Mayat yang mengapung di tengah kolam itu adalah sosok tua Anggara Laksono. Dia masih memakai piyama tidurnya yang bermotif garis-garis biru dan berlumuran darah. Sebuah pisau dapur tertancap sempurna di dada kiri, yang mungkin telah merobek paru-paru!
Air di kolam renang semburat merah darah. Yoga, tukang kebun kastil tua itu, berusaha mengangkat jenazah dari kolam. Ia sudah siap masuk ke dalam kolam, namun tiba-tiba ia mengurungkan niatnya.
“Sebaiknya jangan disentuh mayatnya!” pekik Michael Smith.
“Maksudmu kita biarkan mayat itu seharian di dalam kolam?” kata Maira.
“Mengapa kita tidak hubungi polisi saja?” Adrianna Chen menambahkan.
Tiara masih merasa gugup, tak bisa berkata apa-apa. Dalam perjalanan hidupnya, baru pertama kali ini ia melihat seseorang dibunuh sedemikian keji. Bibirnya seketika gemetar. Jari-jarinya yang lentik menutup sebagian wajah.
“Maaf. Tetapi kantor polisi sangat jauh dari kastil ini. Mungkin dua jam baru sampai sana. Jaringan telepon juga tak berfungsi, bahkan sinyal telepon juga tak terdeteksi di sini,” terang Yoga.
Lengkap sudah penderitaan ini. Guman Tiara
Tukang kebun yang bernama Yoga itu masih muda. Parasnya cukup tampan untuk ukuran seorang tukang kebun, dan tubuhnya terlihat atletis. Lebih cocok sebagai bintang iklan atau bintang sinetron di televisi.
“Setelah ini, tak ada seorang pun dari kalian yang boleh meninggalkan kastil. Karena semua dari kalian adalah tersangka. Ini mirip dengan novel yang pernah aku tulis. Pembunuh tak akan bisa lari kemana-mana,” terang Michael Smith menatap satu persatu para penulis yang berkerumun di sekitar kolam.
“Sekarang coba kamu pikirkan agar mayat ini tidak membusuk. Jangan asal bicara!” protes Hans Christopher, si muka vampire.
“Ada yang punya ide?” tawar Michael Smith.
“Kalau menurutku, kita harus menghubungi tenaga medis untuk melalukan otopsi atau semacamnya, untuk mengetahui penyebab kematian Pak Anggara ini,” Aldo Riyanda memberi usul.
“Siapa yang akan melakukan itu? Dan bagaimana kita bisa memastikan bahwa yang memanggil tenaga medis itu bukan salah satu dari pelaku yang hendak kabur?” tanya Michael Smith.
Hening sesaat.
Para penulis wanita terdiam, berusaha menenangkan pikiran masing-masing. Melihat mayat dalam keadaan tragis bukanlah pemandangan lumrah yang biasa dilihat setiap hari. Terlihat wajah Rania begitu pucat, ia nyaris menggigil. Ini sungguh suatu kejutan di awal pagi yang begitu manis!
“Bagaimana kalau kita simpan mayat Pak Anggara di bawah tanah?” kata Yoga.
“Ruang bawah tanah? Adakah di sini?” tanya Hans Christopher.
Tanpa menunggu persetujuan lebih lama, para pria dengan susah-payah mengangkat tubuh Anggara Laksono, membungkus dengan kain, kemudian diangkat bersama-sama menuju ruangan di ujung dapur. Yoga membuka sebuah tingkap yang tertutup karpet, ke sebuah ruang temaram di bawah tanah.
Semua merasa penasaran dengan apa yang ada di dalam ruangan bawah tanah itu, sehingga sepakat untuk ikut menelusur ke bawah. Suasana ruang bawah tanah agak gelap, hanya diterangi bola lampu temaram berwarna kekuningan. Nuansa seram langsung menyergap. Tiara merasakan bulu kuduknya merinding. Pengap terasa membekap pernapasan.
“Ruangan apa ini dulunya?” tanya Adrianna Chen.
Di dalam sana, terdapat semacam bilik-bilik kosong dengan ranjang tua yang terbuat dari besi berkarat. Ada beberapa alat pertukangan tak terpakai digantung di dindingnya. Di langit-langit, tergantung beberapa rantai besar dan alat cambuk juga berserak di lantai. Bahkan ada semacam gergaji dan pisau-pisau yang telah berkarat.
“Seperti ruang penyiksaan ...,” gumam Cornellio Syam.
Dalam hati, ia bergidik juga. Ia terbiasa menulis tentang berbagai macam kengerian. Namun saat ini ia merasa kengerian berada di depan matanya. Belum pernah muncul dalam benaknya, akan ada kengerian yang sesadis ini.
“Ini sungguh mengerikan ...,” lirih Tiara. Degup jantungnya berdetak lebih intens. Tak pernah terbayangkan ia berada di dalam ruangan yang luar biasa seram.
Mereka menaruh mayat Anggara di salah satu bilik itu. Perasaan takut menyergap di hati masing-masing penulis novel itu. Pengap semakin terasa membekap hidung. Ruangan gelap itu nyaris tak pernah dibuka, sehingga pasokan oksigen berkurang drastis.
Blaaaam!
Tiba-tiba tingkap tertutup dengan sendirinya. Rasa cemas semakin menjadi.
“Siapa yang menutup tingkap?” tanya Tiara dengan panik.
“Setan mungkin ...,” jawab Cornellio Syam tersenyum sinis.
“Aku sedang nggak ingin bercanda!” sewot Tiara.
“Aku akan keluar dari tempat ini!” ucap Karina Ivanova dengan gusar. Gadis Eropa Timur itu berbalik menuju atas.
“Tingkapnya tertutup. Kita terjebak di sini!” pekik Karina. Wajahnya yang cantik berubah panik.
“Siapa sih yang menutup tingkapnya?” ulang Aldo Riyanda.
“Hanya ada Helen dan Rania yang di atas. Ayo kita kembali!” ajak Michael Smith.
Rombongan para penulis itu menggedor tingkap dari bawah, sambil berteriak. Perasaan khawatir menghantui. Kalau tingkap tak dibuka, mereka akan terjebak dalam ruangan bawah tanah dalam waktu lama.
“Raniaa! Bukakan tingkap ini!”
“Raniaaaa!”
Secercah cahaya menembus ruang bawah tanah ketika tingkap terbuka. Rania dengan mata sembab, membuka tingkap. Rasa sedih masih menyelimuti, karena kepergian Anggara Laksono yang tak diduga.
“Siapa yang menutup tingkapnya?” gusar Cornellio.
Rania menggeleng lemah.
Satu-persatu para penulis keluar dari ruang bawah tanah. Pikiran buruk masih berputar-putar dalam otak mereka. Masing-masing dihantui kecemasan mendalam. Tak pernah menyangka, bahwa salah seorang pembunuh berada di antara mereka.
“Sekarang apa?” tanya Cornellio Syam.
“Mari kita ungkap siapa pembunuh Anggara Laksono!” ajak Michael Smith.
“Siapa yang tega melakukan itu?” geram Tiara Laksmi.
Hal yang paling diinginkan saat ini adalah kembali ke kota, menikmati secangkir latte, sambil mendengar musik syahdu seperti yang biasa ia lakukan di saat senggang.
“Kita akan cari tahu, siapa yang diuntungkan dengan kematian Anggara Laksono,” terang Michael Smith. Bak detektif tulen, ia mondar-mandir sambil memegang dagu.
“Kamu pikir ini ada hubungannya dengan harta kekayaannya atau sekedar dendam, atau ada motif lain?” tanya Aldo Riyanda penasaran.
“Aku juga tidak tahu. Bahkan sampai sekarang, apa maksud sebenarnya Anggara Laksono mengundang kita kemari, aku juga nggak ngerti,” ucap Michael.
“Kita sekarang terjebak dalam teka-teki yang membingungkan,” tambah Karina.
“Baiklah, sekarang mari kita kembali ke kamar masing-masing. Nanti setelah makan siang, kuharap kita semua berkumpul di ruang santai. Kita akan mengungkap misteri ini. Jangan sampai ada yang menghindar!”
Michael Smith menghela napas.
“Aku setuju! Kita akan ungkap si pembunuh ini!” dukung Aldo Riyanda.
“Ada yang tidak setuju?” tanya Michael.
“Setuju saja sih ...,” jawab Cornellio Syam.
Kebanyakan dari mereka mengangguk setuju. Penyelidikan ala detektif akan dimulai selepas makan siang. Michael Smith yang akan menjadi mesin penggeraknya.
“Tunggu, Michael!” ujar Maira.
“Iya?”
“Kamu bilang tadi semua bisa jadi tersangka. Jadi kami juga berhak untuk menilaimu!” kata Maira.
“Nggak ada masalah! Kalian boleh nilai aku apa saja. Bahkan kalau bukti kalian kuat, bisa saja menyeretku ke penjara,” jawab Michael enteng.
“Harusnya ada pihak ketiga yang bisa memecahkan kasus ini,” keluh Adrianna.
“Pihak ketiga siapa? Kita tidak bisa mengharap siapa-siapa di sini. Kita tangani sendiri saja. Siapapun yang nggak setuju, bisa jadi dia lah pembunuh Anggara Laksono,” tandas Michael Smith.
“Oke, Tuan-tuan. Cukup diskusinya, karena aku merasa lelah mendengar kalian. Aku mau berbaring sebentar di kamar. Sampai nanti saat makan siang!” Maira Susanti bergegas meninggalkan mereka.
Gayanya yang angkuh begitu kentara. Langkahnya lebar menaiki tangga menuju lantai atas.
Kamar Maira Susanti bersebelahan dengan kamar Tiara. Mereka naik bersama, tanpa saling berbicara.
“Kamu beruntung ada di sini,” kata Maira Susanti kemudian.
“Kuanggap itu bukan keberuntungan. Lebih baik aku berbaring di kamarku sendiri, daripada harus tinggal di kastil dengan seorang pembunuh,” jawab Tiara.
“Menurutmu siapa pembunuh pak tua itu?
Aku?”
“Bisa jadi. Aku tidak tahu. Karena siapa pun bisa jadi tersangka.”
“Kalau pun aku pembunuhnya, pasti kamu lah yang akan kubunuh duluan ...,” sinis Maira Susanti.
Ia membuka pintu kamarnya dengan elegan. Sebelum memasuki kamar, ditatapnya Tiara dari ujung rambut ke ujung kaki.
“Kamu cantik, untuk ukuran penulis novel murahan. Tak heran para pria tadi menatapmu lekat,” kaya Maira.
Tiara tak menjawab. Perkataan Maira Susanti ini lebih ke arah penghinaan terhadap dirinya. Ya, ia memang penulis novel murahan. Ia sadar itu. Ia berusaha menepis perkataan Maira, tetapi toh ada rasa sakit yang mencubit di hatinya.
Ia memasuki kamar dengan perasaan gundah. Berada di kastil tua ini, seperti sebuah jebakan yang tak diinginkannya. Harapannya adalah agar si pembunuh segera ditemukan, agar ia bisa segera menghidup udara bebas. Kastil tua ini telah berubah menjadi semacam penjara baginya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
isyaa
mantap Tiara, selesaikan masalah mu!!
2025-02-21
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
woww, cogan dong😍
2024-01-14
0
Mulyani
Aku berniat bikin tentang pembunuhan tetapi bingung cara menuliskannya kedalam sebuah cerita kalau sebuah gambaran aku ada. dan ini cocok untuk aku pelajari sedikit bagi seorang pemula seperti ku
2023-05-06
1