Jena sangat murka dengan keputusan Jeno yang mengundang orang lain masuk ke dalam rumahnya. Terlebih lagi yang di undang menjadi pembantu rumah tangga mereka adalah Marni, gadis desa yang menjadi salah satu selingkuhan suaminya.
Geram, marah, kecewa dan sedih bercampur menjadi satu. Seolah lupa kalau Jena hidup kembali untuk membongkar perselingkuhan suaminya, dia berniat main cantik dan tidak cemburu lagi pada Selingkuhan suaminya, rasa cemburu Jena membuat otak dan hatinya di penuhi rasa benci.
Segera saja dia naik ke lantai atas, masuk ke dalam kamarnya, lalu mengambil ponsel dan menghubungi suaminya.
Jena mondar-mandir di dalam kamar, dia menggigit kukunya. Panggilan pertama tak di jawab, mungkin saja Jeno sedang sibuk. Tetapi, Jena tak putus asa, dia terus menghubungi sang suami.
"Angkat, Mas … angkat!" pinta Jina bermonolog pada dirinya sendiri, cemas bercampur rasa marah.
Oh Jena, mengapa kau bisa seperti ini? Bukankah, kau berniat membongkar perselingkuhan suamimu? Lantas, mengapa kau marah-marah pada Jeno, hanya karena pria itu membuat Marni masuk ke dalam rumah tangga kalian?
Bukankah, itu lebih baik. Akan memudahkan bagimu untuk mendapatkan bukti perselingkuhan suamimu.
"Sial … sial!" Jena berteriak histeris di dalam kamarnya. Mata Jena berkaca-kaca. Teringat di kehidupan pertamanya, dia sangat senang Marni menjadi pembantu rumah tangganya.
Dia bahkan merasa iba dan kasihan pada Marni, yang hanya lulusan SMP, dipaksa bekerja oleh keadaan agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk adik-adiknya.
Tetapi, rasa kasihan dan iba itu tak lagi dirasakan oleh Jena, saat tahu Marni salah satu selingkuhan sang suami.
"Ahh … ini tidak bisa dibiarkan?!" umpat Jena kesal.
*
*
Sedangkan, di sisi lain, Marni tampak bingung dan sedih, karena melihat reaksi Jena, wanita itu tidak menyukainya. Dia sendiri merasa bingung, mengapa Jena tidak menyukainya.
"Apa karena aku terlihat kampungan, yah? Jadi, Ibuk tidak suka padaku? Tapi, 'kan, Pak Jeno langsung yang minta dari ketua yayasan agar pembantunya berasal dari desa!"
Marni berbicara dengan dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk naik ke lantai atas, guna berbicara dengan Jena. Dia ingin tahu mengapa majikannya itu tampak tak suka padanya, bila memang Marni punya salah, dia akan meminta maaf.
"Kalau memang Buk Jena tidak suka padaku, lebih baik aku resign saja, soalnya aku kerja di sini, otomatis akan tinggal satu atap dengan Buk Jena. Takut, kalau sewaktu-waktu beliau melakukan sesuatu yang tak pantas. Ihhh … ngeri! Bisa-bisa aku seperti si Jumiati, di pukuli dan di siksa sama majikannya!"
Marni berbicara pada diri sendiri, gadis lugu itu sangat takut kalau sampai dia mendapatkan perlakuan tak baik dari Jena. Niat hati ingin bekerja, bukan untuk disiksa.
Saat tiba di depan kamar Jena. Dia segera mengetuk pintu kamar dengan sopan.
"Buk, … Ibuk baik-baik saja?" tanya Marni dengan nada sopan.
*
*
Kembali lagi pada Jena. Dia sedang merenung di dalam kamar, tiba-tiba terlintas dalam benaknya, keinginan dan tujuan Jena dalam kehidupan keduanya.
"Buat apa aku marah? Seharusnya aku senang, karena dengan hadirnya Marni, aku bisa menguak perselingkuhan, Jeno, satu persatu!"
Jena berbicara dengan dirinya sendiri. Setelah beberapa saat Jena berpikir, wanita itu sadar kalau tak sepantasnya dia marah seperti tadi. Biarkan saja Marni masuk ke dalam rumah tangganya, agar dia tahu pasti tentang perselingkuhan suaminya.
"Tujuan ku saat ini adalah mencari bukti perselingkuhan, Jeno. Agar mama dan papa percaya kalau menantu kesayangannya itu buaya darat berwujud manusia! Bukan malah cemburu seperti ini!"
Jena meyakinkan dirinya sendiri, berusaha mengingatkan maksud dan tujuan dia hidup lagi. Rasa cemburu yang tadinya membara dalam hati, kini perlahan padam.
Terdengar suara Marni, pembantu nya itu mengetuk pintu Jena. Berusaha mengatur nafas dan emosi agar tak meledak. Di kehidupan pertama dia sangat menyayangi Marni dan percaya pada gadis lugu itu. Tak menyangka kalau gadis itu menusuknya dari belakang.
"Huff … di kehidupan pertama aku percaya padanya, sekarang tidak lagi! Terkadang orang yang kita sayang, dialah buang kehancuran hidup kita," gumam Jena pelan.
Segera dia bangkit berdiri dan membuka pintu kamarnya. Terlihat wajah cemas Marni, tampaknya gadis itu takut padanya.
"Ada apa, Marni?" tanya Jena memasang senyuman palsu.
Membuat Marni bingung, gadis itu memiringkan kepalanya polos. Tadinya Jena marah-marah di hadapannya, sekarang kenapa Jena tersenyum manis, seolah tidak terjadi apa-apa?
"Anu, Buk … itu." Marni salah tingkah, dia memilin rok pelayannya. Dia tidak tahu harus berkata apa.
"Anu-anu apa?" tanya Jena seraya tersenyum tipis.
Marni gugup, gadis lugu itu menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu memberanikan diri untuk menatap Jena.
"Ibuk, suka tidak kalau saya jadi pembantu, Ibuk? Maksud saya … emm, saya kan ke sini untuk bekerja sebagai pembantu, dan ibuk sebagai majikan saya. Jujur, Buk. Saya tidak bisa bekerja dengan majikan yang tidak menyukai saya. Jadi, kalau Ibuk tidak suka sama saya … saya bakal resign dan ibuk bisa dapat pembantu yang ibu suka!"
Marni berbicara hati-hati agar tak salah memilih kata. Jena yang mendengarnya pun tersenyum samar, di kehidupan pertamanya tidak ada dialog seperti ini antaranya dan Marni.
Segera dia Padang ekspresi wajah manis. Tersenyum lembut, seraya menggenggam tangan Marni. Membuat gadis desa itu terkejut.
Marni menatap Jena dengan sorot mata polosnya. Dia bingung, mengapa Jena tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Maaf ya, kalau tadi saya buat kamu takut dan salah paham. Tadi itu saya cuma kaget saja, tiba-tiba ada kamu di rumah saya. Saya marahnya sama suami saya karena tidak ngomong dulu kalau mau pakai jasa asisten rumah tangga! Tapi, sekarang udah nggak marah lagi, kok. Karena saya paham, kalau suami saya melakukan ini demi saya juga!"
Jena berkata dengan lemah lembut membuat Marni terharu. Dia kerasa bersalah karena telah salah paham pada majikannya ini.
Segera gadis itu menggenggam tangan Jena erat. Lalu menatap majikannya dengan sorot mata polos.
"Syukurlah kalau Ibuk tidak marah. Saya bisa tenang kalau gitu!"
Marni tersenyum manis. Membuat Jena berdecak kesal.
"Cih, senyuman nya memang manis, tapi beracun, karena dia bibit pelakor," batin Jen kesal.
*
*
Sedangkan, disisi lain. Tampak seorang pria dewasa berwajah tampan dan rupawan. Dia gagah dengan porsi tubuhnya yang seperti atlet.
"Huff, akhirnya selesai juga acaranya!" Pria itu bergumam pelan.
"Pak Jeno!" panggil seorang gadis seksi memakai pakaian kurang bahan. Jeno mendengar seseorang memanggil nya pun segera berbalik badan.
Pria itu terkejut melihat anak didiknya memakai pakaian kurang bahan. Padahal tadi saat seminar, bajunya rapi dan sopan.
"Iya, Jenny. Ada apa?" tanya Jeno datar seraya menaikkan alisnya. Sorot matanya hanya tertuju pada wajah Jenny. Dia tidak tertarik menurunkan pandangan nya pada dada Jenny yang berteriak ingin keluar.
"Hemm … itu, Pak! Saya boleh pulang bareng, Bapak? Soalnya saya nggak bawa mobil!" pinta Jenny menatap Jeno penuh harap.
Jeno tersenyum tipis. Dia menelisik wajah cantik Jenny, hingga pandangannya turun ke liontin yang terpasang di leher jenjang Jenny.
"Boleh, tapi, bayaran apa yang saya dapat?" tanya Jeno menatap lekat wajah Jenny.
*
Hihi … boleh dong minta komentar nya 100, atau kopi, soalnya hari ini author ulang tahun hihi 🤭🤭❤️
*
*
Bersambung.
Jangan lupa like coment vote dan beri rating 5 yah kakak 🥰🥰
Salem aneuk Nanggroe Aceh ❤️🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sisilia Prastiwi
jena, jeno, jeni tinggal jene & jenu yg blm nongol 😂.
kreatif sedikit donk ngasih namanya, Thor 😁
2023-03-31
1
Musniwati Elikibasmahulette
Jono ,,,maksudnya apa sih
2023-03-15
1
Nurlela Nurlela
Padang >>> pandang
2023-03-07
0