Pagi-pagi aku bangun sendirian, aku menyadari aku tidur terpisah dengan suamiku. Setelan mencuci muka aku mulai pergi ke dapur mencoba untuk membuat sarapan. Devan masih tidur, aku sengaja tidak membangunkannya karna aku pikir aku hanya akan mengganggunya.
Saat di dapur aku terpaku melihat kulkas yang ternyata isinya kosong. Aku kembali ke dalam kamar mengambil beberapa lembar uang dari dompetku, kulihat di luar tidak jauh dari rumah ada penjual sayuran dan di sana sudah banyak ibu-ibu sedang mengantri.
Aku putuskan untuk menjauhkan rasa malu, kuberanikan diriku untuk bertatap muka langsung dengan ibu-ibu itu.
Aku merasa lega setelah mereka menyapaku sehingga aku bisa melanjutkan memilih sayuran.
"Adek, pasangan muda itu yang kemarin sore pindah ke kompleks sini?" tanya mereka.
"Iya benar bibi." jawabku mengangguk ragu-ragu tanpa tersenyum.
"Wah! Sayang ya masih sangat muda tapi sudah menikah, apa kalian tidak menyesal meninggalkan dunia pendidikkan? jaman sekarang pendidikkan itu jadi prioritas terutama untuk mendapatkan pekerjaan."
Kudengar ibu-ibu itu sepertinya semakin tajam berbicara padaku sampai aku bingung untuk menjawabnya.
"Paman, daging ayamnya berapa?" tanyaku tanpa memperdulikan ibu-ibu tadi. Setelah belanjaanku dihitung jumlahnya aku langsung membayarnya dan tanpa menoleh lagi aku pergi dari ke ramaian itu.
Jujur saja hatiku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tidak ada anak seusiaku yang tidak mau bersekolah, mereka dengan sengajanya bertanya seperti itu kepadaku seolah mereka tidak tau alasan dibalik pernikahan kami. Namun, apa daya diriku, aku bahkan tidak punya siapa-siapa sekarang. Aku diasingkan oleh keluargaku bahkan suamiku tidak peduli padaku, untuk menangis pun rasanya sudah tiada gunanya tidak akan ada yang mendengar tangisanku, tidak ada yang peduli dan mau menyeka air mataku.
Aku melanjutkan aktivitasku setelah membeli beberapa sayuran seperti wortel, kentang, tomat, sawi, kol, daging ayam dan udang. Aku pun membersihkan sayuran yang ku beli lalu menyimpannya ke dalam kulkas.
Aku melihat sisi kiri dan kananku, aku benar-benar sendiri tidak ada ayah dan ibu di sisiku. Sekarang aku harus belajar mandiri mengurus rumah tanggaku, tidak akan ada yang bisa membantuku.
Apa yang harus aku masak sekarang?
Bahkan untuk memasak saja aku tidak mampu, tapi aku ingin segera memasak sarapan untuk suamiku sebelum dia bangun atau dia akan memarahiku jika tidak ada sarapan di meja.
Kak Nana sangat beruntung di saat kakak tidak bisa memasak apapun tapi suaminya mau mengajarinya sampai kakak bisa, di saat kakak sedih suaminya selalu mendukungnya tapi aku, nasibku tidak seberuntung kakakku.
Aku pun memaksakan diriku untuk memotong daging ayam yang ku beli, aku tidak tau cara memotongnya sampai akhirnya malah jariku yang terluka. Luka perih di jari telunjukku menambah rasa perih di hatiku. Jariku mengeluarkan banyak darah, aku kesakitan dan mataku mengeluarkan air mata karna menahan begitu banyak rasa sakit.
"Devan... tolong aku Dev." seruku meminta pertolongannya, aku sudah mencari kotak p3k dimana-mana tapi tidak menemukannya makanya aku meminta bantuan Devan untuk mencarinya.
Aku melihat Devan keluar dari kamar setelah aku memanggilnya.
"Apa yang kau lakukan pagi-pagi sudah berisik, menggangguku saja." ketusnya tanpa peduli pada darah yang menetes di jariku.
"Dev, apa rumah ini tidak ada obat-obatan?"
"Aku tidak tau, kau cari saja sendiri." Dia tetap ketus kepadaku. Devan ingin masuk ke kamarnya lagi tapi aku menahannya.
"Dev, aku sudah mencarinya dimana-mana tapi obatnya tidak ada sepertinya kita tidak punya persediaan obat-obatan."
"Ya sudah kau beli saja sana, apa susahnya." bentaknya kepadaku lalu dia masuk ke kamar dengan kasar menutup pintunya sampai membuat mataku terpejam sendiri dan tubuhku ikut terperanjat kaget.
"Dev, tapi jariku terluka bagaimana aku bisa keluar?" ucapku masih di depan kamarnya tapi tidak ada jawaban darinya.
Ya Allah begitu kejamkah suamiku? aku tidak tau harus dengan cara apa melunakkan hatinya, bahkan untuk memandangku saja dia seolah tidak sudi.
Aku kembali ke dapur lalu mengambil pisau dan merobek sedikit pakaianku untuk membuat perban menutupi luka di jariku. Aku menangis sendirian sambil mengikat jariku dengan sobekkan bajuku, baju yang terlanjur di penuhi noda darah itu aku jadikan pelindung luka di jari. Luka di jariku saja ada yang melindunginya sementara aku hanya sendirian tidak ada yang melindungi.
Aku menyeka air mata yang menggenang di kedua pelupuk mataku. Ku coba untuk kembali tersenyum, aku harus kuat demi anakku, jika aku lemah maka janin yang aku kandung juga bisa ikut melemah.
Saat aku hendak memulai aktivitas memasakku, sangat tidak disangka Devan datang menemuiku di dapur dengan membawa obat-obatan. Ada sedikit rasa senang di dalam hatiku saat dia datang.
"Kemarilah." Dia memanggilku setelah dia duduk di kursi makan.
Aku masih takut untuk mendekatinya, tapi ternyata dia memanggilku lagi dan menyuruhku untuk duduk di kursi. Dengan rasa ragu-ragu secara perlahan aku mendekatinya dan ikut duduk seperti yang dia perintahkan.
Dia tidak menatapku tapi aku melihat dia sedang menuang alkohol ke atas kapas lalu mengeluarkan beberapa obat luka.
"Berikan tanganmu!" ucapnya meski tanpa melihatku dia mencoba meraih tanganku lalu di bukanya perban kain yang aku ikat tadi.
Aku hanya mampu diam dan membisu, tanpa berkedip aku terpaku menatapnya. Dia memang sangat dingin tapi aku yakin dia punya sisi yang lembut. Buktinya sejak aku berteman dengannya, dia adalah orang yang ceria dan mudah tersenyum hanya saja masalah yang menimpa kami membuat dirinya jauh berubah. Devan seperti sudah kehilangan jati dirinya dan adanya aku bersamanya aku akan membuatnya menjadi Devan yang dulu.
Setelah perbannya terbuka dia pun membersihkan lukaku dengan sedikit kasar yang membuatku sedikit meringis kesakitan.
Saat aku kesakitan aku bisa merasakan Devan juga ikut menahan sakit, sehingga dia memperhalus sentuhannya di jariku. Aku yakin Devan pasti melihat bagaimana aku menahan sakit itu hanya saja dia terlalu angkuh sampai tidak ingin menunjukkannya padaku.
"Kau obati saja sendiri." ketusnya tiba-tiba bangkit dari duduknya dan melepas genggaman tangannya di tanganku.
"Ada apa?" Aku menatapnya heran dengan perasaan sedikit takut, apakah aku melakukan kesalahan lagi? yang membuatnya marah.
"Aku mau mandi, Albi mengajakku keluar." ucapnya dengan nada datar.
"Tapi Dev, kemarin kalian sudah keluar bahkan sampai malam, apa kamu tidak khawatir padaku, aku sendirian di rumah dan aku tidak kenal siapa-siapa di sini, bagaimana jika ada orang jahat yang menggangguku pada siapa aku akan minta bantuan."
"Banyak bicara sekali kamu, ingat baik-baik kamu tidak berhak mengaturku apalagi sampai melarangku bertemu teman-temanku atau aku tidak akan segan-segan meninggalkanmu."
Devan tiba-tiba menarik tanganku dan membawaku cukup dekat bersentuhan dengan tubuhnya. Dia begitu dalam menatap mataku tapi matanya mengatakan kebencian, lalu dia menghempas tanganku dengan kasar hingga tubuhku ikut terdorong ke belakang.
Air mataku seketika itu langsung menetes tapi Devan malah pergi dariku. Sekalipun aku memanggilnya, dia tidak mau menoleh kembali.
Hiks... hiks...
Sambil menangis aku melakukan apa yang aku bisa lakukan. Dari pada aku memikirkan Devan terus-menerus aku memilih untuk memasak nasi goreng, aku ingin mengajaknya sarapan terlebih dulu sebelum dia pergi bersama teman-temannya.
Saat nasi goreng yang kubuat sudah matang bersamaan dengan itu Devan juga keluar dari kamarnya. Dia sekilas seperti milirik ke arahku tapi begitu aku melihatnya, dia langsung berkilas seolah tidak terjadi apa-apa.
"Dev, sarapan dulu sebelum pergi, tapi maaf aku hanya bisa memasak nasi goreng untukmu." kataku memanggilnya, dia berhenti sejenak mendengarkanku.
"Kau sarapan saja sendiri, Albi memintaku menjemputnya." kata Devan datar tanpa melihatku.
"Dev, kita sudah menikah, kita punya kehidupan baru bisa tidak jangan prioritaskan temanmu, aku minta tolong sama kamu Dev, jika kamu mau memprioritaskan keluarga kecil kita maka aku juga akan berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu."
Aku berusaha membujuk Devan semampu yang aku bisa karna aku sadar pernikahan bukanlah suatu babak yang dimulai lalu diakhiri begitu saja.
"Jika kau mau keluar bersama teman-temanmu maka silakan saja aku tidak akan melarangmu, asalkan kau tidak melarangku." jawabnya masih dengan suara yang sama.
Devan melangkah keluar tanpa sedikitpun mau melihatku. Aku benar-benar istri yang tidak dianggap, dia sangat membenciku bagaimana aku bisa bertahan bersama orang yang sama sekali tidak menganggap ada keberadaanku.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Novi Eka
kejam u thor q bikin q 😭😭😭😭
2020-07-09
1
Eyisse
Bikin gregett
2020-06-12
1
Zieya🖤
😘😘
2020-06-08
1