Tiara baru saja keluar dari kamar ketika hendak turun menuju ke ruang makan untuk makan malam. Dalam waktu yang sama, Maira yang kamarnya bersebelahan juga hendak turun. Seperti biasa Maira mengenakan gaun dengan belahan lebar di bagian dada, mempertontonkan yang tersembunyi di baliknya. Sepasang anting berlian terlihat berkilauan diterpa cahaya lampu temaram. Maira selalu terlihat glamour di setiap kesempatan, seolah tak ingin membuang waktu percuma untuk memamerkan kemolekan tubuhnya.
Berbanding terbalik dengan Maira, Tiara hanya mengenakan blus sederhana dipadu dengan celana panjang berwarna senada. Riasan tipis tersaput di paras wajahnya yang sendu. Tak banyak pula perhiasan yang ia pakai. Hanya sepasang anting kecil, dan kalung sederhana melingkar di lehernya yang jenjang.
“Kamu tampak cantik Maira,” puji Tiara berbasa-basi.
“Terima kasih, Tiara. Andai kamu mengucapkannya lebih tulus, aku akan percaya!” sambut Maira.
Tiara tersenyum kecut. Ia tak ingin merusak mood makan malam dengan berdebat sesuatu yang tidak penting dengan Maira. Keduanya tiba di ruang makan, ketika para penulis lain juga sudah berkumpul di tempat itu.
Tiara agak terkejut, ketika dilihatnya ada sosok baru dilihatnya hari ini. Seorang wanita berwajah angkuh dan pasangannya, yaitu keponakan Pak Anggara, Mariah Alray dan Ammar Marutami. Pasangan itu terlihat elegan bak raja dan ratu dari negeri antah berantah. Matanya tak lepas mengawasi setiap penulis yang hadir pada kesempatan itu.
Helen masih sibuk menyiapkan segala sesuatunya, ketika Mariah Alray membuka suara.
“Baik, perkenalkan semua, namaku adalah Mariah Alray. Aku di sini bertindak sebagai tuan rumah diminta untuk mewakili paman Anggara yang saat ini sedang melakukan perjalanan ke luar kota.”
“Keluar kota? Bukankah Pak Anggara ...,” potong Maira. Kalimatnya terhenti ketika Hans menendang kakinya, mengisyaratkan untuk tidak banyak bicara.
“Kudengar kalian para penulis yang karyanya menjadi favorit paman, sayangnya aku tak suka membaca seperti beliau. Sebaliknya aku merasa para penulis hanya pembual yang menjual omong kosongnya. Tapi bagaimanapun aku senang dengan kehadiran kalian semua di tempat ini,” lanjut Mariah.
Pembual yang menjual omong kosong?
Para penulis mencibir dalam hati mendengar perkataan Mariah Alray. Bahkan sempat terlontar umpatan Hans. Ia bergumam.
“Sialan! Ingin sekali kubungkam mulutnya untuk selamanya!”
“Tahan emosimu, Hans!” bisik Cornellio yang duduk di sebelahnya.
Setelah tersenyum dingin, Mariah Alray melirik ke arah pria di sampingnya.
“Sedangkan ini adalah suamiku, Ammar Marutami. Dia juga suka membaca novel seperti paman Anggara. Selain itu dia juga seorang kapten polisi ....” Mariah Alray menerangkan dengan kalimat tegas.
“Tunggu! Anda Ammar Marutami? Wah, merupakan salah satu kehormatan bertemu denganmu di tempat ini. Saya sering mendengar namamu di televisi karena berhasil memecahkan beberapa kasus pembunuhan. Jujur saja, sepak-terjangmu sangat menginspirasi!” kata Michael Smith penuh semangat.
“Oya? Senang sekali mendengar itu. Kamu menulis tentang apa? Kisah detektif atau apa ...?” tanya Ammar Marutami.
“Iya, namaku Michael Smith. Aku penulis beberapa cerita detektif. Nanti aku akan belajar banyak darimu cara memecahkan suatu kasus kalau kau tak berkeberatan!”
“Michael Smith? Aku pernah baca salah satu novelmu yang tak masuk akal itu. Maaf aku harus mengatakan yang sebenarnya, bahwa novelmu itu sangat janggal dan logika yang dipakai cukup ngawur!” cibir Ammar Marutami.
Michael Smith mendengus. Ia merasa kesal karyanya dipermalukan di depan para penulis lain. Mulutnya seketika terkunci. Hasratnya untuk menimba ilmu dari polisi itu pupus sudah. Rasa simpati yang bersemi, perlahan layu tergantikan rasa kesal luar biasa.
“Jenis novel apa yang kau suka?” tanya Cornellio pada Ammar.
“Tak terlalu banyak. Kisah percintaan yang romantis, dan novel-novel perjuangan hidup karya Aldo Riyanda! Bahasa Aldo sangat indah dan menginspirasi, tidak seperti kebanyakan novel yang beredar di pasaran,” jawab Ammar.
“Oh itu novelku!” Aldo Riyanda menyahut.
“Wah, senang sekali aku bertemu dengan penulis berkualitas sepertimu. Nanti kamu harus memberiku tanda tangan. Jangan-jangan di sini juga ada penulis Tiara Laksmi!” kata Ammar lagi.
“Oh, iya. Aku Tiara Laksmi!” Mendengar namanya disebut, sontak Tiara Laksmi terkejut. Tidak menyangka, novelnya dibaca seorang polisi terkenal seperti Ammar Marutami.
“Wow, ini sungguh di luar dugaan. Novelmu menarik. Aku selalu ingin mencoba gaya bercinta yang kamu tawarkan dalam setiap novelmu!”
Maira Susanti tak dapat menahan gelaknya, sambil melirik sinis ke arah Tiara. Mairah Alray hanya tersenyum dingin mendengar penuturan suaminya.
Tiara Laksmi menunduk malu. Ia tak tahu apakah ucapan Ammar Marutami tadi pujian atau hinaan. Tak ada kata terucap, ia hanya tersenyum kecut.
“Baiklah. Sesi obrolan berakhir. Makanan akan menjadi dingin apabila tidak segera kita santap. Mari kita mulai makan!” ajak Mariah Alray.
***
Semenjak terbunuhnya Karina, para penulis pria memilih untuk tidak membahas hal itu di berbagai kesempatan. Apalagi kastil itu kini kedatangan penghuni baru, seorang polisi kenamaan yang tak diragukan.
Bagaimanapun seorang polisi mempunyai insting yang kuat mencium kejanggalan walaupun hanya sedikit. Ketika Ammar bergabung dalam pembicaraan, banyak yang memilih untuk menghindar mencari aman.
Kecuali Maira Susanti.
Awal pagi yang cerah, dengan bunga-binga sepatu yang bermekaran di halaman depan, Ammar Marutami sedang berolahraga ringan , ketika Maira Susanti tiba-tiba mendekat. Seperti biasa, wanita muda itu tampil mempersona, dengan busana casual berwarna cerah, disertai senyum mengembang.
“Selamat pagi, Pak Polisi!” sapa Maira.
“Selamat pagi, Maira. Kamu Maira kan?” tanya Ammar, sambil melakukan lompat-lompat ringan. Peluh membasahi pelipisnya, mengalir melewati pipi. Bagi seorang polisi, diperlukan kebugaran tubuh yang prima. Tak heran, ia menyempatkan diri untuk berolahraga tiap pagi.
“Tepat sekali. Ingatanmu bagus, apalagi kalau mengingat wanita cantik. Bagaimana kesanmu di tempat ini?” tanya Maira. Ia duduk di bangku taman, mengamati polisi yang sedang bergerak aktif.
“Ini bukan kunjunganku yang pertama. Seperti biasa, tempat ini selalu terlihat menyeramkan. Aku tidak mengerti bagaimana bisa pak tua itu bisa betah tinggal di tempat seperti ini.”
“Home sweet home!” jawab Maira sambil tersenyum.
“Jadi kapan kalian berencana meninggalkan kastil tua ini? Mengapa kalian betah sekali tinggal di tempat ini?” tanya Ammar.
“Entahlah. Lagipula kami sudah bosan dengan kehidupan kota yang glamour. Tempat ini penuh dengan kesejukan dan oksigen. Ini dapat memicu inspirasi menulis. Itu yang dibutuhkan banyak penulis. Tempat yang tenang dan nyaman,” kata Maira.
“Helen sempat mengatakan bahwa ada delapan penulis yang diundang. Tetapi semalam aku hanya melihat tujuh orang saja. Di mana penulis yang satu lagi?” tanya Ammar.
“Oh, Karina Ivanova. Yah, dia mungkin tidak begitu tahan tinggal di tempat terpencil seperti ini, sehingga memutuskan untuk kabur. Entahlah. Dia menghilang begitu saja, tanpa membawa barang-barangnya. Kemungkinan dia depresi.” Maira menerangkan dengan lugas.
“Kabur? Kukira akan sulit kabur dari tempat ini tanpa menggunakan mobil, kecuali kalau ingin mati di perjalanan!”
“Aku sama sekali tak tahu tentang itu, Pak Polisi. By the way, kamu terlihat sangat seksi dengan pakaian olahraga seperti itu,” goda Maira Susanti.
“Hmm. Terima kasih. Entah kamu wanita keberapa yang mengatakan itu padaku. Kuncinya adalah olahraga, karena efektif membakar lemak dan memperbaiki metabolisme tubuh,” terang Ammar.
“Aku mengikuti klub kebugaran juga. Hanya saja berberapa bulan belakangan ini aku sedikit malas.”
“Malas kenapa?”
“Yah, mungkin karena badmood. Itu biasa. Semoga dengan liburan di kastil tua ini akan mengembalikan mood-ku yang memburuk akhir-akhir ini. Mau membantuku untuk mengembalikan mood yang hilang?”
“Apa maksudmu?”
“Bersenang-senang sedikit akan mengembalikan mood, Pak Polisi. Aku akan butuh bantuanmu ....”
“Oh, tentu saja. Aku akan mengajak Mariah untuk bergabung dan ....”
“Tidak dengan Mariah! Hanya kita berdua ....” Maira memotong kalimat Ammar dengan cepat, sembari menatap tajam matanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
wkwkwkwk, langsung kena mental gak tuh😂😂😂
2024-01-16
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
lumayan sadis kata2nya, setidaknya cocok dengan wajahnya yang angkuh😎
2024-01-16
0
Siti Mutmainah
visual nya dong kak,,kepo nih sama wajah dan kastil tuanya🙏
2023-04-21
0