Tiara Laksmi berdiri tercekat. Semua mata menatap tajam, bak puluhan pisau menusuk jantungnya. Paras gadis itu berubah cemas. Ia menggeleng cepat.
Semua seolah menghakimi, bahwa dia yang telah mencuri pisau dari dapur untuk menghabisi Anggara Laksono! Ia merasa bagai seekor antelop kecil yang dikepung kawanan singa di sabana Afrika!
“Aku sama sekali tidak tahu-menahu masalah ini!” ujar Tiara dengan gugup. Sepercik keringat dingin mulai menetes di dahinya. Kadang ia tak mampu mengendalikan emosi dengan baik.
“Bagaimana bisa kamu mengelak? Bukti sudah kami dapatkan di kamarmu. Bagaimana bisa kamu bilang bahwa kamu bukan pembunuhnya?” cecar Maira tajam.
“Aku nggak tahu bagaimana bisa pisau-pisau itu ada di kamarku. Sungguh!” Tiara Laksmi membela diri.
“Jadi siapa? Kamu pikir, pisau-pisau itu bisa berjalan sendiri ke kamarmu?” serang Maira membabi-buta.
“Aku juga nggak tahu! Mungkin seseorang telah menaruh pisau-pisau itu di kamarku!”
“Kamu menuduhku?” berang Maira.
“Cukup! Tak perlu lagi kalian berdebat! Aku rasa terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa pembunuhnya adalah Tiara Laksmi. Keberadaan pisau di kamarnya tak bisa dijadikan bukti kuat. Karena siapa saja bisa saja menyelinap ke sana dan meletakkan pisau-pisau itu!” kata Cornellio menengahi.
“Jadi bagaimana? Apakah kita biarkan dia berkeliaran begitu saja?” tanya Maira.
“Kita tidak bisa menahannya tanpa bukti kuat!”
“Baiklah. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Berdiam diri?” Hans menambahkan.
“Oke. Kita lupakan masalah pisau itu. Tapi tetap akan kujadikan catatan bahwa di kamar Tiara terdapat pisau-pisau yang diduga menjadi alat pembunuhan. Aku akan menyelidiki kolam renang dan sekitarnya, tempat korban ditemukan. Kalau kalian lelah, kalian bisa beristirahat. Ada yang mau menemani aku?” tawar Michael Smith.
“Aku ikut!” kata Aldo Riyanda.
“Aku juga! Kasus ini sangat menarik buat aku. Siapa tahu setelah ini aku akan tertarik menulis novel detektif sepertimu!” ujar Karina Ivanova.
“Kamu akan menjadi saingan terberatku, Karin,” balas Michael Smith.
Karena sebagian penulis merasa lelah, mereka memilih untuk beristirahat. Hari sudah menjelang sore. Lampu malam mulai dinyalakan, ketika Michael, Aldo dan Karina bergegas menuju kolam renang.
Sementara, Tiara masih merasa terpukul dengan tuduhan yang di alamatkan pada dirinya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seseorang menaruh seperangkat pisau dalam kamarnya? Apalagi semua mengecap dirinya adalah pembunuh yang sengaja mencuci tangan dari kasus ini.
“Mari minum teh, agar kamu sedikit tenang,” ajak Adrianna Chen.
Tiara menatap mata wanita cantik itu seolah tak percaya. Selama ini tak seorang pun yang peduli padanya. Ajakan Adrianna membuat perasaan lega. Ia berharap secangkir teh melati akan menghempaskan pikiran buruk yang bercokol di pikirannya.
“Ibuku bilang, teh sangat baik diminum untuk menenangkan pikiran. Bangsa China sudah bertahun-tahun membuktikannya,” lanjut Adrianna Chen.
“Baik. Kita minum di ruang tengah atau...?”
“Bagaimana kalau di kursi taman depan, sambil kamu mengajariku menulis cerita bertemakan ranjang?”
Adrianna Chen tersenyum. Tiara Laksmi sedikit tersipu. Seorang penulis terkenal hendak belajar masalah ranjang kepadanya?
Yang benar saja!
***
"Kalian sudah menemukan yang aneh? " ujar Michel sambil berjalan berkeliling kolam renang.
"Kurasa Pak Anggara diserang saat dia tidak siap. Mereka sempat bercakap-cakap sebelum pembunuhan itu terjadi, " sambut Aldo.
"Dari mana kamu tahu?
"Kalian bisa lihat ada bekas minuman di gazebo, Pak Anggara sempat minum teh sebelum pembunuhan itu terjadi, " terang Aldo.
"Jangan-jangan kamu sengaja membelokkan fakta?" tuduh Michael.
"Aku tidak punya kepentingan apapun untuk membunuh pak tua itu!” Aldo membela diri.
“Semua juga berkata itu! Kita semua juga tak ada kepentingan di sini selain menghadiri ulang tahun Pak Anggara kan? Yang jelas, tak ada seorang pembunuh pun yang suka apabila identitasnya mulai dikuak,” tandas Michael.
“Ya, aku sadar masing-masing dari kita adalah tersangka pembunuhan. Tetapi kurasa yang diucapkan Aldo ada benarnya. Kurasa tak ada perlawanan saat pembunuh itu menusuk dada Pak Anggara. Untuk memastikannya, mungkin kita bisa mengecek kondisi mayat itu di ruang bawah tanah?” usul Karina.
“Aku juga punya pikiran begitu. Kita akan cek luka yang ada di tubuh Anggara Laksono, apakah di sana ada tanda-tanda penganiayaan lain. Tapi kita akan butuh ahli forensik untuk ini,” ujar Michael.
“Aku tahu sedikit ilmu forensik. Ayo cepat! Sebelum mayat itu rusak!” ujar Aldo Riyanda.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang penulis itu bergegas menuju dapur. Seperti biasa, sebelum masuk ruang bawah tanah, mereka harus membuka sebuah tingkap di lantai.
Setelah tingkap terbuka, mereka perlahan menuruni tangga menuju bawah. Pengap masih menyapa, bahkan kini bercampur aroma aneh. Kondisi mayat yang disimpan di sana mulai mengeluarkan aroma tak sedap. Karina merasa mual mencium aroma yang seolah mengaduk isi lambungnya.
“Aku sangat trauma berada di sini. Aromanya membuatku ingin muntah,” ujar Karina sambil menutup hidungnya.
“Aku juga merasa ada sesuatu yang jahat di ruangan ini. Auranya begitu terasa,” tambah Aldo Riyanda.
“Kalau kalian tak suka, biar aku sendiri yang memeriksa mayat itu! Aku nggak butuh anak-anak manja seperti kalian!” keluh Michael Smith kesal.
“Itu artinya kami akan membiarkanmu menyembunyikan fakta! Ingat, di sini kamu bukan detektif sungguhan. Kamu juga sama dengan kami, sama-sama tersangka pembunuhan. Apapun yang kamu lakukan, kami juga harus tahu.” kata Aldo Riyanda.
“Aku paham itu, anak muda!”
“Lagipula kamu akan membutuhkanku. Aku mengerti sedikit tentang ilmu kedokteran dan forensik,” lanjut Aldo.
“Maksudmu, kamu pernah belajar mengenai itu?”
“Sebelum aku menjadi penulis, aku kuliah di fakultas kedokteran. Paling tidak aku mengerti sedikit anatomi manusia daripada dirimu,” ucap Aldo Riyanda.
“Wow hebat! Aku selalu terangsang melihat pria dengan pakaian putih!” goda Karina Ivanova.
“Ini bukan saatnya bercanda!” potong Aldo Riyanda.
“Aku kadang mempelajari ilmu anatomi dari membaca banyak sumber di internet, untuk riset beberapa novelku,” kata Michael.
Mereka tiba di depan bilik dalam ruangan bawah tanah. Aldo dan Michael segera masuk, membuka bungkusan plastik yang berisi tubuh kaku Anggara Laksono. Sementara Karina merasa bergidik. Ia lebih memilih menunggu di luar bilik.
“Aku akan melihat-lihat tempat ini, sementara kalian memeriksa!” ujar Karina.
Dua orang pria tampak mulai sibuk meneliti kondisi mayat, sedangkan Karina berjalan perlahan meninggalkan mereka. Perlahan ia langkahkan kaki untuk melihat bilik demi bilik yang ada di ruang bawah tanah. Kesan angker terasa begitu kental, ditambah penerangan yang sangat terbatas. Karina merasa degup jantungnya semakin berpacu. Aroma kengerian di masa lampau tergambar di ruangan bawah tanah ini! Borgol, rantai, pisau dan cambuk telah menceritakan segalanya.
Sesuatu menarik perhatian Karina, ketika ia melihat sebuah bilik yang agak berbeda dengan bilik lain. Hanya bilik itu satu-satunya yang mempunyai pintu besi. Di dalamnya dipenuhi buku-buku tua yang disusun dalam rak tua. Ada meja kursi usang pula tersimpan di sana. Keingin tahuan yang besar, membuat Karina masuk, untuk membuka buku-buku tua yang tertumpuk di atas meja.
Aroma pengap menguar ketika Karina membuka salah satu buku tebal. Kertasnya lapuk termakan zaman. Buku-buku yang tak ia mengerti isinya, karena menggunakan huruf yang tak ia pahami. Hanya gambar-gambar saja yang berbicara. Gambar-gambar sosok manusia yang disiksa, dengan tangan dibelenggu, kemudian dicambuk. Di lembaran lain, bahkan ia melihat gambar manusia yang tergantung terbalik, kemudian ada yang memotong lehernya ....
Kegilaan macam apa ini?
Karina tak sanggup melihat lebih lanjut. Kengerian segera menyeruak. Ia tak tahu apa hubungan gambar-gambar itu, dengan ruangan bawah tanah ini. Hanya saja, ia melihat ruangan bawah tanah ini disusun mirip sekali dengan ruang penyiksaan seperti yang tertuang dalam buku.
Untuk mengurangi rasa takut, Karina memilih buku lain untuk dibaca. Karina baru membuka halaman pertama, ketika ia merasa bulu kuduknya merinding. Sebuah buku yang ditulis menggunakan tulisan tangan. Sebuah buku harian tua bersampul usang dengan inisial AP tertoreh di situ.
Tak jelas siapa penulisnya
Blaaam!
Tiba-tiba pintu besi bilik seperti ada yang membanting, menutup seketika. Rasa takut mulai merayapi perasaannya. Ia berusaha membuka pintu, namun sia-sia. Pintu itu seakan tak bergerak.
“Sial! Aku terkunci!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 390 Episodes
Comments
Yinzie
bacanya jdi keinget scene di filn sikopet, tu cwk digantung terbalik hidup², trus ditelanjangi dn dibelah dri bagian 'itunya' smpe dada, ngerii
2024-12-03
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● °°~°°Dita Feryza🌺
cukup menarik 🤭
2024-01-14
0
Ocha Lanuru
thor mkn apa seh????
koq tulisannya serasa nyata gt
2023-07-15
0