Yang dimaksud dengan ruang santai adalah sebuah ruangan luas dengan aksen Eropa, lengkap dengan perapian. Seperangkat sofa bermotif klasik berada di tengah ruangan, bersebelahan dengan mini bar yang begitu mewah. Lukisan-lukisan abstrak tergantung di dinding, berdampingan dengan hiasan-hiasan yang dikumpulkan dari berbagai belahan dunia.
Tiara mendapati ruangan itu masih sepi ketika ia bersua. Dilihatnya Aldo Riyanda sudah duduk nyaman di sofa menyantap sebuah majalah dengan tenang, tanpa menyadari kehadiran Tiara.
“Lagi menunggu?” sapa Tiara.
“Tiara? Oh iya. Mereka bilang sesudah makan siang,” Aldo Riyanda menutup majalahnya.
“Apa yang kamu baca?” tanya Tiara.
“National Geographic. Menelisik kebudayaan Mesir kuno yang menakjubkan, dan membongkar makam-makam Firaun yang ada di dalam piramid,” kata Aldo Riyanda.
“Aku tidak terlalu suka sejarah. Nilai sejarahku buruk. Jangankan Mesir kuno, sejarah negeri ini saja banyak yang belum kupahami,” ucap Tiara.
“Belajar sejarah sangat menarik. Peristiwa-peristiwa di masa lampau akan menjadi refleksi banyak kejadian di masa kini. Bahkan akan terasa menjadi semacam deja vu. Manusia perlu mempelajari sejarah, agar bisa belajar,” terang Aldo Riyanda.
Dalam hati Tiara, ia sangat mengagumi pria muda ini. Wawasannya begitu luas. Tiara terasa bagai setetes air di gejolak samudra. Sorot mata Aldo Riyanda menyiratkan bahwa dia adalah sosok yang cerdas.
Tak lama, para penulis lain mulai berdatangan ke ruang santai. Sesuai kesepakatan, mereka akan berkumpul untuk melakukan penyelidikan awal terbunuhnya Anggara Laksono di hari ulang tahunnya. Semua berkumpul, mengambil tempat duduk yang tersebar di seluruh ruangan. Bahkan Rania yang juga tampak hadir.
Rania, yang sebelumnya tampak shock kehilangan tuannya, siang ini dia tampil lebih segar dengan blus berbunga-bunga dan rok A-line warna hitam. Senyumnya terkembang, walau masih menyisakan sedikit kepedihan di hati.
“Ada yang belum hadir?” tanya Michael Smith.
Hanya dia satu-satunya yang berdiri di ruangan itu. Matanya menyapu berkeliling, menatap satu-persatu setiap yang hadir.
“Baik, kukira semua telah hadir. Masing-masing tolong sampaikan apa yang kalian lakukan sepanjang malam hingga pagi menjelang. Ingat sampaikan dengan jujur! Aku bisa mencium kebohongan kalian,”
Michael Smith mengambil tempat di kursi tinggi mini-bar, kemudian menyiapkan sebuah buku kecil untuk mencatat hal-hal yang sekiranya penting. Sekilas, tak ada yang menyangka bahwa dia adalah seorang penulis novel. Lagaknya bak seorang detektif profesional.
“Dimulai dari siapa?” tanya Aldo Riyanda.
“Ladies first maybe ...,” ujar Hans Christopher.
Semua saling berpandangan, saling menunggu mengeluarkan suara.
“Baiklah. Aku duluan. Selepas makan malam, aku langsung ke kamar dan tidur. Tak ada apa pun yang kulakukan. Juga tak kudengar sesuatu yang misterius malam itu,” kata Maira Susanti.
“Kamu yakin hanya itu yang kamu lakukan?” tiba-tiba tatapan Hans menusuk Maira Susanti. Wanita muda itu sedikit gugup melihat tatapannya.
“Iya. Tak ada yang lain,” jawab Maira Susanti lagi.
“Kamu melupakan sesuatu yang penting, Maira,” Hans Christopher tersenyum penuh arti.
“Aku nggak ngerti maksudmu, Hans!”
“Baiklah, akan kuperjelas. Malam itu aku juga nggak bisa tidur, dan aku memutuskan untuk mencari teman ngobrol. Tetapi aku bingung, aku mengajak siapa. Jadi kuputuskan untuk mengobrol bersama Tiara Laksmi. Betul begitu, Tiara?” si wajah vampire itu mengalihkan pandangan ke arah Tiara.
Karena tidak siap sebelumnya, Tiara sedikit terkejut namanya disebut.
“Eh, iya. Hans sempat mengobrol bersamaku di dalam kamar,” jawab Tiara ragu-ragu.
“Kamu yakin hanya mengobrol?” selidik Maira Susanti.
Tiara mengangguk cepat.
“Oke. Kami hanya mengobrol sebentar. Kemudian aku putuskan untuk keluar kamar dan mengunjungi kamar Maira. Kamu ingat itu, Maira?” kini tatapan Hans beralih ke arah Maira.
“Hmm. Ya tentu saja aku ingat,” jawab Maira takut-takut.
“Dan kamu masih ingat saat kamu terbaring telanjang di sampingku?” ucap Hans menusuk.
Seketika, semua yang ada di ruangan itu menahan napas. Wajah Maira Susanti memucat dipermalukan di depan para penulis lain. Ia hanya terdiam. Mulutnya terkunci rapat, tanpa sepatah kata terucap.
“Cukup!” potong Michael Smith. Ia menambahkan,” Kita tidak sedang membicarakan urusan privasi seseorang. Siapapun yang kamu tiduri malam itu adalah urusanmu, Hans!”
“Oke. Aku hanya menyampaikan alibiku kok,” Hans tersenyum puas.
Tiara menahan napas. Ia bersyukur, Hans tidak menjamahnya malam itu. Bisa-bisa ia akan ditelanjangi pula di ruangan ini.
“Berikutnya?” tanya Michael Smith.
Suasana mendadak hening. Mata Michael menelusuri setiap orang yang ada di situ. Saling menunggu.
“Karina? Bukankah kita bertemu di dapur malam itu?” tanya Michael.
“Iya. Sebenarnya aku sangat haus malam itu, karena di kamarku agak panas. Jadi aku ke dapur untuk mengambil segelas minuman dingin. Tetapi tak kudengar apapun yang mencurigakan. Aku pikir, semua sudah tidur karena lelah,” terang Karina.
“Lalu apa pula yang kamu lakukan malam itu, Michael?” tanya Cornellio.
“Malam itu aku tak bisa tidur. Kalian boleh percaya atau tidak, aku mendengar teriakan. Aku pikir itu suara binatang, tetapi baru aku sadari itu adalah suara yang menjerit kesakitan. Rasa penasaran, membuatku ingin keluar kamar, dan sesampai di dapur aku bertemu dengan Karina,” ucap Michael.
“Tapi aku nggak dengar suara apapun malam itu!” tegas Karina.
“Satu lagi yang perlu kalian tahu, yang menancap di dada Pak Anggara itu bukan belati, melainkan pisau dapur biasa. Seseorang telah menyelinap ke dapur dan mengambil pisau untuk menghabisi pak tua yang malang itu,” ulas Michael.
Semuanya masih terdiam, mendengar penjelasan Michael. Siang jadi terasa agak gerah. Penjelasan Michael mengubah suasana menjadi agak tegang. Masing-masing penulis itu larut dalam pikirannya sendiri.
“Kalau begitu coret saja namaku dari daftar pembunuhnya, bahkan letak dapur saja aku nggak tahu!” ujar Aldo Riyanda.
“Tadi pagi, Helen mendatangiku. Dia melaporkan bahwa tidak hanya satu pisau dapur yang hilang. Tetapi seperangkat pisau! Itu artinya, pisau itu masih disimpan oleh si pembunuh entah di mana. Keberatan jika aku memeriksa kamar kalian satu persatu?” tanya Michael lagi.
“Kamu boleh mengobrak-abrik kamarku kapan pun kamu mau,” goda Maira Susanti sambil menggigit bibir bawahnya.
Tak ada seorang pun yang peduli.
“Oke. Ada lagi yang ingin menyampaikan alibinya?” tawar Michael.
“Jujur, aku malam itu sedang berjalan-jalan ke taman depan,” ujar Cornellio Syam kemudian.
“Apa yang kamu lakukan di sana?” selidik Michael.
“Aku merasa bosan berada di dalam kamar, kemudian kuputuskan untuk mencari angin di taman. Sepi sekali. Sebenarnya, aku juga mendengar teriakan itu menjelang pagi. Tetapi sama sekali tak kupedulikan, karena kupikir itu halusinasi semata,” kata Cornellio.
“Ada lagi? Adrianna? Aldo?”
Secara serentak kedua penulis yang ditanya itu menggeleng.
“Aku cepat tidur malam itu,” jawab Adrianna cepat.
“Aku juga!” sambung Aldo.
“Oke, kita mulai penggeledehan kamar dari kamar atas!”
Semua setuju dengan keputusan itu. Untuk menjaga kenetralan, mereka memeriksa kamar secara bersama-sama, agar tidak ada kesempatan si empunya kamar menyembunyikan sesuatu.
Mereka menelisik dari kamar satu ke kamar lain. Setiap celah dan lemari mereka periksa satu-persatu, bahkan kopor juga dibongkar. Namun dari beberapa kamar mereka masih belum menemukan barang yang mencurigakan.
Agar berjalan cepat, mereka membagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah Aldo, Tiara, Cornellio, dan Karina. Sedangkan kelompok kedua dipimpin langsung oleh Michael, Hans, Maira dan Adrianna.
“Sepertinya pembunuh itu cerdas. Ia tidak mungkin menyembunyikan pisau dalam kamar!” kata Aldo. Saat ini mereka sedang memeriksa kamar Hans. Sama seperti kamar lainnya, dekorasi kamar ini juga terasa kuno dan menyeramkan.
“Tak ada yang mencurigakan di sini, kecuali ini...,” Cornellio tiba-tiba meletakkan tiga buah majalah bergambar wanita telanjang di kasur.
“Majalah porno?” tanya Aldo.
“Siapa sangka pria berwajah vampire itu berotak sangat mesum!” gelak Cornellio.
“Kukira dia akan senang membaca novelmu,” ujar Karina sambil melirik ke arah Tiara.
Tiara hanya terdiam. Saat ini tak ada apapun yang tersimpan dalam benaknya. Ia hanya mengikuti proses penggeledehan itu dengan was-was.
Tiba-tiba, Michael menghambur masuk ke dalam kamar Hans, sambil membawa seperangkat pisau dapur yang telah dicari-cari.
“Ketemu!” kata Michael. Ia mengangkat beberapa buah pisau dapur yang telah dimasukkan dalam wadah plastik bening.
“Di mana?” tanya Aldo.
“Di kamar Tiara Laksmi!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
waduhhh tiara
2024-01-14
0
IG: _anipri
Hans emang kek gitu deh keknya. wkwkwk
2023-01-04
0
IG: _anipri
punya siapa tuh?
2023-01-04
0