Tiara tak bisa memejamkan mata. Suasana kamar ini serba asing. Senyap di luar, tak ada suara apa pun, hanya suara ritmis detak jam dinding yang tergantung di dinding. Tak ada interior menarik. Lukisan taman bunga tulip, dengan rumah kincir angin menghias sisi atas tempat tidur. Lemari pakaian kayu, lampu tidur, dan kursi kayu tampak serba kuno. Tiara seperti terlempar di sebuah kastil abad pertengahan.
Kemudian ia berdiri di depan jendela kaca besar yang terhubung dengan area luar. Yang ada hanya kegelapan sejauh mata memandang. Tempat ini memang begitu terpencil. Bahkan tak ada sinyal apa pun yang terdeteksi. Tiara tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang di sini bisa bertahan hidup jauh dari peradaban.
Tok-tok-tok!
Pintu kamarnya diketuk. Tiara memalingkan muka. Selarut ini, siapa yang mengetuk pintu?
Helen?
Agak ragu ia membuka pintu, mendapati seorang pria bertampang dingin tanpa senyum. Tiara segera mengenali si wajah vampire itu. Hans Christopher, penulis yang gemar menceritakan kehidupan dewa-dewi Yunani kuno. Senyumnya begitu dingin di ujung bibir.
“Kamu belum tidur?” tanya Hans.
“Aku nggak bisa tidur. Ada yang bisa kubantu?” jawab Tiara.
“Aku juga nggak bisa tidur. Aku tadi minum dua cangkir kopi. Kafein membuatku mataku susah terpejam. Kurasa aku butuh teman ngobrol malam ini,” ujar Hans. Tatapannya yang setajam elang menusuk tembus sampai ke ulu hati.
“Maaf, tapi kupikir sebaiknya aku sendirian saja,” Tiara hendak menutup pintu, tetapi tangan Hans dengan sigap menahannya.
“Sepuluh menit. Aku janji. Izinkan aku masuk!” pinta Hans.
Tiara tak punya pilihan lain. Hans segera melangkah ke dalam kamar bernuansa suram itu, berjalan berkeliling, kemudian bersandar di dinding sambil menyilangkan lengan.
“Aku menyukai novelmu, sungguh!” kata Hans kemudian.
“Kamu membacanya?” Tiara terkejut. Sama sekali tak masuk dalam otaknya, penulis sekaliber Hans Christopher meluangkan waktu membaca novel murahan miliknya.
“Tidak semua. Mungkin dua atau tiga novel. Pak Anggara benar. Sebenarnya novelmu itu bagus, hanya saja kurang beruntung. Apalagi adegan panasnya sangat vulgar. Kamu sering melakukan itu?”
Deg!
Pertanyaan Hans membuat jantung Tiara berdegup lebih kencang. Sejujurnya, ia merasa kurang nyaman apabila seorang pembaca membahas adegan bercinta yang ia dekripsikan secara gamblang dalam goresan penanya.
“Aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Maaf.”
“Ini menarik. Padahal aku merasakan sensasi yang luar biasa ketika membaca novelmu,” Hans tersenyum penuh arti. Tiara tak berani mengartikan arti senyum itu.
“Maaf kalau itu membuatmu nggak nyaman,” Tiara gelagapan. Ia merasa seperti tenggelam dalam kubangan air tanpa dasar.
“Sebaliknya. Aku sangat menikmatinya.”
“Terima kasih.”
Mata tajam Hans Christopher menyambar tatapan canggung Tiara. Ia mendekati Tiara yang duduk di sisi ranjang. Senyumnya begitu dingin. Tiara merasa sedikit takut.
“Mau merasakan apa yang tertulis dalam novelmu malam ini?” ajak Hans, menyentuh pipi Tiara.
Tiara terperanjat. Sungguh, ia merasa yang dilakukan Hans ini di luar batas. Ia segera berdiri, menepis tangan Hans.
“Maaf, kurasa sudah sepuluh menit kita berbicara. Silakan keluar!” tegas Tiara.
“Bahkan belum ada lima menit kita mengobrol,” kilah Hans.
“Kalau tidak berkeberatan, silakan tinggal kamar saya! Lelah sekali hari ini, dan aku ingin segera beristirahat,” kata Tiara, seraya membuka pintu kamar, mempersilakan Hans untuk keluar.
“Baiklah. Aku keluar. Tapi jika kamu berubah pikiran, kamu tahu harus pergi kemana,” Hans beranjak keluar. Sebelum benar-benar keluar, ia berhenti di hadapan Tiara seraya berbisik lembut di telinganya,” Kamarku ada di ujung lorong ini dan tidak di kunci ....”
“Selamat malam, Hans!”
Sepeninggal Hans, Tiara menghempaskan diri di kasur yang empuk, lembut dan nyaman. Aroma lavender menyergap indera penciumannya. Matanya terpejam, melepaskan penat yang mendera. Ia bawa khayal terbang menuju taman yang dipenuhi bunga lavender yang berwarna ungu. Terbaring di reumputan, menghirup aroma alam yang begitu murni. Diam-diam, satu pertanyaan muncul. Masih tak habis pikir, bagaimana Hans bisa tertarik terhadapnya?
***
Sarapan pagi sudah terhidang tepat pukul tujuh pagi. Sejak dini hari, Helen sudah sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Piring-piring porselen sudah tertata rapi, berdampingan dengan gelas-gelas kristal berisi air putih. Aroma daging bakar berpadu dengan kentang tumbuk, menimbukan aroma yang begitu menggelitik.
Semua tamu sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Tiara mengenakan setelan blus berbunga-bunga, dipadu rok hitam yang elegan. Para wanita lain juga tampak bersinar. Mereka berusaha tampil terbaik, dengan gaun dan riasan terbaik. Para pria tak mau kalah. Tampilan yang elegan sengaja diperlihatkan, bak burung pesolek yang menarik pasangannya. Hans Christopher melirik ke arah Tiara, mencuri sebuah kerling. Tiara memalingkan muka.
Tiga puluh menit berlalu. Para tamu sudah bosan menunggu. Rania juga mulai dilanda gelisah. Sementara, si ratu pesolek Maira Susanti sibuk mematut diri di depan cermin kecil. Sejenak, ia mengeluarkan lipstik dan memoleskan di permukaan bibirnya yang seksi.
Ting-ting-ting!
Cornellio mengetukkan sendok di permukaan gelas kristal untuk mengusir kebosanan.
“Sudah setengah jam kami menunggu,” gusar Michael Smith.
“Pak Anggara tidak pernah seterlambat ini sebelumnya. Maaf,” ujar Rania.
“Mengapa tidak kamu ketuk aja kamarnya untuk mencari tahu?” saran Karina Ivanova, si gadis Eropa Timur.
“Perutku sudah sangat lapar. Kurasa kita harus makan duluan nggak usah nunggu beliau,” kesal Hans Christopher.
“Kita tunggu lima menit lagi, setelah itu aku akan ke atas untuk mengecek beliau,” kata Rania.
Sayangnya, lima menit berlalu, Pak Anggara masih belum menampakkan batang hidungnya. Para tamu semakin gelisah, marasakan rasa lapar yang mencubit-cubit lambung.
“Baiklah, aku akan naik!”
Rania segera bangkit dari tempat duduknya, menuju kamar Pak Anggara yang terletak di lantai tiga, lantai paling atas di rumah ini. Hanya ada dua ruangan di lantai tiga yakni kamar Pak Anggara yang tersambung dengan ruang kerja.
Tak berapa lama, Rania tergopoh-gopoh turun dari tangga dengan wajah cemas.
“Dia tidak ada di kamarnya! ” kata Rania.
“Ada yang lihat nggak pagi ini dia ada di mana?” tanya Aldo Riyanda.
“Mungkin lagi jalan-jalan di taman?” celetuk Adrianna Chen.
“Wah, naluri detektifku mulai menggeliat nih! Kita cari saja. Mungkin dia lagi jalan-jalan di sekitar rumah,” kata Michael Smith bersemangat. Tak heran, novel-novel detektif miliknya sangat digemari khalayak luas. Dia memang cerdas untuk urusan ini.
“ Boleh nggak aku di sini saja dan sarapan duluan? Aku benar-benar nggak tahan!” keluh Cornellio.
“Maaf. Sebaiknya kita temukan Pak Anggara dahulu. Aku khawatir ada apa-apa dengannya. Dia tanggung jawab aku,” kata Rania.
“Oke.Oke. Aku setuju. Mari kita cari dia!” Aldo Riyanda yang mengawali berdiri, diikuti beberapa penulis lain.
Sejujurnya, situasi ini mencemaskan Tiara. Apalagi ketika dilihatnya wajah Rania yang tampak panik. Ia berharap Pak Anggara sedang berjalan-jalan di taman atau tempat sekitar lain rumah.
Rumah ini dikelilingi kebun teh yang luas, mungkin saja Pak Anggara sedang tidak mood untuk sarapa pagi, dan menghabiskan waktu untuk menghirup oksigen di perkebunan.
Semua penghuni rumah mengitari rumah, menyisir dari laintai atas ke lantai bawah. Tiara tak tahu harus kemana. Ia hanya mengikuti langkah penulis lain yang tampak kebingungan juga.
“Cemas?” sapa pria muda tampan yang tiba-tiba berjalan di belakang Tiara.
Oh, Aldo Riyanda.
Ia sedang menyusuri selasar samping rumah yang terhubung dengan halaman belakang.
“Iya, sedikit.”
Tiara canggung berhadapan dengan Aldo Riyanda, penulis yang mempunyai banyak fans perempuan. Ia tampak tampan sekali pagi itu.
“Kuharap pak tua itu baik-baik saja,” kata Aldo.
Tiara tersenyum kecil.
“Aaaaaaahhhh....!!”
Terdengar jeritan wanita yang datang dari halaman belakang, yang berupa beranda luas, dengan gazebo-gazebo peristirahatan, lengkap dengan sebuah kolam renang di tengah-tengah lahan.
Aldo dan Tiara segera berlari ke arah suara jeritan. Terlihat di situ, Adrianna Chen berdiri mematung dengan gemetar. Wajahnya ketakutan sambil menunjuk arah kolam renang.
Tak lama, para penulis lain berdatangan ke halaman belakang.
Sesosok mayat mengapung di tengah kolam!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
apalagi hidangannya cukup menggoda sekali
2024-01-14
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
iuuuhhhh kalau bertemu orang macam begini rasanya bakal merinding disco😂
2024-01-14
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
ohhh pertanyaanmu terlalu barbar😣
2024-01-14
0