Aku dan suamiku saling lempar pandangan, aku melihat di matanya banyak kebencian saat melihatku. Aku tidak ingin menatapnya terlalu lama atau dia akan kehilangan selera makannya.
Untuk mencairkan suasana hening yang menyelimuti kami setiap harinya, aku berusaha lagi memperlakukan suamiku dengan baik. Kuambil piring makan di depannya, dia segera membuang muka dari hadapanku lalu aku mengambilkannya nasi goreng.
"Kau mau ayam gorengnya?" tanyaku lembut.
"Tidak mau." jawabnya ketus tanpa melihatku.
Ya sudah dia tidak mau, aku mengerti mungkin dia marah, aku pun meletakkan piring yang sudah berisi nasi goreng ke hadapannya lagi.
"Sudah kubilang aku tidak mau." bentaknya masih dengan sikap yang tidak mau melihatku, prakkk... tiba-tiba Devan mengayunkan tangan menangkis dengan kuat tanganku hingga piring itu terlempar dari tanganku melayang jatuh dan pecah ke lantai.
Aku terkejut mendapat perlakuan kasar darinya, dia tidak hanya memecahkan piring tapi membuang makanan secara cuma-cuma.
Devan berdiri serta diam tanpa ada rasa bersalah. Aku berlari ke sisinya untuk memungut kepingan piring itu agar kakinya tidak terluka jika dia menginjak lantai.
"Kenapa kau memecahkannya semua barang di rumah ini pembelian dari mama, kita tidak punya apa-apa Dev." ujarku sambil menahan air mataku dan mulai berjongkong di depannya.
Ku ambil satu persatu serpihan kaca piring tersebut dengan berhati-hati agar tanganku tidak terluka, namun meski sudah berhati-hati tetap saja serpihan kacanya membuat tanganku berdarah mungkin karna aku terlalu gugup dan sehingga tanganku ikut terluka.
settts... aku menggigit bibir bawahku mendesis menahan rasa sakit karna terasa perih di tanganku, aku mendongak ke atas sesaat Devan seperti memperhatikanku, tapi begitu aku melihat dirinya secepat mungkin dia memalingkan wajahnya dari hadapanku.
Kubiarkan serpihan itu tetap berserakkan di lantai karna aku tidak bisa memungutnya dalam kondisi terluka. Aku harus mengobati lukanya setelah itu aku akan membersihkannya.
"Kau mau kemana? bersihkan ini dulu." kata Devan saat aku berjalan untuk mengambil obat.
Aku menghentikan langkahku untuk mendengarkannya.
"Kau tidak terluka kau bisa bersihkan sendiri, jika menungguku maka bisa saja kau akan ikut terluka." sahutku dengan ketus. Aku berusaha tegar saat bicara padanya, aku tidak ingin dia menganggapku wanita yang lemah yang selalu mau mengalah.
Aku pun melangkah kembali dia masih memanggilku dan menolak untuk membersihkannya, tapi kali ini aku tidak memperdulikannya karna aku hanya akan peduli pada lukaku sendiri. Jika dia tidak ingin terluka sepertiku maka aku biarkan saja dia membersihkannya, sudah cukup segala penderitaanku. Begitu banyak penderitaan yang dia berikan kepada.
Lukaku bahkan belum sembuh, sekarang dia menambah luka lainnya, rohani dan jasmaniku semuanya mendapat luka yang perih karna dirinya, dia manusia tapi seperti sebuah robot yang bergerak namun tak punya perasaan.
Setelah aku mengikat sendiri tanganku dengan perban, aku kembali ke dapur saat sampai di depan pintu aku berhenti dan segera menyembunyikan diriku.
Sikap Devan kali ini berhasil membuatku sedikit tersenyum sampai aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Aku melihat Devan membersihkan serpihan piring yang pecah tadi, melihatnya seperti ini aku merasa dia mulai kembali mendengarkanku, itu tandanya dia takut untuk terluka seperti diriku. Biarkan saja dia seperti itu aku tidak akan mengganggunya atau dia akan berhenti dari pekerjaannya dan kembali memarahiku.
Saat dia selesai membuang serpihan piring ke dalam tong sampah yang ada di dapur, aku segera berlari ke ruang tamu dan duduk di sana. Aku bisa mendengar suara langkah kakinya membuatku secepat mungkin melepas perban di tanganku lalu menyembunyikannya di bawah pantatku. Aku pura-pura kesakitan, aku ingin melihatnya bagaimana reaksi suamiku yang tidak punya perasaan itu saat melihatku menjerit kesakitan.
Dia berhanti tidak jauh dari sofa di ruang tamu sambil sesekali curi pandang ke arahku, aku sengaja tidak memanggilnya aku ingin dia yang mendekatiku lalu bertanya kepadaku.
Aku menghitung dalam hati 1 sampai 3 dan setelah hitunganku habis dia langsung mendekatiku. Aku tidak menoleh ke arahnya yang berada tepat di depanku, aku hanya melihat tanganku, sengaja aku bersikap cuek kepadanya.
Kau mendekat berarti di hatimu masih ada rasa peduli terhadapku.
"Sepertinya luka itu cukup parah." katanya, memang benar luka serpihan piring itu cukup dalam menancap di tanganku sampai darahnya masih menetes meski tadi aku sudah mengobatinya.
"Tidak ada yang lebih menyakitkan dari luka yang kau berikan, luka yang teramat dalam, mungkin jika bukan aku orang lain akan menyerah tinggal bersama orang yang tidak punya perasaan." jawabku, aku mungkin memberi kata-kata tajam untuknya tapi aku tidak tau dia bisa memahaminya atau tidak.
"Apa kau menyindirku?" tanyanya mulai kesal.
"Kau takut terluka bukan? maka seharusnya kau jangan membuat orang lain merasakan sakitnya."
"Apa maksudmu? aku tidak pernah melukaimu, kau sendiri yang melukai dirimu."
Suamiku sangat keras kepala sampai dia tidak menyadari kesalahan yang telah dia perbuat. Entahlah aku hidup dengan siapa sekarang, mungkinkah aku hidup bersama sebuah robot yang berwujud manusia makanya dia tidak memiliki perasaan.
"Apa kau masih ingin terus berdiri di sana dan tidak mau mengobati tangan istrimu yang sedang terluka? apa kata orang nanti jika melihat kejadian ini mereka akan berpikir kau sudah menganiaya istrimu sendiri, kau yakin tidak akan malu?"
Devan menatapku sejenak sementara aku memilih diam dengan menundukkan kepala, lalu dia melihat luka di tanganku. Aku sengaja menakut-nakuti suamiku agar dia mau mendekatiku lebih dekat. Tanpa menunggu waktu lama dia mulai duduk di sampingku, aku masih bersikap acuh dengan membelakangi dirinya meski sebenarnya aku senang saat dia mau duduk di dekatku. Akhirnya dia memutar pelan-pelan tubuhku ke hadapannya lalu diraihnya tangan kananku yang terluka. Mendadak mataku hanya ingin melihat dirinya, ada getaran yang tak biasa di dalam tubuhku ketika dia menyentuh lembut tanganku saat mengoleskan obat di sana.
"Auh..." tubuhku sedikit terangkat karna rasa perih dari obat yang Devan berikan, dia langsung refleks meniup luka di tanganku seolah-olah dia ingin mengurangi rasa sakitnya.
"Lukamu akan sembuh dalam beberapa hari." ucap Devan, aku hanya mengangguk terpesona saat dia mengikat tanganku dengan perban.
"Apakah luka lainnya akan sembuh dalam waktu dekat?" tanpa sadar aku mengucapkan kalimat yang sulit untuk dia mengerti.
"Apa yang kau bicarakan, luka yang mana lagi?" tanyanya saat menanyakan hal yang bingung wajahnya sudah seperti orang bodoh saja membuatku ingin tertawa.
"Kau sudah selesai mengobatinya?" tanyaku langsung mengalihkan pembicaraan, Devan pun mendadak melepaskan tangannya yang menggenggam tanganku. Kemarin dia melepas tanganku tanpa menyelesaikan pekerjaannya tapi kali ini dia bisa sampai selesai mengobati luka di tanganku.
"Terimmm" saat aku ingin berterima kasih tiba-tiba Devan memanggil namaku yang membuat bibirku mengatup menahan suaraku.
"Aku akan pergi nanti sore, tapi siang ini aku akan mengantarmu untuk imunisasi, kau bersiap-siaplah." ucap Devan dengan sikapnya yang selalu dingin.
Aku senang saat dia berubah pikiran dan mau untuk menemaniku pergi ke rumah sakit, tapi aku tidak bisa pungkiri perasaanku tidak rela saat dia akan pergi lagi bersama teman-temannya, karna aku juga tau dia akan pergi bersama Keysa wanita yang dia cintai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Gisella Pratama
semangat terus thorr karya author Gabby selalu q tunggu
2020-06-09
1
Ika Purwaningsih
lanjut Thor.. bgus crtny
2020-06-08
2
si amie geulis📴🆓
semangat thor,karta mu bagus aku suka di tunggu update selanjut nya👍👍
2020-06-08
2