Gerimis mengguyur jalan berkelok yang membelah perbukitan. Malam telah beranjak larut, merapat ke pukul dua belas. Keheningan bertahta, hanya kepak burung hantu mencari mangsa yang sesekali terdengar. Sebuah taksi biru muda menyorotkan cahaya, memantul di aspal yang basah. Lajunya tak begitu cepat menyusur jalan perbukitan.
Taksi itu berhenti di depan bangunan tua besar mirip kastil yang temaram dipoles lampu redup kekuningan. Pagar besi menjulang dipasang berkeliling. Halamannya cukup luas, ditumbuhi beberapa pohon peneduh besar menambah keangkeran suasana. Alang-alang tumbuh di sana-sini, di antara semak yang tak terawat. Sekilas, bangunan itu seperti tak berpenghuni.
Seorang gadis muda, berkaki jenjang turun dari taksi dengan ragu. Rambutnya yang sebahu diikat rapi. Setelan blus kelabu gelap elegan dengan brand ternama tampak serasi dengan handbag yang berwarna senada. Sebuah travel-bag besar tergenggam di tangan. Wajahnya yang jelita tersaput make-up tipis yang mulai luntur.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Kegelisahan merayap. Taksi meninggalkan sendiri dalam sepi. Sekali lagi, dilihatnya secarik kertas di tangan, memastikan bahwa ia sudah menuju alamat yang benar.
Tetapi bagaimana dia bisa memastikan?
“Semoga alamat ini benar ...,” gumamya.
Krieeet!
Ia membuka pagar besi yang tak dikunci. Deritannya terdengar menyeramkan, bak jeritan makhluk dari dunia lain. Kesan angker dari banyak film horor yang telah ia tonton, kini dialami sendiri. Dalam sekejap mata, ia berada di area taman yang banyak dikepung pepohonan besar tak kalah menyeramkan. Gelap masih menyelimuti sekitar. Dengan mengumpulkan sisa keberanian, ia terus melangkah menuju pintu utama yang terbuat dari kayu mahoni bersepuh pelitur mengkilap.
Dug-dug-dug!
Sebuah lingkaran besi tergantung di tengah pintu ia ketukkan tiga kali, menunggu empu rumah menampakkan diri. Tak lama, seorang wanita paruh baya bermuka agak keriput membuka pintu, menatap dengan tatapan aneh. Alisnya yang jarang nyaris bertemu di pertengahan kening.
“Selamat malam,” sapa tamu wanita berkaki jenjang itu.
“Anda...?” wanita paruh baya itu bertanya.
“Saya-saya Tiara. Tiara Laksmi,” jawab si tamu.
“Oh, silahkan masuk. Pak Anggara sudah menunggu anda,” perempuan paruh baya itu membuka pintu lebar.
Tamu wanita bernama Tiara Laksmi itu tertegun di ruang tamu megah. Ruangan besar yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen misterius dan koleksi barang antik. Beberapa kepala rusa tertempel di dinding. Koleksi topeng Bali berwajah menyeringai menujukkan giginya yang tajam, menambah suasana mistis. Cahaya lampu temaram sengaja dipasang untuk kesan lebih angker. Di ujung ruangan terdapat cermin berbingkai ukir yang misterius. Karpet berwarna merah darah terhampar memenuhi ruangan.
Ruangan tamu ini terhubung dengan sebuah lorong cukup panjang yang dinding-dindingnya tergantung lukisan-lukisan abstrak aneh. Ujung lorong berakhir di sebah ruangan luas bernuansa marun, lengkap dengan perapian, meja makan besar dan ornamen lampu gantung abad pertengahan. Sejenak Tiara merasa seperti terlempar ke suatu tempat di antah-berantah beberapa abad sebelumnya.
Ia berharap tidak tersesat di istana para drakula di Transylvania.
“Tiara?” sapa seorang pria berumur tujuh puluh tahunan atau lebih. Rambutnya sudah memutih. Ia memakai setelan jas dan syal biru tua melingkar di leher. Pria tua itu duduk di ujung meja panjang, menatapnya lekat.
Tiara Laksmi mengangguk, menebar senyum kepada beberapa orang yang telah duduk di sana. Ada enam orang yang tidak ia kenal sebelumnya. Tiga orang wanita muda seperti dirinya, dan empat orang pria yang tak bisa dipastikan umurnya . Mereka menatap Tiara Laksmi dengan tatapan aneh, membuat wanita muda itu sedikit canggung.
“Maaf sedikit terlambat,” ucap Tiara.
Dengan isyarat tangan, pria tua itu mempersilahkan Tiara untuk duduk.
Dengan ragu-ragu Tiara duduk di kursi kosong, bersebelahan dengan pria muda dengan kumis tipis. Ia memakai sweater rajut warna hijau lumut. Pria muda itu mengulurkan tangannya pada Tiara.
“Cornellio Syam,” ucap pria itu lembut.
“Tiara Laksmi,” sambut Tiara.
Cornellio Syam? pikir Tiara.
Nama itu tidak asing di telinganya. Di dunia kepenulisan, nama Cornellio Syam cukup dikenal sebagai penulis novel horor yang jempolan. Karya-karyanya selalu best-seller dan diminati oleh pasaran. Tiara tidak menyangka akan bertemu muka dengan Cornellio Syam secara langsung.
Tiara Laksmi merasa sedikit rendah diri. Ia merasa sebagai penulis novel kelas teri seorang yang banyak menulis kisah romance murahan yang bertabur adegan dewasa. Suatu kehormatan bisa duduk satu meja dengan penulis terkenal seperti Cornellio Syam.
“Siapa lagi yang kita tunggu?” celetuk pria yang duduk di seberang meja. Rambutnya bercat coklat gelap, serasi dengan kulitnya yang pucat. Sekilas dia terlihat seperti orang Eropa. Ia juga memakai setelan jas ala barat.
“Kamu kenal dia?” bisik Cornellio ke telinga Tiara.
Tiara menggeleng seraya berkata pelan,”Aku tidak mengenal seorang pun di sini.”
“Dia adalah Michael Smith Artenton,” bisik Cornellio lagi.
“Michael Smith? Penulis cerita detektif yang terkenal itu?” pekik Tiara tertahan.
Pria yang disebut Michael Smith Artenton terlihat acuh tak acuh. Terlihat ia mulai bosan, menggigit-gigit kuku jarinya. Perilaku yang agak aneh untuk seorang pria dewasa. Setahu Tiara, Michael Smith adalah pria kebangsaan Amerika Serikat yang lama tinggal di Indonesia, dan menjadi penulis kriminal yang begitu tersohor.
Paling tidak ada dua penulis terkenal yang duduk semeja dengan dirinya. Sedangkan sosok-sosok yang lain masih tersimpan rapi dalam tabir misterius. Mereka duduk dengan tenang, tetapi menyembunyikan kegelisahan. Aura ketegangan menguar dalam ruangan ini.
Tiara masih teringat, ketika sebulan sebelumnya ia menerima undangan yang disengaja dikirim lewat ekspedisi. Undangan yang berasal dari Anggara Laksono, seorang milyuner tua pengusaha minyak yang terkenal di negeri ini. Milyuner itu mengirimkan undangan lengkap dengan selembar cek bernilai jutaan rupiah untuk biaya perjalanan ke kediamannya yang terpencil.
Entah apa maksud undangan itu, sampai saat ini Tiara juga belum begitu mengerti. Hanya ada sebuah pesan pendek tertulis dalam undangan itu.
Kami menghargai anda sebagai seorang penulis. Anda adalah satu dari penulis-penulis favorit saya. Suatu kehormatan apabila anda bersedia datang memenuhi undangan saya.
Cukup jelas bahasa undangan itu.
“Kita menunggu Adriana Chen,” ujar Tuan Anggara Laksono.
Adriana Chen? Nama itu juga tak asing di telinga Tiara. Penulis novel ber-genre romantis yang karyanya juga fenomenal, bahkan sebagian sudah dibuat film. Tentu akan menarik apabila pengarang itu bergabung dalam acara ulang tahun misterius ini.
Jadi apa maksud semuanya?
Ia merasa terkepung oleh penulis-penulis novel kelas kakap. Tiara merasa canggung, karena ia hanya penulis kelas remah kue yang omzet penjualan novelnya tak bisa disandingkan dengan mereka. Novel Tiara hanya dipajang di kios-kios kecil, dibaca sambil lalu. Atau bahkan teman nongkrong di toilet!
Tiga puluh menit kemudian, seorang wanita tinggi dengan rambut hitam tergerai dan bermata sipit tiba pula di ruangan itu. Ia memakai mantel bulu yang mahal dan topi lebar. Sangat elegan.
“Aku Adrianna Chen,” sapanya. Senyum misterius tersungging di sudut bibir.
Pak Anggara Laksono bertepuk tangan tiga kali, memberi isyarat kepada pelayan wanita paruh baya untuk menghidangkan makan malam yang terlambat. Satu-persatu makanan mewah disajikan, dengan aroma yang membangkitkan selera.
Sebelum memulai makan malam, Anggara Laksono memeberi sambutan.
“Saya berterima kasih kepada kalian semua yang telah hadir memenuhi undangan di hari ulang tahunku yang ke tujuh puluh tiga. Kalian tahu, beberapa tahun terakhir ini saya menghabiskan waktu dengan membaca. Kalian adalah delapan penulis novel favorit saya...,” ia menghentikan kalimatnya sejenak.
Seorang gadis di sampingnya memberikan segelas air putih.
“Terima kasih, Rani.”
Anggara Laksono menarik napas dalam-dalam.
“Aku mengundang kalian ke sini untuk berlibur menikmati perkebunan teh milikku yang luas. Bersenang-senang, karena itu adalah kebanggaan buatku bisa berkumpul dengan kalian. Aku merasa kesepian karena tinggal sendirian di sini. Hanya ada Helen, yang mengurusi rumah tangga, dan ini adalah Rania, asisten pribadiku.”
Seorang gadis cantik yang duduk di sebelah pak tua itu mengumbar senyum manisnya.
Semua yang hadir masih antusias mendengarkan. Tiara merasa sangat bangga berada di tempat itu. Paling tidak, namanya dapat disejajarkan dengan para penulis lain yang namanya sudah tersohor. Sungguh, ini kesempatan langka baginya. Kesempatan untuk berguru dengan para penulis senior sudah terbayang di depan mata.
****
Acara makan malam berlangsung khidmat. Lezatnya daging sapi yang lembut betul-betul memanjakan lidah para penulis itu. Suara denting sendok beradu dengan piring-piring porselen mahal sesekali dalam jamuan itu.
“Sungguh ini enak sekali, Pak Angga. Rasa steak ini tak ada tandingannya. Semuanya serba sempurna,” puji seorang wanita berambut bluish-black di seberang meja. Hidungnya mancung, berparas sangat cantik layaknya gadis-gadis dari Eropa Timur.
“Dia adalah Karina Ivanova. Pernah dengar?” bisik Cornellio pada Tiara.
Tiara menggeleng.
“Dia penulis novel klasik, percintaan antara pangeran dan putri-putri raja, peperangan dan semacamnya. Tahun lalu, skandal asmara bersama manajernya sendiri terungkap di media. Dia memang cantik kan?”
“Iya. Dia memang sangat cantik,” jawab Tiara sambil melahap potongan-potongan daging yang begitu lembut di lidah.
Tiara sempat menghitung jumlah penulis yang ada di undang di acara ulang tahun ini. Semuanya ada delapan orang termasuk dirinya. Sejauh ini ada empat penulis yang ia ketahui identitasnya.
Menjelang berakhirnya jamuan, dessert yang terasa segar di kerongkongan mulai di hidangkan. Puding beraneka-ragam buah terasa manis menyapu mulut. Ada pula beberapa cakes yang begitu lembut. Semua merasa puas dengan hidangan yang disajikan.
“Helen yang memasak ini semua,” kata Anggara Laksono
Dalam otak Tiara langsung tergambar perempuan paruh baya yang menyambutnya pertama kali. Ia mencoba beradaptasi untuk mengenali lingkungan yang benar-benar baru baginya. Orang-orang di rumah ini terlihat asing, tak ada seorang pun yang ia kenal.
Mungkin hanya Cornellio Syam.
Ketika Helen merapikan sisa-sisa makanan, Pak Tua Anggara Laksono membetulkan letak duduknya. Menatap para penulis satu persatu.
“Aku akan mengutarakan pendapatku mengenai kalian. Yang pertama, aku akan mengulas tulisan Maira Susanti,” mata Anggara menatap tajam ke arah perempuan muda yang duduk di sisi kirinya. Wanita muda itu tersenyum angkuh. Rambutnya tertata rapi, dengan hiasan jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
“Maira Susanti. Siapa yang belum kenal dengannya? Aku suka dengan gaya bahasa dan alur ceritanya tentang petualangan manusia ke planet lain. Dia menggambarkan Planet Mars dengan sangat indah, tidak berkawah-kawah. Penuh dengan rumah kaca yang banyak ditumbuhi bunga-bunga berwarna ungu. Aku suka sekali, Maira.”
“Suatu kebanggaan buat saya,” kata Maira Susanti.
Tiara memang pernah mendengar nama Maira Susanti. Pengarang itu cukup dikenal dengan karyanya yang berjudul Petualangan di Planet Merah. Sebuah novel futuristik yang dikemas dengan bahasa indah.
“Berikutnya adalah novel karya Aldo Riyanda,” tatapan Anggara Laksono beralih ke pria muda tampan yang duduk di sisi kanannya.
Kulitnya bersih, dengan style rambut kekinian. Sungguh sedap dipandang mata.
Tiara juga pernah mendengar nama Aldo Riyanda yang melangang buana di dunia penulis dengan karyanya yang cukup fenomenal. Sang Pejuang, novel yang ditulis Aldo Riyanda pernah menjadi trending topic di kalangan penulis karena gaya bahasanya yang indah, dan ide cerita yang berbeda.
“Aku suka membaca tentang perjuangan seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi orang yang paling tersohor di masyarakat. Dia begitu jenius mempermainkan perasaan pembacanya,” puji Anggara pada Aldo Riyanda.
Pria muda itu tersenyum, dan mengangguk.
Selanjutnya, Anggara Laksono mengulas satu persatu novel yang ditulis oleh masing-masing penulis yang diundang.
Michael Smith Artenton, dengan novel detektifnya yang brillian, mengungkap kasus pembunuhan berantai di Kota New York.
Adrianna Chen, penulis kisah romansa kehidupan rumah tangga yang berliku, sangat memanjakan para pembacanya. Adrianna dengan bahasa yang lugas, menyulap sebuah masalah rumah tangga menjadi begitu epik.
Karina Ivanova, pengarang klasik yang begitu dikenal dalam kisah Gwyneth dan Sang Pangeran, cukup diminati penggemar kisah-kisah fantasi yang bertaburan kisah kurcaci, elf, naga dan penyihir.
Hans Christopher, penulis yang duduk di seberang Tiara, pria berwajah dingin tanpa ekspresi, mengingatkan pada tokoh Edward Cullen dalam film Twilight. Bahkan ketika novelnya dibahas oleh Anggara Laksono, tak secuil senyum ia perlihatkan.
Tiara mendengus.
Mengapa ada orang sedingin ini?
Hans Christopher menulis novel fantasi yang epik. Mitos-mitos Yunani berpadu dengan kehidupan modernitas. Saat Dewa Zeus yang menyamar ke dunia manusia dalam pencariannya terhadap pusaka yang diperebutkan oleh Hera. Novel yang membutuhkan kejelian berpikir.
Pembahasan selanjutnya beralih ke pria yang duduk di samping Tiara.
Cornellio Syam, penulis horror murni yang berkisah tentang dunia ghaib dan seluk-beluknya. Alam arwah yang misterius dan penampakan berupa-rupa hantu yang mengerikan. Karyanya selalu ditunggu para penggemar horror di negeri ini.
“Berikutnya adalah Tiara Laksmi,” Anggara Laksono menatap Tiara dengan tajam. Semua mata tertuju padanya. Mereka memandang heran.
Penulis apakah ini? Bahkan nama Tiara Laksmi tak pernah ada di toko-toko buku? Pikir sebagian besar penulis yang ada sana.
“Dia adalah penulis berbakat. Alurnya bagus, tapi sayang belum dilirik oleh penerbit terkenal. Aku tak sengaja membaca novelnya di sebuah kios buku pinggir jalan. Bahasanya vulgar, tapi cukup menarik ...,” lanjut Anggara Laksono.
Tiara menunduk. Sungguh, ia tak layak berada di tempat ini. Ada beberapa penulis yang memandangnya dengan tatapan melecehkan. Tiara bisa menerima itu. Ia memang bukan siapa-siapa.
“Mengapa Pak Anggara bisa tertarik dengan penulis kelas kacang goreng seperti dia?” tanya Maira Susanti.
“Kelas kacang goreng? Kamu salah, Maira. Dia bukan kacang goreng. Dia adalah sebutir berlian yang belum digosok. Cahayanya yang cemerlang masih terselubung...,” bela Anggara Laksono.
“Kuharap anda tidak salah pilih orang,” ujar Maira Susanti tersenyum culas.
Nyali Tiara Laksmi menciut. Rasa percaya dirinya runtuh berjatuhan, berserakan bak bunga sakura di musim gugur. Walaupun begitu, Tiara bisa menerima. Dibandingkan semua penulis di sini, dia adalah penulis level akar rumput. Novel murahan miliknya dibaca seperempat juta hidung belang di negeri ini. Para sopir, kuli bangunan, pekerja kasar yang ingin memuaskan hasrat hewaniahnya.
Kini, Tiara merasa seperti dikuliti hidup-hidup, dibongkar semua aib yang menyelubunginya. Tatapan mencemooh dari author lain membuat nyalinya makin menyusut. Bagai tikus kecil tersudut di ujung ruangan, terjebak kepungan para kucing!
“Tenanglah. Dia memang penulis yang mempunyai attitude tidak baik,” bisik Cornellio menenangkan.
“Aku nggak apa-apa kok. Terima kasih.”
Malam semakin beranjak larut, tetapi tak ada seorang pun dari mereka yang mengantuk. Mereka masih antusias mendengarkan cerita Anggara Laksono yang misterus. Cangkir-cangkir kopi masih diedarkan.
“Maaf. Aku nggak minum kopi,” tolak Tiara, ketika Cornellio mengulurkan cangkir kopi kepadanya.
“Mengapa?”
“Aku nggak suka kafein,” jawab Tiara.
“Kafein nggak akan memacu hasrat bercintamu,” Cornellio tersenyum nakal.
Tiara gelagapan.
Pak Tua Anggara masih melanjutkan ceritanya. Istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu, tanpa meninggalkan satu keturunan pun. Kanker rahim telah merenggut nyawa wanita cantik yang lukisan dirinya terpajang di ruang tengah. Anggara Laksono menyewa pelukis kenamaan untuk mengabadikan istrinya dalam bingkai pigura yang berukir indah.
Harta Anggara begitu berlimpah, tanpa tahu akan dihibahkan ke siapa apabila dia meninggal. Sehari-hari, dia dilayani oleh Helen, asisten rumah tangga, Rania sang asisten pribadi dan Yoga, seorang tukang kebun. Ia bercerita bahwa ia telah menulis surat wasiat yang telah ditandatangani notaris, tersimpan rahasia di brankas pribadinya.
“Wanita yang cantik. Anastasia ...,” kenang Anggara Laksono.
Ia mengajak para author berkumpul di ruang tengah, dekat perapian, mengamati lukisan besar yang tergantung di sana. Lukisan wanita begitu anggun dengan gaun putih bak busana pengantin.
Mereka menikmati malam yang terasa panjang. Sampai pada akhirnya, Anggara Laksono berpamitan akan beristirahat.
“Antar mereka ke kamar masing-masing Helen. Pastikan besok, mereka bangun dalam keadaan bahagia, dan membawa suasana lain. Besok akan ada kejutan manis buat mereka semua,” ujar Anggara Laksono dengan senyum penuh arti.
Tiara tak dapat menangkap arti di balik senyum itu.
Helen mengantarnya ke sebuah ruangan berpintu merah.
“Semoga istirahatmu menyenangkan,” pesan Helen.
“Terima kasih, Helen.”
-
Malam kian berlanjut larut. Tiara menutup pintu kamar, ingin segera mengistirahatkan raganya yang didera rasa lelah.
***
Tiara tak bisa memejamkan mata. Suasana kamar ini serba asing. Senyap di luar, tak ada suara apa pun, hanya suara ritmis detak jam dinding yang tergantung di dinding. Tak ada interior menarik. Lukisan taman bunga tulip, dengan rumah kincir angin menghias sisi atas tempat tidur. Lemari pakaian kayu, lampu tidur, dan kursi kayu tampak serba kuno. Tiara seperti terlempar di sebuah kastil abad pertengahan.
Kemudian ia berdiri di depan jendela kaca besar yang terhubung dengan area luar. Yang ada hanya kegelapan sejauh mata memandang. Tempat ini memang begitu terpencil. Bahkan tak ada sinyal apa pun yang terdeteksi. Tiara tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang di sini bisa bertahan hidup jauh dari peradaban.
Tok-tok-tok!
Pintu kamarnya diketuk. Tiara memalingkan muka. Selarut ini, siapa yang mengetuk pintu?
Helen?
Agak ragu ia membuka pintu, mendapati seorang pria bertampang dingin tanpa senyum. Tiara segera mengenali si wajah vampire itu. Hans Christopher, penulis yang gemar menceritakan kehidupan dewa-dewi Yunani kuno. Senyumnya begitu dingin di ujung bibir.
“Kamu belum tidur?” tanya Hans.
“Aku nggak bisa tidur. Ada yang bisa kubantu?” jawab Tiara.
“Aku juga nggak bisa tidur. Aku tadi minum dua cangkir kopi. Kafein membuatku mataku susah terpejam. Kurasa aku butuh teman ngobrol malam ini,” ujar Hans. Tatapannya yang setajam elang menusuk tembus sampai ke ulu hati.
“Maaf, tapi kupikir sebaiknya aku sendirian saja,” Tiara hendak menutup pintu, tetapi tangan Hans dengan sigap menahannya.
“Sepuluh menit. Aku janji. Izinkan aku masuk!” pinta Hans.
Tiara tak punya pilihan lain. Hans segera melangkah ke dalam kamar bernuansa suram itu, berjalan berkeliling, kemudian bersandar di dinding sambil menyilangkan lengan.
“Aku menyukai novelmu, sungguh!” kata Hans kemudian.
“Kamu membacanya?” Tiara terkejut. Sama sekali tak masuk dalam otaknya, penulis sekaliber Hans Christopher meluangkan waktu membaca novel murahan miliknya.
“Tidak semua. Mungkin dua atau tiga novel. Pak Anggara benar. Sebenarnya novelmu itu bagus, hanya saja kurang beruntung. Apalagi adegan panasnya sangat vulgar. Kamu sering melakukan itu?”
Deg!
Pertanyaan Hans membuat jantung Tiara berdegup lebih kencang. Sejujurnya, ia merasa kurang nyaman apabila seorang pembaca membahas adegan bercinta yang ia dekripsikan secara gamblang dalam goresan penanya.
“Aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Maaf.”
“Ini menarik. Padahal aku merasakan sensasi yang luar biasa ketika membaca novelmu,” Hans tersenyum penuh arti. Tiara tak berani mengartikan arti senyum itu.
“Maaf kalau itu membuatmu nggak nyaman,” Tiara gelagapan. Ia merasa seperti tenggelam dalam kubangan air tanpa dasar.
“Sebaliknya. Aku sangat menikmatinya.”
“Terima kasih.”
Mata tajam Hans Christopher menyambar tatapan canggung Tiara. Ia mendekati Tiara yang duduk di sisi ranjang. Senyumnya begitu dingin. Tiara merasa sedikit takut.
“Mau merasakan apa yang tertulis dalam novelmu malam ini?” ajak Hans, menyentuh pipi Tiara.
Tiara terperanjat. Sungguh, ia merasa yang dilakukan Hans ini di luar batas. Ia segera berdiri, menepis tangan Hans.
“Maaf, kurasa sudah sepuluh menit kita berbicara. Silakan keluar!” tegas Tiara.
“Bahkan belum ada lima menit kita mengobrol,” kilah Hans.
“Kalau tidak berkeberatan, silakan tinggal kamar saya! Lelah sekali hari ini, dan aku ingin segera beristirahat,” kata Tiara, seraya membuka pintu kamar, mempersilakan Hans untuk keluar.
“Baiklah. Aku keluar. Tapi jika kamu berubah pikiran, kamu tahu harus pergi kemana,” Hans beranjak keluar. Sebelum benar-benar keluar, ia berhenti di hadapan Tiara seraya berbisik lembut di telinganya,” Kamarku ada di ujung lorong ini dan tidak di kunci ....”
“Selamat malam, Hans!”
Sepeninggal Hans, Tiara menghempaskan diri di kasur yang empuk, lembut dan nyaman. Aroma lavender menyergap indera penciumannya. Matanya terpejam, melepaskan penat yang mendera. Ia bawa khayal terbang menuju taman yang dipenuhi bunga lavender yang berwarna ungu. Terbaring di reumputan, menghirup aroma alam yang begitu murni. Diam-diam, satu pertanyaan muncul. Masih tak habis pikir, bagaimana Hans bisa tertarik terhadapnya?
***
Sarapan pagi sudah terhidang tepat pukul tujuh pagi. Sejak dini hari, Helen sudah sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Piring-piring porselen sudah tertata rapi, berdampingan dengan gelas-gelas kristal berisi air putih. Aroma daging bakar berpadu dengan kentang tumbuk, menimbukan aroma yang begitu menggelitik.
Semua tamu sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Tiara mengenakan setelan blus berbunga-bunga, dipadu rok hitam yang elegan. Para wanita lain juga tampak bersinar. Mereka berusaha tampil terbaik, dengan gaun dan riasan terbaik. Para pria tak mau kalah. Tampilan yang elegan sengaja diperlihatkan, bak burung pesolek yang menarik pasangannya. Hans Christopher melirik ke arah Tiara, mencuri sebuah kerling. Tiara memalingkan muka.
Tiga puluh menit berlalu. Para tamu sudah bosan menunggu. Rania juga mulai dilanda gelisah. Sementara, si ratu pesolek Maira Susanti sibuk mematut diri di depan cermin kecil. Sejenak, ia mengeluarkan lipstik dan memoleskan di permukaan bibirnya yang seksi.
Ting-ting-ting!
Cornellio mengetukkan sendok di permukaan gelas kristal untuk mengusir kebosanan.
“Sudah setengah jam kami menunggu,” gusar Michael Smith.
“Pak Anggara tidak pernah seterlambat ini sebelumnya. Maaf,” ujar Rania.
“Mengapa tidak kamu ketuk aja kamarnya untuk mencari tahu?” saran Karina Ivanova, si gadis Eropa Timur.
“Perutku sudah sangat lapar. Kurasa kita harus makan duluan nggak usah nunggu beliau,” kesal Hans Christopher.
“Kita tunggu lima menit lagi, setelah itu aku akan ke atas untuk mengecek beliau,” kata Rania.
Sayangnya, lima menit berlalu, Pak Anggara masih belum menampakkan batang hidungnya. Para tamu semakin gelisah, marasakan rasa lapar yang mencubit-cubit lambung.
“Baiklah, aku akan naik!”
Rania segera bangkit dari tempat duduknya, menuju kamar Pak Anggara yang terletak di lantai tiga, lantai paling atas di rumah ini. Hanya ada dua ruangan di lantai tiga yakni kamar Pak Anggara yang tersambung dengan ruang kerja.
Tak berapa lama, Rania tergopoh-gopoh turun dari tangga dengan wajah cemas.
“Dia tidak ada di kamarnya! ” kata Rania.
“Ada yang lihat nggak pagi ini dia ada di mana?” tanya Aldo Riyanda.
“Mungkin lagi jalan-jalan di taman?” celetuk Adrianna Chen.
“Wah, naluri detektifku mulai menggeliat nih! Kita cari saja. Mungkin dia lagi jalan-jalan di sekitar rumah,” kata Michael Smith bersemangat. Tak heran, novel-novel detektif miliknya sangat digemari khalayak luas. Dia memang cerdas untuk urusan ini.
“ Boleh nggak aku di sini saja dan sarapan duluan? Aku benar-benar nggak tahan!” keluh Cornellio.
“Maaf. Sebaiknya kita temukan Pak Anggara dahulu. Aku khawatir ada apa-apa dengannya. Dia tanggung jawab aku,” kata Rania.
“Oke.Oke. Aku setuju. Mari kita cari dia!” Aldo Riyanda yang mengawali berdiri, diikuti beberapa penulis lain.
Sejujurnya, situasi ini mencemaskan Tiara. Apalagi ketika dilihatnya wajah Rania yang tampak panik. Ia berharap Pak Anggara sedang berjalan-jalan di taman atau tempat sekitar lain rumah.
Rumah ini dikelilingi kebun teh yang luas, mungkin saja Pak Anggara sedang tidak mood untuk sarapa pagi, dan menghabiskan waktu untuk menghirup oksigen di perkebunan.
Semua penghuni rumah mengitari rumah, menyisir dari laintai atas ke lantai bawah. Tiara tak tahu harus kemana. Ia hanya mengikuti langkah penulis lain yang tampak kebingungan juga.
“Cemas?” sapa pria muda tampan yang tiba-tiba berjalan di belakang Tiara.
Oh, Aldo Riyanda.
Ia sedang menyusuri selasar samping rumah yang terhubung dengan halaman belakang.
“Iya, sedikit.”
Tiara canggung berhadapan dengan Aldo Riyanda, penulis yang mempunyai banyak fans perempuan. Ia tampak tampan sekali pagi itu.
“Kuharap pak tua itu baik-baik saja,” kata Aldo.
Tiara tersenyum kecil.
“Aaaaaaahhhh....!!”
Terdengar jeritan wanita yang datang dari halaman belakang, yang berupa beranda luas, dengan gazebo-gazebo peristirahatan, lengkap dengan sebuah kolam renang di tengah-tengah lahan.
Aldo dan Tiara segera berlari ke arah suara jeritan. Terlihat di situ, Adrianna Chen berdiri mematung dengan gemetar. Wajahnya ketakutan sambil menunjuk arah kolam renang.
Tak lama, para penulis lain berdatangan ke halaman belakang.
Sesosok mayat mengapung di tengah kolam!
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!