Michael membuka pintu kamar yang biasa ditempati Karina Ivanova. Terasa pengap, karena tak berpenghuni. Ranjangnya tampak rapi, dengan selimut terlipat. Selembar lingerie warna ungu tergeletak di sana. Michael membelai perlahan lingerie itu, membayangkan isi di dalamnya. Perhatiannya teralih ke lemari pakaian yang terbuka sedikit. Beberapa gaun tergantung di sana. Semuanya tingal kenangan. Gaun-gaun indah itu kini tak bertuan.
“Wanita yang malang ....,” gumam Michael.
Kemudian ia mengambil buku harian tua yang berinisial AP. Buku itu tergeletak di atas meja dekat lampu baca. Sampai sekarang, buku harian itu masih menyimpan misteri. Siapa penulisnya? Apa hubungannya dengan ruang bawah tanah di kastil ini?
Lembar pertama bertuliskan perkenalan dalam tulisan tangan yang nyaris tak terbaca karena termakan usia. Bahkan beberapa lembar dalam buku tersebut sudah mulai lapuk.
“Aku masuk dalam lembar kehidupannya yang misterius. Sosok-sosok itu terus menghantui, datang tiap gelap menjelang melewati lorong gelap. Tangan-tangan terborgol, kaki terantai. Jeritan melengking ketika penguasa kegelapan itu muncul ....”
Kalimat ini menggelitik Michael. Apa maksud dari kalimat ini sebenarnya. Penguasa kegelapan? Lorong gelap? Semuanya terdengar seperti sesuatu yang mengerikan. Ingin sekali ia kembali ke dalam lorong ruang bawah tanah untuk menelusuri misteri di dalamnya.
“Permisi, apa yang kamu lakukan di sini?”
Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengejutkannya. Michael memutar balik tubunhnya, mendapati perempuan jangkung bertubuh semampai menatap penuh selidik.
Perempuan itu terlihat cantik dengan gaun pagi bermotif bunga-bunga, dan rambut yang diikat rapi. Aroma parfum yang lembut mempermainkan indera penciumannya.
Michael banyak bertemu wanita cantik dalam hidupnya, ia menilai Mariah punya nilai tersendiri di matanya. Kecantikan wanita itu menyimpan misteri yang dalam, seperti keberadaan stonehenge di Inggris. Wajahnya yang oval terlihat eksotis, bersaput riasan tipis bernuansa gelap.
Polisi itu beruntung bisa menikahinya, batin Michael.
“Oh, Mariah. Aku sedang mengambil sesuatu di sini karena penghuninya telah pergi,” kata Michael sambil memperlihatkan buku harian tua yang dipegangnya.
“Aku hendak mengunci kamar ini karena tak dipakai lagi. Helen bilang penghuninya menghilang atau mungkin kabur entah kemana. Helen akan membersihkan, dan mengunci kamar ini. Aku tidak mengerti, paman membangun banyak sekali kamar di kediaman yang terpencil di tengah kebun teh. Dulu katanya paman sering menjamu tamu-tamu juga di kastil ini,” kata Mariah.
“Salah satu kehormatan bisa menjadi salah satu undangan istimewa Pak Anggara.”
“Omong-omong kamu bertemu suamiku pagi ini? Tadi dia bilang akan berolahraga di sekitar rumah, tetapi aku tak melihatnya,” kata Mariah.
“Maafkan aku, Mariah. Kamu adalah orang pertama yang kujumpai sejak pagi. Begitu aku membuka mata, aku langsung ke kamar ini. Mungkin Ammar Marutami pergi ke kebun teh.”
“Maafkan perkataan suamiku kemarin. Dia orang yang begitu jujur dalam menanggapi segala hal. Bukan berarti novelmu buruk. Dia hanya memandang dari sudut pandang pribadinya saja. Jangan dimasukkin ke hati,” kata Mariah.
Michael membuang napas. Sejujurnya, perkataan pedas Ammar Marutami tadi malam sempat membuatnya terpukul. Novel kebanggaannya hanya dicap sebagai novel dengan logika ngawur. Andai yang berkomentar orang awam, tentu dia akan bereaksi balik. Sayangnya kali ini yang bereaksi adalah seorang polisi senior yang jago mengungkap kasus. Otomatis ia tak berkutik dibuatnya.
“Jangan khawatirkan itu, Mariah. Aku dapat menerima kritikan pedas suamimu. Aku akui banyak kekurangan dalam novel itu, karena aku membuatnya berdasarkan pandangan pribadi, bukan berdasarkan riset atau ilmu kepolisian seperti suamimu,” ujar Michael merendah.
Mereka hendak keluar dari kamar Karina ketika tiba-tiba Ammar Marutami muncul dengan tatapan curiga.
“Apa yang kalian lakukan di kamar itu?” tanya Ammar.
“Oh, Ammar. Aku hendak mengecek kamar kosong di sini, tapi tak sengaja bertemu Michael di dalam. Dari mana saja kamu? Aku tak melihatmu di halaman depan?” tanya Mariah.
“Hmmm. Mengobrol di dalam kamar?” Ammar memicingkan mata. Keningnya berkerut.
“Iya. Tak ada penting yang kami obrolkan!” kata Michael.
“Aku tidak menanyaimu, penulis amatiran!” gertak Ammar Marutami.
“Semua baik-baik saja, Ammar. Kamu nggak perlu gusar. Mari kita turun untuk persiapan sarapan. Kita lihat apa yang disiapkan Helen pagi ini,” kata Mariah sambil menggamit lengan suaminya.
Pasangan itu segera berlalu dari hadapan Michael yang menahan amarah. Ingin sekali ia melayangkan kepalan tangannya ke muka polisi itu. Ia merasa harga dirinya direndahkan ke level paling dasar. Ya, ia memang tidak sempurna dalam menulis. Namun setidaknya, karyanya harus dihargai, tidak diinjak-injak begitu saja.
***
Yoga menyulut batang rokok ketiganya. Parasnya terlihat kusut dengan rambut masai. Ia masih tampak stres dengan penemuan jasad Karina di kebun teh. Wajah wanita itu masih menghantui pikirannya. Isi perut terburai dan darah yang terpercik di mana-mana membuatnya terjaga sepanjang malam.
Pikiran buruk itu memicu Yoga menyelinap di halaman belakang guna menghisap berbatang-batang rokok. Keanehan sikapnya sempat membuat Rania curiga. Perlahan ia dekati pria muda yang sedang kacau pikirannya. Rania menarik rokok yang ada di mulut Yoga, membuangnya jauh.
“Nikotin akan membakar paru-parumu!” ujar Rania.
“Apa yang kamu lakukan?” protes Yoga.
“Kamu kenapa sih? Seharian aku melihatmu seperti orang tak waras. Pekerjaan tidak selesai, malah kamu asyik merokok! Bahkan aku melihatmu minum bir. Apa yang sedang kamu pikirkan?” cecar Rania.
“Jangan ganggu aku, Rania! Pergilah!”
“Aku tidak akan pergi, sampai kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tidak biasanya kamu bersikap seperti ini!”
“Aku tidak apa-apa! Jangan pedulikan aku!”
Rania meradang mendengar perkataan Yoga. Perubahan sikap Yoga membuatnya khawatir. Tapi tak ada yang dapat dilakukannya. Mungkin ia akan membiarkan pria itu menenangkan diri sejenak.
“Baik, aku akan pergi! Aku hanya mengingatkan agar tak menyiksa diri seperti itu. Sesungguhnya itu tidak akan membuatmu keluar dari masalah. Oke? Aku akan selalu ada buatmu. Aku sayang kamu.”
Rania pergi meninggalkan Yoga sendirian. Pria itu masih terlihat kalut dalam pikirannya. Pelariannya adalah gudang yang terletak di halaman belakang. Ruangan yang disebut gudang itu agak gelap, kotor dan penuh dengan barang bekas berserakan. Di sana, Yoga menyimpan rokok di bawah tumpukan-tumpukan kardus. Yoga terbiasa menghabiskan waktu di tempat itu apabila banyak pikiran.
Tikus-tikus berukuran besar hilir-mudik, turut merasakan keresahan yang dialami Yoga. Pria itu menyelonjorkan kakinya di lantai, melepas penat. Ia hirup napas dalam-dalam, berusaha melepas beban berat di dadanya. Ia berpikir, apa yang dikatakan Rania benar. Ia tidak mau menyimpan masalah sendiri.
"Aku akan memberi tahu Rania tentang ini. Persetan dengan rahasia! Mereka harus tahu!” gumamnya.
Ia bangkit dari tempat duduknya perlahan, menginjak sisa puntung rokok di tangan. Ia ingin segera bertemu Rania untuk menceritakan apa yang ia lihat di kebun teh.
Braaak!
Pintu gudang terbanting keras. Seketika ruangan menjadi gelap. Yoga terhenyak, tetapi tetap waspada. Ia mendengar langkah kaki mendekatinya.
“Siapa itu? ” tanya Yoga.
Namun pertanyaannya tak terjawab. Hanya hening meraja. Yoga meraih sebilah pipa besi yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berusaha menajamkan penglihatan. Sayangnya ruangan gudang terlalu gelap.
Beberapa langkah depannya, ia bisa melihat sesosok manusia berdiri tegap, diam tak bergerak!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
jadi penasaran apa yg dilakukan meira dan pak polisi🤔
2024-01-18
0
🤔🤔🤔
2023-02-20
1
IG: _anipri
jangan Yoga. aku takut kalau Rania malahan dalang dibalik semua ini
2023-01-04
0