"Sekarang kamu bisa mulai menceritakannya," kata Santi yang baru saja duduk di bangku kantin, Salsa juga ikut duduk di hadapannya.
"Kamu mau cerita yang mana? nggak mungkin kan aku ceritain semuanya," Salsa tersenyum memamerkan gigi putihnya.
"Siapa cowok yang datang menemui kamu semalam?" tanya santi.
"Oo, itu nama nya Abang Raka, kenapa kamu suka ya?" goda Salsa.
"Aku serius Sa," dengus Santi.
"Iya aku juga serius, nama nya Raka, dia itu temannya si Om," tanggap Salsa santai.
"Om?" Santi mengernyitkan dahi nya.
"Iya, Om itu orang yang menyelamatkan aku dari tuan Robert. kan semalam sudah aku ceritain," ujar Salsa.
"Hmm..." balas Santi merasa belum puas.
"Terus ponsel itu? kamu dapat dari mana?' tanya Santi, matanya kini tertuju pada tas Salsa di meja.
"Itu juga di kasih si Om, kata nya kalau aku gak mau terima, aku boleh membuang nya, ya aku pikir dari pada aku buang, lebih baik aku pakai saja lah," jawab Salsa apa adanya.
Santi menatap sahabat yang duduk di hadapannya. Dirinya merasa belum buas dengan jawaban yang di berikan siswa unggulan itu.
"Coba aku mau lihat penselmu itu, seperti nya itu handphone mahal," pinta Santi.
Salsa mengambil ponsel nya yang ada di dalam tas memberikan pada sahabat nya.
"Wah gila....... Ini ponsel keren sekali Sa, kamu tau nggak berapa harganya?" seloroh Santi setelah melihat ponsel yang ada di tangannya.
"Ya aku mana tau San, punya ponsel saja aku belum pernah," balas Salsa jujur.
"Ini harganya 30 juta lebih Sa," pekik Santi histeris.
"Ssssst..... Mulut ember mu itu bisa di pelanin dikit nggak sih," Salsa menempelkan satu telunjuk nya di bibir.
"Iya, iya.... Tapi ini benaran Sa, ini adalah ponsel keluaran terbaru, dan di sekolah kita ini, aku belum pernah melihat ada orang yang memakai nya," terang Santi yang mata nya tidak pernah lepas dari ponsel itu.
"Pasti kamu nggak tau kan, kelebihan ponsel ini?" celetuk nya.
"Eh.... tapi ngomong- ngomong, Om mu itu orang nya gimana sih? Pasti orang nya tua, gendut dan jelek ya?" tanya Santi lagi yang mulai kepo, tapi mata dan jemarinya masih sibuk bermain di layar ponsel.
"Mending kamu makan dulu San, sebentar lagi bell masuk," sergah Salsa.
Santi yang terlalu sibuk dengan ponsel di tangannya, sampai lupa dengan makanan di depannya.
Santi kemudian mengembalikan ponsel itu pada Salsa, lalu meraih piring dan sendok, mulai menyuap makanan di piring nya.
.
.
.
Sementara itu di tempat lain.
Rita yang khawatir dengan keadaan suami nya, membawa Herman kerumah sakit. Keadaan Herman semakin memburuk setelah di hajar Raka dan anak buah nya.
Pulang dari rumah sakit, Ibu kandung Salsabila itu membantu Herman berbaring di tempat tidur, ia juga membantu Herman meminum obat.
Setelah Herman tertidur, Rita pergi ke kantor polisi, membawa hasil visum yang di mintanya pada dokter tadi, tanpa ayah tiri Salsabila ketahui. Rita akan melaporkan pengeroyokan pada suami nya, yang ia tuduhkan pada Salsabila, putrinya kandung nya sendiri.
.
.
Setelah mendapat laporan dari Rita, Polisi yang lansung bergerak menjemput tersangka kesekolah.
Tiga orang polisi datang kesekolah Salsa, di sambut lansung oleh kepala sekolah. Setelah mendengarkan keterangan dari polisi, pihak sekolah mengantar kan polisi polisi itu ke ruang kelas Salsa yang kini sedang melakukan kegiatan belajar mengajar.
Satu orang guru masuk ke dalam kelas Salsa, setelah meminta izin pada guru yang mengajar.
Tidak lama guru itu membawa salsa keluar kelas. Salsa tadi nya bingung, ketika guru itu meminta nya untuk ikut bersama. kini ia menjadi cemas, melihat tiga orang polisi berdiri, di samping kelas nya.
"Apakah anda yang bernama Salsabila?" tanya salah satu polisi dengan suara khas nya, tegas dan berwibawa.
"Be-benar pak," jawab Salsa gugup. Pasti lah gugup, karna baru kali ia berhadapan dengan aparat negara itu.
"Anda kami bawa ke kantor, sesuai laporan pengaduan dari saudari Rita, atas kasus pengeroyokan yang dialami saudara Herman."
Deg
Yakin lah, saat ini jantung Salsa berdetak lebih cepat, telapak tangan nya kini mulai basah, kala mendengar penuturan polisi bertubuh tegap itu. Hatinya diselimuti rasa bingung, gugup, takut dan cemas. Ada apa ini? Setau nya, dirinya hanyalah korban, lalu kenapa dia yang harus di bawa ke kantor polisi?
Salsa diam, dirinya hanya menurut saja saat para polisi itu membawa nya pergi. Bibirnya terlalu kaku, hingga tak mampu mengatakan sepatah kata pun, untuk membela diri.
Santi yang sejak tadi meminta izin keluar kelas, melihat jelas saat sahabat nya di bawa polisi.Dirinya pun ikut bingung. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, dirinya hanya berdiri diam menatap punggung sahabat nya, berjalan semakin menjauh diapit dua orang polisi di samping kiri dan kanan.
"Apa yang Salsa perbuat? Kenapa polisi itu membawanya?' gumam Santi.
.
.
Bell pulang sekolah berbunyi, Santi bergegas keluar kelas. Dirinya juga membawa tas sahabat nya yang tertinggal. Belum jauh kaki nya melangkah, ponsel di dalam tas Salsa berbunyi. Santi mengangkat, panggilan telepon itu, setelah melihat nama Raka tertera di layar ponsel.
"Hallo," sapa Santi setelah sambungan teleponnya terhubung.
"Apa nona sudah pulang? pesan bos non-,"
"Maaf, saya bukan Salsa," potong Santi sebelum Raka mengatakan kalimat nya panjang lebar.
"Mana nona Salsa?" tanya raka di seberang telepon.
"Tas Salsa tertinggal di sekolah, satu jam lalu Salsa di bawa polisi,"
Tuuuuuuth...
Belum selesai Santi menjelaskan, sambungan telepon itu sudah terputus.
"Huh, dasar gak sopan!" gerutu Santi, kala Raka meng akhiri sambungan telepon itu secara sepihak.
Raka panik, kala mendapat kabar, nona nya di bawa polisi, dirinya pun segera menelpon Jeffry.
"Jeff! satu jam yang lalu kau kemana?" tanya Raka penuh penekanan di setiap kalimat nya.
"Cu-cuma ngopi di warung depan sekolah nona Salsa, tuan," jawab jefri terbata. Meski dari sambungan telepon, ia tahu orang kepercayaan Zidan itu saat ini sedang marah, dan pasti ada kesalahan fatal yang telah dirinya lakukan.
"Dasar tidak berguna! Sekarang kau cari nona Salsa dikantor polisi! Kau gantikan posisi nya,.di sana," bentak Raka, membuat Jefri menjauh kan ponsel dari telinganya.
"Ba-baik tuan," balas Jefri, sebelum panggilan telepon itu berakhir.
Jefri lansung melakukan perintah Raka. Dirinya pergi ke kantor polisi terdekat mencari keberadaan majikan nya.
.
.
Sementara itu di perusahaan Ziro Company.
Raka terlihat berjalan bolak-balik di ruang kerja nya, tangan masih memegang ponsel, sesekali ia melihat layar ponsel itu, seperti tangah menunggu telepon masuk dari seseorang.
Tidak berapa lama ponsel di tangan nya berbunyi. Dengan cepat Raka menggeser panah hijau di layar.
"Tuan nona Salsa ada di Polres,," kata Jefri di sambungan telepon nya.
"Apa kau sudah menggantikan nya?" tanya Raka menekan nya.
"Ma-maaf, itu tidak bisa tuan, nona Salsa tidak bisa bebas, jika yang melaporkan tidak mencabut laporan." jawab Jefri terbata-bata.
"Dasar bodoh! Kau memang tidak bisa di andalkan." bentak Raka.
"Se-sekali lagi, Ma-maafkan saya tuan. Tuan bisa datang kesini, untuk menanyakan kasus nona lebih lanjut,"
"Tunggu di sana! Jangan kau pergi kemana-mana," titah Raka, lalu memutus kan sambungan telepon nya.
.
.
Tidak lama, Raka sudah tiba di Polres, di sambut Jefri yang memang sejak tadi menunggunya.
"Mana nona Salsa?" tanya Raka.
"Ada di dalam, tuan," jawab jefri.
"Ambil dan bawa koper di dalam mobil itu," titah Raka, kemudaian mangayunakan langkah lebar, masuk ke dalam kantor polisi, di ikuti Jefri yang mambawa koper.
"Selamat siang pak, apa ada yang bisa kami bantu," sapa seorang polisi yang duduk di balik meja kerjanya.
"Saya tidak suka berbasa-basi, saya datang kesini untuk membebaskan seorang gadis yang di bawa dari sekolah tadi." tutur Raka, lalu menyuruh jefri meletakkannkoper yang di bawanya, diatas meja.
"Mohon maaf Pak, apa yang anda maksud itu Salsabila? Tersangka di balik pengeroyokan, dan penganiayaan terhadap saudara Herman, yang di laporkan oleh istrinya saudari Rita?" ujar aparat negara itu.
'Jadi ini gara-gara si Herman, bajingan tengik itu.'
Dan yang melaporkan istrinya, berarti wanita itu Ibu nona Salsa? Ibu macam apa dia itu. Semoga saja polisi ini mau membebaskan nona dengan uang yang aku bawa ini,' batin Raka dalam hati.
"Tepat sekali, dan ini saya bawa uang untuk jaminan nya, untuk sementara biarkan dia bebas, sebelum anda menyelidiki kasus nya lebih lanjut," Raka membuka koper yang di bawanya tadi, di dalam koper itu berisi penuh dengan lembaran rupiah.
"Mohon maaf Pak, tersangka memang berstatus pelajar saat ini. Namun, sebelum kami memulai menyelidiki kasus ini lebih lanjut terkait tersangka bersalah atau tidak, kami hanya bisa membebaskannya jika ada pihak keluarga yang menjaminnya. Baru kami bisa membebaskan tersangka, atau kalau tidak bapak bisa berdamai dengan pihak korban, dan meminta mereka mencabut laporan ini." terang polisi itu.
"Dia adik saya, dan biar saya yang menggantikan nya," celetuk Raka.
"Baik lah, bisa anda tunjukkan dokumen nya? Dokumen yang menunjukkan jika anda ini adalah keluarganya," pinta bapak polisi itu.
Raka tidak menjawab, karna memang ia tidak mempunyai dokumen yang di minta polisi itu.
"Berarti Anda hanya mengaku-ngaku saja," polisi itu melihat Raka yang hanya diam saja.
"Jika anda ingin tersangka cepat bebas, minta lah pada pihak keluarga korban untuk mencabut laporannya," terang bapak polisi untuk kedua kalinya.
Setelah itu Raka pergi, namun sebelumnya dirinya sudah bertemu dengan Salsa. Raka juga meminta pada polisi itu agar tidak menempatkan salsa di sel, melainkan di sebuah ruangan.
Lepes dari Polres. Raka pergi ke rumah Rita, meminta Ibu kandung Salsabila itu, agar mencabut laporan nya. Dirinya pun nantinya akan menjelaskan, duduk perkara yang sebenarnya terjadi.
Namun, di luar dugaan Raka, respon Rita tidak lah baik.
"Anda mencari siapa?" tanya Rita, dirinya merasa heran melihat dua orang laki-laki berpakaian rapi di depan pintu rumah nya.
"Kanapa anda melaporkan putri anda sendiri? Padahal anda tidak tau, apa yang sebenar nya terjadi," ucap Raka tanpa basa basi.
Herman yang mendengar suara Raka di luar, diam diam ia berdiri, mencuri dengar percakapan Rita dan Raka.
"Oo.... Ternyata anak sialan itu yang menyuruh kalian datang ke sini," jawab Rita sengit, dirinya hendak menutup pintu rumah, sungguh sangat angkuh.
"Tunggu nyonya," sergah Raka, menahan pintu itu dengan tangannya.
"Apa nyonya tau yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka.
"Tentu saya tau. Anak itu yang menyuruh orang-orang untuk memukuli suami saya. Jadi biar kan lah dia menerima semua akibat nya," balas Rita, lalu mendorong pintu itu lebih kuat hingga tertutup.
"Baiklah nyonya, semoga anda tidak menyesal suatu hari nanti," teriak Raka dari balik pintu sebelum pergi.
'Ibu seperti apa dia itu, lebih mempercayai kata-kata suami nya yang banjingan itu,' dengus Raka berlalu pergi.
Herman yang sedari tadi berdiri di balik pintu kamar, secara perlahan kembali ke tempat tidur nya.
"Uhuuuuk... Uhuuuk.. Uhuuuk. Siapa yang datang tadi itu sayang?" tanya Herman, pura-pura sakit.
"Aku juga tidak tau mas. Tapi dia datang meminta aku untuk mencabut laporan," balas Rita yang sudah duduk di samping ranjang.
"Laporan apa?" tanya Herman dengan suara serak yang di buat-buatnya.
"Aku tadi melaporkan anak itu ke kantor polisi, karna telah mengeroyok mu Mas," jawab Rita.
"Kenapa kamu melakukan itu sayang, aku tidak apa-apa, aku juga sudah memaafkannya. Aku menganggap nya seperti anak ku sendiri. Mungkin dia hanya belum bisa menerimaku saja," ujar Herman keyakin kan, sembari memegang tangan istrinya.
'Biarkan saja mas, biar dia juga bisa sadar," balas Rita.
"Dasar wanita bodoh," gumam Herman di dalam hati, di sertai seringai licik di wajah nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments