18 : Kami tidak berkelahi

Di universitas Inta. Mobil mewah itu terparkir tepat di depan gerbang. Semua orang tidak perduli dengan kehadiran roda empat itu, karena mereka merasa biasa saja.

Namun, ketika Inta keluar dari mobil. Semua mata tertuju kepada dirinya dan bahkan suasana di halaman depan sekolah seketika hening.

"Eh, kok bisa Inta pakai mobil?"

"Engak salah lagi sih, dia jual diri."

"Memalukannya, apa dia menjadi suggar baby seseorang?"

"Yeah, itu sudah pasti."

Bisikkan yang menyimpang hanya diketahui oleh mereka. Tidak dengan Inta yang melambaikan tangan pada mobil Zacry yang pergi. Dia melangkah santai tanpa memperdulikan tatapan orang lain.

"WOY Nyonya!" teriak seseorang.

Inta segera berbalik badan dan melihat Malinda yang berlari mendekatinya. "Yo!" sapa Inta.

Malinda merangkul Inta dengan wajah bahagianya. "Ciee ada yang diantar nih sama ayang!" ejek Malinda.

Inta segera menepis rangkulan sahabatnya itu. Dia melihat pandangan orang-orang tertuju tepat ke arahnya, hingga seorang wanita yang berada di fakulstas lain menghampiri.

"Hei jal*ng, dengan siapa Lo datang tadi?" tanyanya dengan nada sinis.

Inta dan Malinda menatap bingung dengan hadirnya wanita tersebut. Mereka saling melirik hingga tertawa bersama.

Melihat keanehan itu, Wanita bernama Lilis segera mendekati Inta dan menunjuk-nunjuk wajahnya. "Hei, jangan mempermalukan sekolah ini ya!"

"Eh,eh jangan berpikir buruk dulu... mohon maaf nih Lis, asal Lo tahu ya, mobil itu tadi milik suaminya Inta, jadi lo engak berhak melarangnya." potong Malinda dengan menghentikan tangan Lilis yang masih menunjuk.

Mendengar hal itu, Lilis menepis tangan Malinda dan melihat Inta dari atas ke bawah. "Dia, menikah? Hah ... gadis miskin sepertinya bisa apa? Oh tidak, maksud gua, kalian berdua emang bisa memikat orang kaya. Hahaha memalukannya...."

Inta dan Malinda saling menatap dengan pandangan bingung. Mereka melihat Lilis pergi dengan tawa yang mengelegar.

"Ada apa dengan dirinya?" tanya Inta. Malinda menjawab dengan tangan telunjuk berputar di dekat keningnya.

Inta tahu apa yang di maksud oleh Malinda. Dia hanya menggeleng dan segera melanjutkan langkah mereka menuju ke kelas.

...***...

Dua mata kuliah telah di lewati, Inta dan Malinda segera menenangkan otak mereka di kantin. Memesan minuman dingin dengan mie goreng dan nasi goreng.

Sambil menikmati hidangan itu, Inta merasa kejangalan yang terjadi. Pertama, saat istirahat seperti ini, akan ada Alfazi datang dan menganggu dirinya. Kedua, Malinda akan mencari-cari si pria itu. Namun sekarang, dia hanya mendapati Malinda tanpa bertanya-tanya soal Alfazi.

"Mal!" seru Inta.

Malinda segera mengangkat pandangannya dan melihat Inta yang tepat duduk di depan.

"Hm, kenapa?"

"Kau engak sedang berkelahi kan?"

"Berkelahi?" Malinda menatap bingung kepada Inta. dia berbicara sambil menghabisi Mie gorengnya.

Melihat kebingungan itu, Inta segera menunjuk Malinda dengan sendok yang dia pegang. "Kau dan Alfazi."

Malinda terdiam, dia meningat kejadian kemarin di mana dirinya pergi meninggalkan Alfazi. "Tidak, kami tidak berkelahi."

Inta memperhatikan Malinda yang tampak tenang melanjutkan makan siangnya. Dia segera menepis pikiran negatif kepada sahabatnya itu. "Baguslah kalau kalian tidak berkelahi. Tapi, jarang sekali kau mencarinya. biasanya setiap bertemu, kau akan mengejek-ejekku atau mengejek dirinya."

Malinda meneguk teh es yang dia pesan. Dengan santai Malinda berkata, "Jadi gitu ya ... yaudah, kalau kau mencari Alfazi, cari sana. Mumpung di luar, selingkuh mah engak apa-apa."

Rasa khawatir Inta menghilang seketika. Dia segera melanjutkan makan siangnya dan bergumam, "Berselingkuh ... siapa yang mau melakukan itu."

Gumaman itu terdengar ditelinga Malinda. Dia tersenyum dan segera mencolek lengan Sahabatnya. "Hei, apa kau sekarang jatuh cinta kepada suamimu itu, hm?" ledeknya.

Inta segera menjauhkan tangan dan menatap tajam ke arah Malinda. "Tolong Mal, jangan menjadi gila. Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Inta.

Malinda dengan santai menjawab, "Karena raut wajahmu. kemarin, kau tampak bahagia bersama anak angkat itu dan Zacry. Dari matamu itu Inta, aku tahu kalau kau sedang jatuh cinta."

Mata Inta melirik ke arah lain dengan jengah, dia pun kembali menatap Sahabatnya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, aku tidak akan jatuh cinta kepada suggar daddyku."

"Bwahahaha, Oh ya! ... mari kita buktikan. Siapa yang benar, tebakkanku atau ucapanmu itu." ujar Malinda yang mengusap kelopak matanya. Dia kembali melanjutkan makan siang yang hampir selesai.

Dari kejauhan, seorang pria menatap begitu tajam kepada wanita yang tidak lain adalah Inta. Pria itu tidak menatap ke arah lain, dia begitu fokus memperhatikan Wanita yang dia sukai.

"Bro, tumben lo di sini. Biasanya lo berkumpul sama tuh, Malinda dan Inta." ucap Erzi, teman Alfazi yang baru saja membawa hidangannya.

Alfazi hanya mendengus dan melirik ke arah lain. "Bukan urusan lo." sahutnya

Temannya hanya mengangguk-angguk dan tidak berucap apa pun. Semua mengenal Alfazi, seorang anak terakhir yang keinginannya akan dituruti. Selain itu, Alfazi merupakan anak orang berada yang digemari wanita pencinta uang. Namun sayang, sikap Alfazi terhadap wanita begitu kasar hingga tidak ada yang ingin di sampingnya.

Hanya dua wanita yang mau berada di samping Alfazi, mereka adalah Malinda dan Inta. Wanita yang merupakan kegemaran di sekolah. Inta dikenal dengan utangnya dan Malinda dikenal tutur kasarnya.

Setelah hidangan Inta dan Malinda habis, keduanya segera pergi kembali ke kelas, hari ini mata kuliah mereka hanya ada tiga. jadi, mereka bisa pulang lebih cepat dari sebelum.

"Hari ini pelajaran dari pak killer itu, ah malasnya." ujar Malinda dengan merengangkan otot-otot lengannya.

Inta melangkah pelan menuju kelas sambil melirikkan matanya kepada Malinda. "Apa yang membuatmu malas, Kau kan paling pintar dan kkmmu sudah berada di atas rata-rata. Kapan kau lulus hah?" cibirnya.

Malinda tersenyum tipis dengan tatapan mautnya. Inta segera mempercepat langkah kaki dan berusaha untuk menjauh. Namun, tangan Malinda dengan cepat menghentikan dirinya.

"Aku tahu kalau nilaiku baik, alasanku disini karena ditahan olehmu. Apa kau melupakannya Inta?" tanya Malinda dengan suara yang ditekan.

Inta cengar-cengir melihat sahabatnya. Memang benar, saat Inta punya utang di kampus, dia meminta kepada Malinda untuk wisuda bersama dirinya dan mereka akan bersama-sama menikmati kelulusan itu. Namun, jangankan lulus, Inta dulu begitu kesulitan membayar utangnya.

"Ayo masuk ke kelas, kau menghalangi jalan." kata Inta dengan memperhatikan mahasiswa yang lain.

Belum langkah kaki memasuki kelas, seorang wanita yang satu mata kuliah, menegur Malinda. "Bisakah menyinggir, Lo menghalangi jalan!"

Inta memperhatikan raut wajah Malinda yang semakin memanas, dia pun segera menarik Sahabatnya itu dan menenangkannya. Akan jadi masalah jika Malinda mengamuk saat kelas di mulai.

...***...

Setelah pelajaran berakhir, Inta dan Malinda melangkah menuju ke halaman kampus. Terlihat sebuah mobil menanti mereka.

"Oh lihatlah, Ayang sudah tiba." ejek Malinda.

Inta segera menyenggol bahu Malinda dan bergegas mendekati Mobil yang kini terlihat Pak supir.

"Nyonya, Tuan Muda menanti kepulangan Anda." ucap Pak Supir dengan keramahannya.

Inta mengangguk, dia segera berpamitan dengan Sahabatnya dan masuk ke dalam mobil. "Hari ini, aku dan Abi akan bermain apa ya...," gumam Inta.

Pak supir mendengar gumaman itu, dia segera berucap, "Tuan Muda begitu senang saat tahu kalau saya menjemput Anda. Nyonya, begitu di cintai olehnya."

Inta tersenyum mendengar ucapan Pak Supir, dia menjadi bahagia hingga bayangan Abi yang tersenyum terlintas dipikirannya.

Mobil pun berjalan meninggalkan Malinda yang menunjukkan wajah datar. "Apa yang lo lakukan dengan mengintip seperti itu? Apa lo penguntit?" tanya Malinda.

Keluar seorang pria yang tidak lain adalah Alfazi. Dia bersembunyi di parkiran motor, berpura-pura akan pulang.

"Lo mengamati pergerakkan gua." Alfazi melirik Malinda dengan tatapan serius. Dia benar-benar tidak ingin wanita ini menganggu dirinya.

Malinda sudah mengamati pergerakkan Alfazi saat dirinya makan siang di kantin. Meski tidak melihat di mana Alfazi berada, Malinda bisa merasakan tatapan seseorang terarah kepada sahabatnya.

"Tampaknya lo akan menjadi gila, Al. Gua peringatkan kepada lo, jangan lo menganggu sahabat gua...,"

"Apa yang akan lo lakukan jika aku menganggu Inta?" potong Alfazi. Dia menatap Malinda dengan pandangan menantang.

Dengan lembut Malinda mengusap kepala pria di depannya. Alfazi secepat kilat menepis tangannya dan menjauhkan diri.

Malinda tersenyum dan melangkah maju dengan berdiri di samping Alfazi. "Entahlah, gua tidak tahu apa yang akan gua lakukan nanti. Namun, ucapan gua itu bukanlah kebohongan. Jadi, berhentilah sebelum terjadi sesuatu." bisiknya.

Alfazi mengubah posisinya dengan menghadap ke arah Malinda. Dia melipat tangan di dada sambil tersenyum dan berucap, "Wanita seperti mu bisa apa Mal? Aku sudah tahu tentangmu. Seorang anak yang orang tuanya hilang tanpa kabar. Lalu, lo mendapatkan uang bulanan dari seseorang. Apa lo yang membuat Inta menikah dengan keluarga Park?"

Malinda tanpa melirik Alfazi menyahut, "Ada hal yang tidak harus Lo ketahui. Jadi, informasi yang lo dapat itu, ada benar dan tidaknya. Saran gua, jangan mencari terlalu jauh, Tuan Muda Rya, Alfazi-Rya."

Alfazi melihat Malinda yang melangkah dengan wajah berbeda. Dia baru pertama kali melihat raut wajah itu. "Wanita ini, siapa dirinya," gumam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!