Acara makan malam berlangsung khidmat. Lezatnya daging sapi yang lembut betul-betul memanjakan lidah para penulis itu. Suara denting sendok beradu dengan piring-piring porselen mahal sesekali dalam jamuan itu.
“Sungguh ini enak sekali, Pak Angga. Rasa steak ini tak ada tandingannya. Semuanya serba sempurna,” puji seorang wanita berambut bluish-black di seberang meja. Hidungnya mancung, berparas sangat cantik layaknya gadis-gadis dari Eropa Timur.
“Dia adalah Karina Ivanova. Pernah dengar?” bisik Cornellio pada Tiara.
Tiara menggeleng.
“Dia penulis novel klasik, percintaan antara pangeran dan putri-putri raja, peperangan dan semacamnya. Tahun lalu, skandal asmara bersama manajernya sendiri terungkap di media. Dia memang cantik kan?”
“Iya. Dia memang sangat cantik,” jawab Tiara sambil melahap potongan-potongan daging yang begitu lembut di lidah.
Tiara sempat menghitung jumlah penulis yang ada di undang di acara ulang tahun ini. Semuanya ada delapan orang termasuk dirinya. Sejauh ini ada empat penulis yang ia ketahui identitasnya.
Menjelang berakhirnya jamuan, dessert yang terasa segar di kerongkongan mulai di hidangkan. Puding beraneka-ragam buah terasa manis menyapu mulut. Ada pula beberapa cakes yang begitu lembut. Semua merasa puas dengan hidangan yang disajikan.
“Helen yang memasak ini semua,” kata Anggara Laksono
Dalam otak Tiara langsung tergambar perempuan paruh baya yang menyambutnya pertama kali. Ia mencoba beradaptasi untuk mengenali lingkungan yang benar-benar baru baginya. Orang-orang di rumah ini terlihat asing, tak ada seorang pun yang ia kenal.
Mungkin hanya Cornellio Syam.
Ketika Helen merapikan sisa-sisa makanan, Pak Tua Anggara Laksono membetulkan letak duduknya. Menatap para penulis satu persatu.
“Aku akan mengutarakan pendapatku mengenai kalian. Yang pertama, aku akan mengulas tulisan Maira Susanti,” mata Anggara menatap tajam ke arah perempuan muda yang duduk di sisi kirinya. Wanita muda itu tersenyum angkuh. Rambutnya tertata rapi, dengan hiasan jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
“Maira Susanti. Siapa yang belum kenal dengannya? Aku suka dengan gaya bahasa dan alur ceritanya tentang petualangan manusia ke planet lain. Dia menggambarkan Planet Mars dengan sangat indah, tidak berkawah-kawah. Penuh dengan rumah kaca yang banyak ditumbuhi bunga-bunga berwarna ungu. Aku suka sekali, Maira.”
“Suatu kebanggaan buat saya,” kata Maira Susanti.
Tiara memang pernah mendengar nama Maira Susanti. Pengarang itu cukup dikenal dengan karyanya yang berjudul Petualangan di Planet Merah. Sebuah novel futuristik yang dikemas dengan bahasa indah.
“Berikutnya adalah novel karya Aldo Riyanda,” tatapan Anggara Laksono beralih ke pria muda tampan yang duduk di sisi kanannya.
Kulitnya bersih, dengan style rambut kekinian. Sungguh sedap dipandang mata.
Tiara juga pernah mendengar nama Aldo Riyanda yang melangang buana di dunia penulis dengan karyanya yang cukup fenomenal. Sang Pejuang, novel yang ditulis Aldo Riyanda pernah menjadi trending topic di kalangan penulis karena gaya bahasanya yang indah, dan ide cerita yang berbeda.
“Aku suka membaca tentang perjuangan seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi orang yang paling tersohor di masyarakat. Dia begitu jenius mempermainkan perasaan pembacanya,” puji Anggara pada Aldo Riyanda.
Pria muda itu tersenyum, dan mengangguk.
Selanjutnya, Anggara Laksono mengulas satu persatu novel yang ditulis oleh masing-masing penulis yang diundang.
Michael Smith Artenton, dengan novel detektifnya yang brillian, mengungkap kasus pembunuhan berantai di Kota New York.
Adrianna Chen, penulis kisah romansa kehidupan rumah tangga yang berliku, sangat memanjakan para pembacanya. Adrianna dengan bahasa yang lugas, menyulap sebuah masalah rumah tangga menjadi begitu epik.
Karina Ivanova, pengarang klasik yang begitu dikenal dalam kisah Gwyneth dan Sang Pangeran, cukup diminati penggemar kisah-kisah fantasi yang bertaburan kisah kurcaci, elf, naga dan penyihir.
Hans Christopher, penulis yang duduk di seberang Tiara, pria berwajah dingin tanpa ekspresi, mengingatkan pada tokoh Edward Cullen dalam film Twilight. Bahkan ketika novelnya dibahas oleh Anggara Laksono, tak secuil senyum ia perlihatkan.
Tiara mendengus.
Mengapa ada orang sedingin ini?
Hans Christopher menulis novel fantasi yang epik. Mitos-mitos Yunani berpadu dengan kehidupan modernitas. Saat Dewa Zeus yang menyamar ke dunia manusia dalam pencariannya terhadap pusaka yang diperebutkan oleh Hera. Novel yang membutuhkan kejelian berpikir.
Pembahasan selanjutnya beralih ke pria yang duduk di samping Tiara.
Cornellio Syam, penulis horror murni yang berkisah tentang dunia ghaib dan seluk-beluknya. Alam arwah yang misterius dan penampakan berupa-rupa hantu yang mengerikan. Karyanya selalu ditunggu para penggemar horror di negeri ini.
“Berikutnya adalah Tiara Laksmi,” Anggara Laksono menatap Tiara dengan tajam. Semua mata tertuju padanya. Mereka memandang heran.
Penulis apakah ini? Bahkan nama Tiara Laksmi tak pernah ada di toko-toko buku? Pikir sebagian besar penulis yang ada sana.
“Dia adalah penulis berbakat. Alurnya bagus, tapi sayang belum dilirik oleh penerbit terkenal. Aku tak sengaja membaca novelnya di sebuah kios buku pinggir jalan. Bahasanya vulgar, tapi cukup menarik ...,” lanjut Anggara Laksono.
Tiara menunduk. Sungguh, ia tak layak berada di tempat ini. Ada beberapa penulis yang memandangnya dengan tatapan melecehkan. Tiara bisa menerima itu. Ia memang bukan siapa-siapa.
“Mengapa Pak Anggara bisa tertarik dengan penulis kelas kacang goreng seperti dia?” tanya Maira Susanti.
“Kelas kacang goreng? Kamu salah, Maira. Dia bukan kacang goreng. Dia adalah sebutir berlian yang belum digosok. Cahayanya yang cemerlang masih terselubung...,” bela Anggara Laksono.
“Kuharap anda tidak salah pilih orang,” ujar Maira Susanti tersenyum culas.
Nyali Tiara Laksmi menciut. Rasa percaya dirinya runtuh berjatuhan, berserakan bak bunga sakura di musim gugur. Walaupun begitu, Tiara bisa menerima. Dibandingkan semua penulis di sini, dia adalah penulis level akar rumput. Novel murahan miliknya dibaca seperempat juta hidung belang di negeri ini. Para sopir, kuli bangunan, pekerja kasar yang ingin memuaskan hasrat hewaniahnya.
Kini, Tiara merasa seperti dikuliti hidup-hidup, dibongkar semua aib yang menyelubunginya. Tatapan mencemooh dari author lain membuat nyalinya makin menyusut. Bagai tikus kecil tersudut di ujung ruangan, terjebak kepungan para kucing!
“Tenanglah. Dia memang penulis yang mempunyai attitude tidak baik,” bisik Cornellio menenangkan.
“Aku nggak apa-apa kok. Terima kasih.”
Malam semakin beranjak larut, tetapi tak ada seorang pun dari mereka yang mengantuk. Mereka masih antusias mendengarkan cerita Anggara Laksono yang misterus. Cangkir-cangkir kopi masih diedarkan.
“Maaf. Aku nggak minum kopi,” tolak Tiara, ketika Cornellio mengulurkan cangkir kopi kepadanya.
“Mengapa?”
“Aku nggak suka kafein,” jawab Tiara.
“Kafein nggak akan memacu hasrat bercintamu,” Cornellio tersenyum nakal.
Tiara gelagapan.
Pak Tua Anggara masih melanjutkan ceritanya. Istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu, tanpa meninggalkan satu keturunan pun. Kanker rahim telah merenggut nyawa wanita cantik yang lukisan dirinya terpajang di ruang tengah. Anggara Laksono menyewa pelukis kenamaan untuk mengabadikan istrinya dalam bingkai pigura yang berukir indah.
Harta Anggara begitu berlimpah, tanpa tahu akan dihibahkan ke siapa apabila dia meninggal. Sehari-hari, dia dilayani oleh Helen, asisten rumah tangga, Rania sang asisten pribadi dan Yoga, seorang tukang kebun. Ia bercerita bahwa ia telah menulis surat wasiat yang telah ditandatangani notaris, tersimpan rahasia di brankas pribadinya.
“Wanita yang cantik. Anastasia ...,” kenang Anggara Laksono.
Ia mengajak para author berkumpul di ruang tengah, dekat perapian, mengamati lukisan besar yang tergantung di sana. Lukisan wanita begitu anggun dengan gaun putih bak busana pengantin.
Mereka menikmati malam yang terasa panjang. Sampai pada akhirnya, Anggara Laksono berpamitan akan beristirahat.
“Antar mereka ke kamar masing-masing Helen. Pastikan besok, mereka bangun dalam keadaan bahagia, dan membawa suasana lain. Besok akan ada kejutan manis buat mereka semua,” ujar Anggara Laksono dengan senyum penuh arti.
Tiara tak dapat menangkap arti di balik senyum itu.
Helen mengantarnya ke sebuah ruangan berpintu merah.
“Semoga istirahatmu menyenangkan,” pesan Helen.
“Terima kasih, Helen.”
-
Malam kian berlanjut larut. Tiara menutup pintu kamar, ingin segera mengistirahatkan raganya yang didera rasa lelah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
ahhh aku suka sekali bahasa dari author ini, 👍👍
2024-01-14
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
setuju, maira adalah perempuan sombong dan culas😒
2024-01-14
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
begitulah kacang yang lupa sama kulitnya, cihhh 😡
2024-01-14
0