Pembunuhan Di Kastil Tua
Gerimis mengguyur jalan berkelok yang membelah perbukitan. Malam telah beranjak larut, merapat ke pukul dua belas. Keheningan bertahta, hanya kepak burung hantu mencari mangsa yang sesekali terdengar. Sebuah taksi biru muda menyorotkan cahaya, memantul di aspal yang basah. Lajunya tak begitu cepat menyusur jalan perbukitan.
Taksi itu berhenti di depan bangunan tua besar mirip kastil yang temaram dipoles lampu redup kekuningan. Pagar besi menjulang dipasang berkeliling. Halamannya cukup luas, ditumbuhi beberapa pohon peneduh besar menambah keangkeran suasana. Alang-alang tumbuh di sana-sini, di antara semak yang tak terawat. Sekilas, bangunan itu seperti tak berpenghuni.
Seorang gadis muda, berkaki jenjang turun dari taksi dengan ragu. Rambutnya yang sebahu diikat rapi. Setelan blus kelabu gelap elegan dengan brand ternama tampak serasi dengan handbag yang berwarna senada. Sebuah travel-bag besar tergenggam di tangan. Wajahnya yang jelita tersaput make-up tipis yang mulai luntur.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Kegelisahan merayap. Taksi meninggalkan sendiri dalam sepi. Sekali lagi, dilihatnya secarik kertas di tangan, memastikan bahwa ia sudah menuju alamat yang benar.
Tetapi bagaimana dia bisa memastikan?
“Semoga alamat ini benar ...,” gumamya.
Krieeet!
Ia membuka pagar besi yang tak dikunci. Deritannya terdengar menyeramkan, bak jeritan makhluk dari dunia lain. Kesan angker dari banyak film horor yang telah ia tonton, kini dialami sendiri. Dalam sekejap mata, ia berada di area taman yang banyak dikepung pepohonan besar tak kalah menyeramkan. Gelap masih menyelimuti sekitar. Dengan mengumpulkan sisa keberanian, ia terus melangkah menuju pintu utama yang terbuat dari kayu mahoni bersepuh pelitur mengkilap.
Dug-dug-dug!
Sebuah lingkaran besi tergantung di tengah pintu ia ketukkan tiga kali, menunggu empu rumah menampakkan diri. Tak lama, seorang wanita paruh baya bermuka agak keriput membuka pintu, menatap dengan tatapan aneh. Alisnya yang jarang nyaris bertemu di pertengahan kening.
“Selamat malam,” sapa tamu wanita berkaki jenjang itu.
“Anda...?” wanita paruh baya itu bertanya.
“Saya-saya Tiara. Tiara Laksmi,” jawab si tamu.
“Oh, silahkan masuk. Pak Anggara sudah menunggu anda,” perempuan paruh baya itu membuka pintu lebar.
Tamu wanita bernama Tiara Laksmi itu tertegun di ruang tamu megah. Ruangan besar yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen misterius dan koleksi barang antik. Beberapa kepala rusa tertempel di dinding. Koleksi topeng Bali berwajah menyeringai menujukkan giginya yang tajam, menambah suasana mistis. Cahaya lampu temaram sengaja dipasang untuk kesan lebih angker. Di ujung ruangan terdapat cermin berbingkai ukir yang misterius. Karpet berwarna merah darah terhampar memenuhi ruangan.
Ruangan tamu ini terhubung dengan sebuah lorong cukup panjang yang dinding-dindingnya tergantung lukisan-lukisan abstrak aneh. Ujung lorong berakhir di sebah ruangan luas bernuansa marun, lengkap dengan perapian, meja makan besar dan ornamen lampu gantung abad pertengahan. Sejenak Tiara merasa seperti terlempar ke suatu tempat di antah-berantah beberapa abad sebelumnya.
Ia berharap tidak tersesat di istana para drakula di Transylvania.
“Tiara?” sapa seorang pria berumur tujuh puluh tahunan atau lebih. Rambutnya sudah memutih. Ia memakai setelan jas dan syal biru tua melingkar di leher. Pria tua itu duduk di ujung meja panjang, menatapnya lekat.
Tiara Laksmi mengangguk, menebar senyum kepada beberapa orang yang telah duduk di sana. Ada enam orang yang tidak ia kenal sebelumnya. Tiga orang wanita muda seperti dirinya, dan empat orang pria yang tak bisa dipastikan umurnya . Mereka menatap Tiara Laksmi dengan tatapan aneh, membuat wanita muda itu sedikit canggung.
“Maaf sedikit terlambat,” ucap Tiara.
Dengan isyarat tangan, pria tua itu mempersilahkan Tiara untuk duduk.
Dengan ragu-ragu Tiara duduk di kursi kosong, bersebelahan dengan pria muda dengan kumis tipis. Ia memakai sweater rajut warna hijau lumut. Pria muda itu mengulurkan tangannya pada Tiara.
“Cornellio Syam,” ucap pria itu lembut.
“Tiara Laksmi,” sambut Tiara.
Cornellio Syam? pikir Tiara.
Nama itu tidak asing di telinganya. Di dunia kepenulisan, nama Cornellio Syam cukup dikenal sebagai penulis novel horor yang jempolan. Karya-karyanya selalu best-seller dan diminati oleh pasaran. Tiara tidak menyangka akan bertemu muka dengan Cornellio Syam secara langsung.
Tiara Laksmi merasa sedikit rendah diri. Ia merasa sebagai penulis novel kelas teri seorang yang banyak menulis kisah romance murahan yang bertabur adegan dewasa. Suatu kehormatan bisa duduk satu meja dengan penulis terkenal seperti Cornellio Syam.
“Siapa lagi yang kita tunggu?” celetuk pria yang duduk di seberang meja. Rambutnya bercat coklat gelap, serasi dengan kulitnya yang pucat. Sekilas dia terlihat seperti orang Eropa. Ia juga memakai setelan jas ala barat.
“Kamu kenal dia?” bisik Cornellio ke telinga Tiara.
Tiara menggeleng seraya berkata pelan,”Aku tidak mengenal seorang pun di sini.”
“Dia adalah Michael Smith Artenton,” bisik Cornellio lagi.
“Michael Smith? Penulis cerita detektif yang terkenal itu?” pekik Tiara tertahan.
Pria yang disebut Michael Smith Artenton terlihat acuh tak acuh. Terlihat ia mulai bosan, menggigit-gigit kuku jarinya. Perilaku yang agak aneh untuk seorang pria dewasa. Setahu Tiara, Michael Smith adalah pria kebangsaan Amerika Serikat yang lama tinggal di Indonesia, dan menjadi penulis kriminal yang begitu tersohor.
Paling tidak ada dua penulis terkenal yang duduk semeja dengan dirinya. Sedangkan sosok-sosok yang lain masih tersimpan rapi dalam tabir misterius. Mereka duduk dengan tenang, tetapi menyembunyikan kegelisahan. Aura ketegangan menguar dalam ruangan ini.
Tiara masih teringat, ketika sebulan sebelumnya ia menerima undangan yang disengaja dikirim lewat ekspedisi. Undangan yang berasal dari Anggara Laksono, seorang milyuner tua pengusaha minyak yang terkenal di negeri ini. Milyuner itu mengirimkan undangan lengkap dengan selembar cek bernilai jutaan rupiah untuk biaya perjalanan ke kediamannya yang terpencil.
Entah apa maksud undangan itu, sampai saat ini Tiara juga belum begitu mengerti. Hanya ada sebuah pesan pendek tertulis dalam undangan itu.
Kami menghargai anda sebagai seorang penulis. Anda adalah satu dari penulis-penulis favorit saya. Suatu kehormatan apabila anda bersedia datang memenuhi undangan saya.
Cukup jelas bahasa undangan itu.
“Kita menunggu Adriana Chen,” ujar Tuan Anggara Laksono.
Adriana Chen? Nama itu juga tak asing di telinga Tiara. Penulis novel ber-genre romantis yang karyanya juga fenomenal, bahkan sebagian sudah dibuat film. Tentu akan menarik apabila pengarang itu bergabung dalam acara ulang tahun misterius ini.
Jadi apa maksud semuanya?
Ia merasa terkepung oleh penulis-penulis novel kelas kakap. Tiara merasa canggung, karena ia hanya penulis kelas remah kue yang omzet penjualan novelnya tak bisa disandingkan dengan mereka. Novel Tiara hanya dipajang di kios-kios kecil, dibaca sambil lalu. Atau bahkan teman nongkrong di toilet!
Tiga puluh menit kemudian, seorang wanita tinggi dengan rambut hitam tergerai dan bermata sipit tiba pula di ruangan itu. Ia memakai mantel bulu yang mahal dan topi lebar. Sangat elegan.
“Aku Adrianna Chen,” sapanya. Senyum misterius tersungging di sudut bibir.
Pak Anggara Laksono bertepuk tangan tiga kali, memberi isyarat kepada pelayan wanita paruh baya untuk menghidangkan makan malam yang terlambat. Satu-persatu makanan mewah disajikan, dengan aroma yang membangkitkan selera.
Sebelum memulai makan malam, Anggara Laksono memeberi sambutan.
“Saya berterima kasih kepada kalian semua yang telah hadir memenuhi undangan di hari ulang tahunku yang ke tujuh puluh tiga. Kalian tahu, beberapa tahun terakhir ini saya menghabiskan waktu dengan membaca. Kalian adalah delapan penulis novel favorit saya...,” ia menghentikan kalimatnya sejenak.
Seorang gadis di sampingnya memberikan segelas air putih.
“Terima kasih, Rani.”
Anggara Laksono menarik napas dalam-dalam.
“Aku mengundang kalian ke sini untuk berlibur menikmati perkebunan teh milikku yang luas. Bersenang-senang, karena itu adalah kebanggaan buatku bisa berkumpul dengan kalian. Aku merasa kesepian karena tinggal sendirian di sini. Hanya ada Helen, yang mengurusi rumah tangga, dan ini adalah Rania, asisten pribadiku.”
Seorang gadis cantik yang duduk di sebelah pak tua itu mengumbar senyum manisnya.
Semua yang hadir masih antusias mendengarkan. Tiara merasa sangat bangga berada di tempat itu. Paling tidak, namanya dapat disejajarkan dengan para penulis lain yang namanya sudah tersohor. Sungguh, ini kesempatan langka baginya. Kesempatan untuk berguru dengan para penulis senior sudah terbayang di depan mata.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
Yuli Hastuti
smoga genre certa ini detektif
2024-08-13
0
millll
bagus banget ceritanya
2024-06-03
0
Amera
Awalnya menarik. Aku juga suka novel misteri pembunuhan, sangat seru, menyenangkan untuk menebak-nebak apa yang terjadi setelah ini/Determined/
2024-04-17
0