Tok... tok... tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk sontak Devan masuk ke dalam selimut dan memejamkan matanya.
Pintu kamarnya tidak terkunci sehingga memudahkanku untuk masuk ke dalam. Aku melihat Devan sudah tidur padahal aku membawa teh jahe dan sepotong roti bakar. Aku pun duduk di sisi ranjang mencoba membangunkan Devan. Devan pura-pura melenguh seolah baru saja bangun dari tidurnya.
"Kenapa kau kemari?" ketus Devan sambil menarik selimutnya dan bergeser sedikit menjauh dariku.
"Aku hanya memenuhi kewajibanku sebagai istri, jadi kau jangan berpikir macam-macam tentang diriku." jawabku santai.
"Kau tidak boleh ke kamarku, apa kau tidak tau batasan?"
"Batasan kamu bilang? bahkan dua untai tali di dalam pakaianku saat itu tidak lagi menjadi pembatas antara kau dan aku, sekarang kau baru peduli akan batasannya."
"Keras kepala." gumam demam membuang muka sambil mengangkat bibir atasnya ke atas.
"Hei aku mendengar apa yang baru saja kau katakan." sindirku sinis, Devan langsung memelototiku.
"Kau sangat tidak tau malu, percuma kau membahasnya sekarang aku bahkan tidak tertarik padamu." ketusnya.
"Kau minumlah minuman ini maka tubuhmu akan kembali hangat." Aku tidak ingin membahasnya lagi, hatiku cukup sakit saat dia mengatakan tidak tertarik kepadaku.
"Minuman apa itu? pasti kau mencoba meracuniku, kau mau balas dendam kan?" Devan bergeser lagi dan menolak pemberianku.
"Minuman ini hanya rempah-rempah, aku mendapatkannya dari tetangga yang baik kepadaku, dia bilang wanita hamil sangat bagus meminumnya tapi karna kau kedinginan maka aku berbaik hati padamu untuk membaginya."
"Aku tidak mau, pasti minumannya bau aku tidak menyukainya." Devan berkilah dan bangkit dari tempat tidurnya. Aku juga bangkit dan mendekati Devan yang berdiri di sisi kiri.
Lucunya Devan ketakutan dan terus menghindariku saat aku ingin memberinya minuman itu. Padahal ini hanya teh jahe yang dia pikir rempah-rempah seperti jamu.
"Apa kau tuli? aku tidak mau meminumnya." bentaknya saat aku berusaha keras membujuknya untuk minum teh.
"Baiklah tidak masalah kau menolaknya, aku simpan di sini jika kau lapar dan haus kau bisa memakannya." ucapku sambil berjalan mendekati meja yang ada di kamar Devan, aku letakkan roti bakar dan teh jahenya di sana.
"Besok ada imunisasi, aku tidak punya kendaraan untuk datang ke sana apa kau bisa mengantarku?" aku memberitahunya dengan lembut.
"Pergi saja sendiri, aku sudah bilang aku tidak peduli kepadamu." bentaknya sangat keras terdengar di telingaku yang membuatku sejenak menutup mata dan menghembuskan nafasku yang terasa berat saat mendengarnya.
"Tapi kau hanya perlu mengantarku saja tidak perlu menungguku nanti aku pulang bisa naik ojek atau angkot tidak masalah, sesekali saja anak ini juga perlu diimunisasi agar aku tau perkembangannya seperti apa."
Devan mendekatiku dan menarik tanganku dengan kasar menyeretku keluar dari kamarnya.
"Kau keras kepala, kau pikir aku peduli itu anakmu bukan anakku, kau urus saja sendiri aku tidak siap menjadi orang tua." bentaknya dengan lantang sementara aku hanya mampu tertegun menatapnya.
Aku hanya ingin diperhatikan, diberi kelembutan setidaknya dia mau menerima anaknya akan membuat perasaanku lebih baik, tapi sayangnya dia sangat egois dan keras kepala bahkan dia selalu bersikap kasar kepadaku, dia tidak peduli aku sedang hamil atau pun tidak.
"Dengar! Aku punya kesibukkan sendiri, jika kau mau pergi telepon saja siapa itu kakak yang kau bangga-banggakan, ah iya kak Rikimu itu minta bantu padanya sana." ujarnya.
"Apa kau bertemu kak Riki? dia bicara apa padamu, apa dia tau kita sudah menikah?" tanyaku.
"Aku tidak peduli dia tau atau tidak, jika kau ingin bertemu atau menjalin hubungan dengannya silakan, tapi jangan pernah halangi aku untuk menjalin hubungan dengan Keysa."
"Kita sudah menikah seharusnya kau memikirkan aku bukan Keysa, Keysa hanya masalalumu dan aku masa depanmu."
Devan berkilah menghentak kakinya lalu menutup pintu kamarnya dengan kasar membuat kupingku seolah akan pecah.
"Besok aku ada janji dengan Keysa, kau bisa membuat janji juga dengan kakakmu itu, aku sudah mengembalikan kartu sim ponselmu jadi kau tidak perlu khawatir tidak bisa berhubungan dengannya." seru Devan dari dalam kamarnya. Dia tau aku masih tertegun di depan kamarnya.
Secara tidak langsung aku mengganggapnya sama saja dia sedang menawarkanku pada pria lain. Mana ada seorang suami yang mau menyuruh istrinya berhubungan dengan laki-laki lain, tapi suamiku melakukan itu. Seketika air mataku kembali jatuh membasahi pipiku, aku berlari ke dalam kamarku dan menangis dengan posisi telungkup di atas kasurku. Aku tidak mencintainya tapi hatiku selalu sakit mendengarnya berkata kasar. Aku sudah berusaha memberi perhatian padanya, menyerahkan semua hidupku hanya untuknya, dan mencoba menerima pernikahan ini namun dia sama sekali tidak pernah menghargai usahaku.
Aku memukul-mukul guling di depanku, seolah itu Devan aku meluapkan segala kemarahanku pada guling tersebut. Aku tau suamiku membenciku dan pernikahan ini, tapi setidaknya jangan membenci anak tak berdosa ini. Dia bahkan tega menyuruhku untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Mungkinkah aku sehina itu dimatanya yang dianggapnya seperti kupu-kupu malam yang mau berhubungan dengan siapa saja? kenapa dia begitu kejam dan kasar, dimana letak perikemanusiaannya sampai dia membenci segala hal tentang diriku.
Aku memang mencintai kak Riki, bahkan saat Devan mengatakan dia bertemu dengan kak Riki aku berharap kak Riki akan membawaku dari sini dan aku akan hidup bahagia bersamanya. Tapi aku sadar siapa diriku, aku wanita yang sudah punya suami tidak ada orang lain yang akan aku pikirkan selain suamiku, sementara Devan baginya terlalu berat untuk menerima kenyataan kalau aku sudah menjadi istrinya. Aku sedih menjadi istri dari suami yang tidak pernah mau menerimaku, tapi aku juga malu mencintai laki-laki yang mencintaku. Aku malu pada diriku sendiri kenapa aku mengharapkan kak Riki? aku bukan wanita suci kak Riki tidak pantas bersamaku, dia pasti kecewa padaku saat dia tau aku hamil diluar nikah. Sudahlah biar saja aku bersama suamiku saat ini walau aku tidak tau sampai kapan aku bisa bertahan dengannya.
Keesokkan paginya, Devan bangkit dari tidurnya. Devan melihat jam sudah pukul 8 pagi, dia pun bergegas mandi setelah mandi dia pergi ke dapur untuk sarapan karna dia sudah membuat janji dengan Keysa untuk pergi jalan-jalan.
"Nuri! Dimana sarapannya?" teriaknya dan aku tidak peduli.
"Nuri! Nuri! kau sengaja membuatku mati kelaparan?" teriaknya lagi memanggilku.
"Nuri cepat kemari, jangan pura-pura tidak mendengarkan!" panggilnya lagi dan aku menutup rapat-rapat kupingku.
Aku berada di kamar mandi sedang mencuci semua sepatu Devan yang jumlahnya ada 5 pasang. Aku tidak peduli sepatu itu sudah dipakai atau belum yang jelas aku sengaja mencucinya agar dia tidak pergi kemana-mana. Aku capek, aku lelah dengan sikapnya yang selalu keluyuran sedangkan dia tidak pernah memperdulikanku.
Devan datang menemuiku di kamar mandi, meski aku tau dia berdiri di muka pintu tapi aku pura-pura tidak melihatnya.
"Dimana sarapannya? aku lapar, aku mau makan cepat sediakan sekarang!" Devan tidak pernah bicara lembut setiap kali bicara kepadaku, dia selalu kasar memerintahku.
Pagi ini aku sengaja tidak menyediakan apa-apa, roti bakar juga sudah habis stocknya sementara aku tidak terlalu bisa memasak. Kemarin aku sudah mencoba membuatkan dia sarapan tapi dia tidak menghargai itu. Sekarang aku ingin dia merasakan bagaimana seorang istri tidak mau melayaninya lagi, aku tidak mau durhaka pada suami tapi sesekali dia juga perlu diberi pelajaran agar dia sadar diri.
"Apa kau tuli, dimana sarapannya?" tanyanya lagi masih dengan membentak.
"Kau tidak peduli padaku bukan? lalu untuk apa aku menyediakan makanan." sahutku tanpa melihatnya.
Aku tau Devan sangat geram melihatku, tapi aku berusaha berani menghadapinya.
Devan baru menyadari bahwa sepatunya semuanya basah karna ulahku. Dia langsung membalikkan badanku menghadapnya ditatapnya mataku dengan tajam dan dalam sekali. Wajahnya merah padam aku harus bersiap-siap menghadapi amarahnya.
"Nuriiii..." Devan berteriak histeris padaku.
"Apa yang kau lakukan, semua sepatuku kau cuci bagaimana aku bisa keluar?" bentaknya.
"Kau ingin bertemu Keysa bukan? aku mencucinya agar sepatumu bersih, apa aku salah?" aku berusaha santai dan terlihat berani.
"Sepatuku semuanya masih bersih, dan belum aku pakai."
"Aku minta maaf aku salah, aku tidak tau jika kau belum memakainya." jawabku pura-pura menyesal dan memasang wajah memelas kasihan.
"Tidak berguna!" Devan menekanku dan melempar ke dinding semua sepatunya di dalam ember hingga ember itu pecah.
Devan berlalu keluar dengan amarah yang ditahannya. Aku mengambil kembali sepatu-sepatunya lalu menjemurnya di halaman depan rumah. Tetangga-tetangga di depan rumah kami seperti sedang membicarakanku, mungkin mereka mendengar pertengkaran kami pagi ini. Aku tidak peduli mereka bicara apa ku tutup kembali pintu rumah kami setelah aku masuk ke dalam.
Aku pergi ke kamar Devan, tapi aku berdiri di luar melihatnya duduk termenung di bibir ranjangnya. Aku merasa bersalah mungkinkah sikapku keterlaluan? tapi aku tidak bermaksud membuatnya marah, aku hanya ingin dia menemaniku walau sehari saja. Untuk menebus kesalahan aku membuatkan dia nasi goreng dan ayam goreng.
Setelah semuanya siap aku sajikan di atas meja, aku pun memanggil Devan untuk sarapan. Dia datang dan langsung duduk di kursi tanpa melihatku, sepertinya dia sangat kesal kepadaku. Hanya ada amarah yang menyelimuti wajah tampannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Eyisse
Kak author! Jangan terlalu disiksa dong si nuri, kasian banget banget bangeeettttt
2020-06-12
1
emil zheyuan
kasihan nuri kk author😢
rasanya devan pengen tak rukiyah biyar sadar itu si devan gk jdi suami durhaka😠
2020-06-11
1
Gisella Pratama
thorr kasian Nuri jangan terlalu d siksa dong,,dia udah d buang sama ortunya Devan mlh ngak peduli Ama dia mereka sama,, salah thorr
2020-06-09
0