit lagi, Arga harus berjuang untuk dirinya sendiri dan untuk wanita yang ia cintai.

"Ya sudah aku tutup. Nanti aku hubungi lagi," ucap Arga

Sekarang ia harus bangkit dan menjalankan rencananya.

Malam sudah menjelang, Arga sudah berpakaian rapi dengan jas yang dipadukan dengan kaos polos putih dan celana chino hitam. Jasnya sengaja tidak ia kancingkan sepenuhnya yang tentu saja menambah kesan santai juga maskulin.

"Kak Arga udah siap." Itu suara Arletta yang tengah berdiri di hadapan Arga dengan gaun mini ketat hitamnya yang punya tampilan seksi memamerkan dengan baik lekuk tubuh menonjol miliknya.

"Sudah." Arga tersenyum tipis selagi memandang tampilan Arletta.

Tanpa malu-malu Arletta langsung saja menautkan jemarinya pada lengan Arga. Sedangkan Arga nampak diam tidak protes dengan apapun dengan perlakuan Arletta padanya.

Memasuki mobil, Arga nampak santai dibalik kemudinya. Membelah jalaran ramai Jakarta. Sebenarnya tanpa sepengetahuan Arletta ia meminta papa dan mama tirinya itu untuk makan malam disebuah restoran.

"Kak, kita mau kemana?" Akhirnya Arleta bersuara memecah keheningan di dalam mobil ini.

"Mau makan malam," jawab Arga.

Sedangkan dari ekor matanya Arga bisa melihat Arletta yang tersipu malu.

"Ih, Kak Arga untung aku nggak salah kostum," ucap Arletta dengan suara genitnya.

Arga menekan senyumannya tipis. "Tenang aja lo tetap cantik." Dan sekarang Arga kembali sejenak menjadi seorang perayu ulung.

"Makasih, Kak Arga."

Sesampainya di restoran Arletta tidak melepaskan rangkulan lengannya pada Arga dan setelah terkejut melihat papa dan mamanya duduk di satu bangku.

"Mama," ucap Arletta.

Sementara abian mengabaikan keterkejutan Arletta dengan mengambil posisi duduk di hadapan sang papa. "Tumben kamu. Mengajak kita makan malam keluarga, Nak."

"Bukannya Papa memang ingin aku dekat dengan Arletta dan Mamanya. Aku sedang mencoba membuka diri." Ada penekanan di setiap kata yang Arga ucapkan, seolah ia sedang menahan gejolak di dalam dadanya.

"Baguslah kamu akhirnya sadar." Arga bisa melihat wajah senang papanya dan entah mengapa jarinya mencengkram sendok di tangannya sedikit kuat hingga kukunya memutih.

"Mulai sekarang biasakan juga panggil aku― Mama."

Arga hanya menekan senyumnya mendengar kata itu, jika saja bukan karena tujuan tertentu ia benar-benar muak dengan wanita di hadapannya ini.

Setelah kebenaran yang ia tahu jika dibalik kecelakaan mamanya itu adalah ulah wanita terkutuk ini. Mata Arga bahkan sudah memerah.

"Ya, aku akan membiasakannya pelan-pelan."

"Sudahlah Laura, bagaimanapun ini sudah kemajuan untuk Arga. Kamu harus ingat ibunya baru saja tiada."

(Ibunya.) ucap Arga dalam hati yang benar saja dari pada menyebut istriku, papanya lebih memilih kata itu yang seolah menegaskan keberadaan mamanya memang sudah terganti.

Di tengah makan malam yang senyap ini. Arga kembali membuka pembicaraan.

"Pa, waktu itu Papa menawarkan Arga untuk mengurus perusahaan."

Mendengar hal itu, Papa Arga yang sedang mengunyah makanannya berhenti sejenak dan meneguk air mineral yang ada di gelas panjang miliknya.

"Apa sekarang kamu memikirkannya," tanya sang papa.

"Ya, aku rasa aku sudah siap untuk itu," jawab Arga mantap

"Seharusnya kamu memutuskan itu dari dulu. Dibanding mengurusi bisnis kecilmu itu. Besok datang ke kantor. Aku akan mengurus posisimu."

"Tapi, apa itu tidak terlalu tiba-tiba," ucap mama Arletta ikut dalam percakapan antara papa dan anak ini.

"Aku bisa memulainya dengan mengenalkannya dan menaruh di posisi strategis terlebih dahulu. Tentu tidak langsung menggantikanku sebagai Direktur Utama. Lagi pula ia anak lelakiku."

Mendengar hal itu mama Arletta nampak terdiam. Jelas Arga punya posisi dan keuntungan di atas dirinya dan Arletta.

"Baiklah, aku akan datang ke kantor besok. Aku tentu tidak akan mengecewakan. bukannya seharusnya Papa percaya pada anak lelakimu ini." Terbit sebuah senyum kemenangan di wajah Arga.

"Tentu kamu penerus-ku."

Dan Arga bersumpah ia dapat melihat wajah mama Arletta yang kesal karena ucapan suaminya itu.

Biarpun kau bisa memiliki Papa jangan harap kau bisa menguasai sepenuhnya. Batin Arga tertawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!