Karinaaaa! Karinaaa!”
Para pria berteriak ke segala penjuru perkebunan. Sayangnya sekuat mereka berteriak, tak ada suara apa pun yang membalas. Suara mereka seolah larut di udara. Perkebunan yang luas menghampar itu terasa kosong, tak ada sesosok manusia pun di sana. Rasa putus asa mulai merasuk dalam, menjalar tak terkendali. Mereka berpikir bahwa sepertinya pencarian ini hanya sia-sia belaka.
“Sepertinya kita harus kembali!” kata Cornellio yang mulai terengah-engah. Wajahnya mulai bersimbah peluh. Ia terengah-terengah karena terlalu banyak berteriak.
“Kurasa Karina tak mungkin ada di perkebunan ini! Kita sudah menyusuri tiap sudutnya, tetapi tak ada tanda-tanda dia ada di sini,” keluh Hans. Ia mulai terduduk di atas rerumputan basah.
“Lalu menurut kalian di mana? Masa iya dia berjalan ke kota? Sebelum sampai di kota dia sudah pasti mati kelelahan!” ujar Michael sambil menyeka peluh.
“Mmm, bagaimana kalau aku cek saja dengan menggunakan mobil? Kalaupun dia ke kota, pasti belum terlalu jauh. Mungkin dia sedang beristirahat di tepi jalan. Tak ada bangunan lain di sekitar sini,” Yoga menawarkan diri.
Mereka duduk di tepi jalan setapak, beralaskan rerumputan. Angin yang berdesir perlahan membelai rambut. Jiwa-jiwa mereka kian gelisah karena pencarian tak membuahkan hasil, sementara matahari makin meninggi. Tanda-tanda keberadaan Karina tak juga tampak.
Tiba-tiba terdengar salak anjing tak jauh dari tempat mereka duduk. Terdengar dari suaranya, sepertinya ada dua atau tiga ekor anjing sedang berebut sesuatu.
“Pak Anggara memelihara anjing?” tanya Michael.
“Tidak. Tetapi ada sekawanan anjing liar yang hidup di sekitar perkebunan. Mereka memangsa apa pun yang mereka temui. Burung, kelinci, tupai atau apa saja,” jawab Yoga.
“Suara mereka begitu dekat!” ujar Aldo Riyanda, sambil menajamkan pendengaran.
Suara salak anjing jelas terdengar, berpadu dengan suara kicau burung dan deru angin perkebunan.
“Lihat!” Cornellio menunjuk ke arah samping.
Sekitar lima puluh meter, terlihat seekor anjing berbulu coklat besar yang berdiri dengan tatapan mengancam ke arah mereka. Anjing itu menggeram, seolah terusik dengan kehadiran para penulis itu. Dua ekor anjing yang lain juga tampak di belakangnya. Anjing-anjing tersebut bermuka menyeramkan, lebih mirip serigala. Sepasang telinganya yang besar terdongak ke atas.
“Apa itu yang ada di mulutnya? Ia seperti menggigit sesuatu?” tanya Hans.
“Ya Tuhan! Aku melihat sesuatu yang ganjil. Yang ada di mulutnya itu seperti tangan manusia ....” Suara Aldo Riyanda tercekat.
Parasnya berubah pasi dipenuhi rasa takut. Kalau saja ia melihat potongan tubuh manusia di tempat praktik kedokteran mungkin tidak ada masalah, tapi ini ...? Di tengah perkebunan ini, bagaimana bisa ada potongan tangan manusia?
“Yang benar saja? Jangan bercanda!” tepis Hans. Ia menajamkan mata untuk bisa melihat sesuatu yang digigit anjing liar itu.
“Iya, sepertinya memang tangan manusia!” ujar Yoga, menguatkan perkataan Aldo.
“Ayo kita lihat!” Michael bangkit dari tempat duduknya, melangkah mendekati anjing itu.
Sayangnya anjing itu malah berlari menjauh, masuk ke dalam rimbunnya tumbuhan teh. Michael merasa gusar kehilangan jejak. Walaupun begitu ada sesuatu yang mengusik penglihatannya.
“Guys! Coba kalian kesini!” teriaknya.
Para penulis lain yang sedang duduk segera bangkit dan mendekati Michael. Sepertinya ada sesuatu yang menarik.
Michael duduk berjongkok, mengambil benda berkilau yang ada di tanah. Ia amati benda itu lekat-lekat, dengan wajah cemas. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi.
“Ada yang tahu benda ini?” Michael mengangkat benda berkilau itu.
“Sebuah jam tangan!” kata Hans.
“Ada yang tahu ini jam tangan siapa?”
“Aku tahu itu adalah jam tangan Karina. Aku melihat dia memakainya saat mengobrol denganku di ruang baca,” ujar Cornellio.
“Mengapa ada di sini?” tanya Hans.
“Itu yang akan kita cari tahu!” jawab Michael.
Mereka terdiam sejenak. Rasa takut tiba-tiba menyelinap dalam perasaan mereka. Mereka memandang berkeliling. Hanya ada hamparan tumbuhan teh. Mereka seperti terasing dalam negeri lain, tanpa kehidupan manusia. Hanya ada tumbuhan teh di mana-mana.
“Apa itu?” celetuk Aldo Riyanda.
Pandangannya tertuju pada sesuatu yang aneh di bawah rimbunnya tanaman teh. Ia melihat benda tergeletak seperti sepatu perempuan.
Kembali rasa takut menyelimuti. Dengan tetap waspada mereka memeriksa keberadaan sepatu wanita itu. Sebuah sepatu berhak pendek, tetapi hanya bagian kiri.
“Sepatu Karina. Mana lagi yang sebelahnya?” desis Michael.
“Aku merasakan sesuatu yang buruk terjadi padanya ...,” gumam Aldo Riyanda.
Yang lain terdiam, tak berani berpendapat. Kengerian masih meneror samudra hati para pria itu. Jantung mereka berdegup lebih kencang. Apalagi ketika sebuah pemandangan mengerikan tiba-tiba tertangkap mata!
Tak jauh dari penemuan sepatu, mereka melihat sosok tubuh wanita muda tergeletak dalam keadaan mengenaskan dengan percikan darah di mana-mana, perut terburai dan pergelangan tangan terpotong!
***
“Silakan beristirahat Nona Mariah!” Helen mempersilakan pasangan Mariah dan Ammar untuk masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan sebelumnya.
Sebuah kamar tamu dengan desain mewah, bernuansa klasik. Aroma mawar langsung menyergap saat pasangan itu masuk ke dalam.
“Jadi kemana Paman Anggara? Mengapa sejak tadi aku tak melihatnya? Dan siapa para wanita yang ada di gazebo tadi?” tanya Mariah, sebelum beranjak masuk kamar.
“Tuan Anggara pergi ke luar kota tanpa meninggalkan pesan apa pun Nona. Sedangkan para wanita itu adalah tamu dari Pak Anggara. Mereka adalah para penulis yang diundang Pak Anggara. Sayangnya, dalam waktu bersamaan Pak Anggara mendadak pergi ke luar kota karena ada urusan penting,” dusta Helen.
“Urusan penting apa, Helen? Paman jarang keluar kota. Kalau pun ada urusan mendadak pasti dia menghubungiku,” selidik Mariah.
“Maaf Nona saya juga kurang mengerti. Yang jelas, beliau cepat-cepat pergi ke luar kota tanpa meninggalkan pesan apa pun. Hanya saja, dia berkata pada saya untuk menghubungi Anda. Itu sebabnya saya segera menghubungi Anda, karena di rumah ini tak ada tuan rumahnya. Para tamu-tamu itu, belum boleh pulang oleh Pak Anggara,” kata Helen lagi.
Ammar Marutami yang sedari tadi mendengarkan penjelasan Helen hanya mengerutkan kening sembari memegang bibir bawahnya. Ditatapnya dalam-dalam mata Helen, seolah mengorek sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
“Baiklah Helen. Kami akan segera beristirahat. Panggil kami saat makan malam nanti!” perintah Mariah.
Helen mengangguk, kemudian segera beranjak dari hadapan mereka.
Mariah dan Ammar Marutami memasuki kamar yang mempunyai jendela besar di sisinya. Mariah berdiri menatap hamparan teh di kejauhan, pikirannya melayang entah kemana.
“Helen telah berbohong!” ujar Ammar Marutami, sambil menghempaskan diri ke ranjang. Perjalanan lumayan panjang membuatnya sedikit lelah. Ia perlu waktu untuk meregangkan otot-ototnya.
“Aku juga merasakan itu, Ammar. Dari awal masuk ke rumah ini aku dapat merasakan aura berbeda dari sebelumnya. Seperti ada hal buruk yang telah terjadi,”jawab Mariah sambil terus menatap hamparan hijau kebun teh di kejauhan.
“Pendapatku lebih realistis, Mariah. Aku melihat tatapan Helen seperti menyembunyikan sesuatu. Ada sesuatu yang hendak ia katakan, tetapi mungkin dia memaksa kita untuk memecahkan sebuah teka-teki. Tak mungkin dia menyuruh kita kesini hanya untuk menjadi tuan rumah bagi tamu-tamu itu. Pasti ada sesuatu yang terjadi,” kata Ammar.
“Nanti coba kita berkenalan dengan para tamu saat makan malam. Mungkin ada yang bisa menjelaskan keganjilan ini!”
“Waktu makan malam masih cukup lama. Kita bisa bersantai sejenak di sini sambil melihat kebun teh yang indah tetapi misterius itu. Setiap kali aku datang ke sini, aku seperti terlempar dalam sepenggal kisah horor yang menakutkan. Apakah kamu nyadar bahawa kastil ini sangat menakutkan?” ujar Ammar lagi.
“Kau takut, Sayang?” Mariah membalikkan tubuh, menatap tajam suaminya yang sedang berbaring santai di atas ranjang.
“Tak ada kata takut dalam kamus hidupku! Puluhan kasus sudah kupecahkan dengan brilian. Pembunuh berantai, psikopat, pembunuh bertopeng hingga sekte pemuja setan, aku sudah akrab dengan mereka semua. Darah adalah pemandangan biasa bagiku,” seringai Ammar.
“Kalau begitu mari kita bersantai, lupakan sejenak cerita kriminal atau pembunuh berantaimu itu! Aku ingin bersenang-senang sejenak sambil menunggu makan malam!”
Mariah duduk di sebelah suaminya. Tangannya mulai menjalar menelusuri tubuh pria di sampingnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
kenapa harus berbohong
2024-01-16
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
ngeri..😣
2024-01-16
0
IG: _anipri
tak kira Mariah cenayang dingin, ternyata ...
2023-01-04
0