6 : Istri

Inta merasa air liurnya sudah menggenang di dalam mulut.

Abi melihat Ibu Tiri yang tidak diakui sedang tercenga. Dengan lembut dia menutup mulut Inta.

"Ehem!" Kesadaran Inta kembali. Dia berdecak pinggang menatap anak berusia 5 tahun itu. "Jadi, Kau tidak bisa mandi sendiri?" tanyanya.

"Si-siapa bilang!" Abi menatap ke arah lain. dia tidak mengakui apa yang dikatakan oleh Inta.

"Hei! Katakan saja, jangan berlagak seperti pria dewasa." kata Inta. Dia mengambil selimut dan merapikannya. Setelah selesai, dilihat olehnya Abi masih berdiri di atas kasur.

"Heh, kau masih mempertahankan image mu. Sudahlah ... jam berapa sekolahmu dimulai?" Inta menyerah, dia tidak ingin memenangkan arguman dengan anak kecil di depannya. Lebih baik, dia menyelesaikan tugas ini dan berangkat ke kampus.

"Jam 7 lewat 30 menit." jawab Abi. Inta menoleh pada Jam dinding yang tidak jauh darinya. Melihat jarum jam menunjuk pukul 7 lewat 10 menit, Inta membelakkan mata. "Hei! Kau akan telat!" Pekik Inta.

Dengan cepat, tangan Inta mengendong Abi menuju kamar mandi. Dia melepaskan kancing baju tidur bergambar gajah duduk. Kecepatan tangan Inta membuat Abi pusing melihatnya.

"Ayo! Kau akan terlambat ke sekolah. Jangan biasakan dirimu bangun di siang hari. jadilah, anak yang disiplin." tegur Inta. Dia tidak menyadari, bahwa dirinya sendiri adalah anak yang selalu bangun kesiangan.

Inta saat sekolah menengah Atas mengalami banyak masalah, semenjak orang tuanya meninggal. Sekolah Inta menjadi berantakan, bahkan dia sering bolos atau terlambat ke sekolah.

Karena masa lalu yang buruk itu, Inta tidak ingin anak asuhnya ini seperti dirinya. Tanpa berlama-lama Dia segera memandikan Abi.

"Sshhh, dingin!" Abi mengigil seketika, saat Inta mengarahkan hand shower dibadannya. "Astaga, maafkan aku." Inta menarik hand shower dan melihat suhu yang diaturnya.

"Kasihan, aku tidak tahu kalau anak ini tidak bisa mandi air dingin. Hah, aku seketika ingat dulu, sering mandi air keran yang dinginnya minta ampun." gumam Inta.

"Apa yang Tante gumamkan?" tanya Abi. Wajahnya dengan tubuh tanpa pakaian, membuat Inta tersenyum. "Tidak ada, sudah kemarilah." ajak Inta.

Abi mendekat dengan perlahan. Dia masih engan mengakui Inta sebagai istri ayahnya.

Setelah memandikan Abi, Inta menyiapkan pakaian yang sesuai dengan anak sekolah. Dia mengambil seragam yang ada bersama Tasnya.

"Oke, sudah siap. Ayo sarapan!" teriak Inta.

Abi yang mendengar hal itu hanya menggeleng kepala. Dia melangkah meninggalkan Inta yang berbicara seorang diri.

"Setelah sarapan, kamu akan berangkat dengan sup-," Inta memandang datar ketika tahu tidak ada Abi di dekatnya. Dengan wajah kesal, Inta mengerutuk. "Dasar anak sok imut. Ku pikir dia menerimaku, eh ternyata dia hanya menjadikanku pembantu. Anak orang kaya, mandi pun harus dilayani."

...***...

Di dekat tangga, Inta memperhatikan segala ruangan yang ada. Dia belum menjelajahi rumah mewah ini. lebih tepat disebut Rumah suaminya.

"Nyonya, apa Anda mencari tuan muda?" tanya Pelayan yang hendak menuruni tangga.

Mendengar hal itu, Inta menganggukkan kepala. "Iya," jawab Inta.

Pelayan tersebut dengan lembut menentukan arah. Dia mengulurkan tangan menunjuk ke arah kanan Inta. "Tuan muda sedang sarapan, mari Nyonya." ajaknya.

Inta melangkah menuruni tangga bersama Pelayan. Mereka melangkah dengan ketenangan yang luar biasa. Inta melirik kaki pelayan yang mengenakan santal jepit. "Bagaimana bisa, langkah kakinya begitu sunyi." benaknya.

Pelayan berhenti melangkah. Inta pun ikut berhenti dengan memperhatikan sekelilingnya. Terlihat Abi yang lesu menatap sarapan di atas meja.

"Ada apa dengannya?" benak Inta. Dia mengangguk ke arah Pelayan yang mengantarnya. Langkah kaki Inta menuju ke tempat Abi berada.

Abi melamun ketika tahu sarapan hari ini tampak begitu biasa saja. Dia benar-benar tidak ingin memakannya.

"Kenapa denganmu?" tanya Inta. Dia menarik kursi di sebelah Abi.

Dengan cepat, Abi menyuap makanannya. Dia tidak menghiraukan keberadaan Inta.

"Cih, dia ingin mencuekiku? Padahal tadi pagi, dia menangis dan memelukku." benak Inta. Karena sudah menerima tantangan sekaligus tugasnya. Inta tidak akan menyerah begitu saja. "Apa kau tidak menyukai sarapan ini?" tanya Inta.

Namun, tidak ada balasan dari Abi. Dia menyantap sarapan roti panggang dengan selai coklat bersama Susu hangat. Di habiskan semua itu dengan cepat olehnya.

"Oke, baiklah. Kau tidak ingin berbicara denganku. Hati-hati saat berangkat ke sekolah." Inta bangun dari tempat duduk. Dia menunju ke arah kursi yang terdapat hidangan makanan.

"Apa Tuan tidak makan?" tanya Inta. Dia melihat kursi tengah tidak ada penghuninya.

Salah seorang Pelayan bergegas menjawab. "Tuan besar sudah berangkat di jam 7 pagi. Tuan juga sarapan lebih awal."

Mendengar jawaban itu, Inta hanya menganggukkan kepala. Setelah mendudukkan bokong cantiknya, Inta ingin menyantap sarapan yang tersaji di depan mata. Namun, niat sarapan itu menghilang, ketika Abi meninggalkan meja makan.

"Apa Abi selalu seperti ini. maksudku, sarapan tanpa Tuan?" tanya Inta.

Pelayan segera mendekat dan menjawab. "Karena tuan selalu sibuk. Tuan muda selalu sarapan seorang diri."

Inta merasa kesal di dalam hatinya. Bagaimana bisa, seorang anak kecil harus menikmati masa kecilnya seorang diri. "Dia menyuruhku menjadi seorang ibu untuk anaknya. Tapi dia sendiri yang malah menjaga jarak dari anaknya." gerutuk Inta.

Pelayan hanya bisa terdiam mendengar gerutukkannya. Mereka tidak bisa berkomentar apa pun. Tugas mereka disini, hanya bekerja sebagai seorang pembantu.

Inta melangkah menuju ke ruang tamu. Dia mengambil tas yang ingin ditangkap oleh Abi. "Apa yang ... Tante lakukan?" tanya Abi. Dia mempertahankan kesopanan yang diajarkan oleh sang Ayah.

Dengan usapan lembut, Inta menatap ke arah Abi. "Ini tasnya. Ayo ku antar ke mobil." ajak Inta. Dia melangkah terlebih dahulu.

Abi bingung dengan tingkah Tante Inta. Dia mengikuti langkah wanita itu hingga ke mobil yang mengantar dirinya.

"Tuan muda, selamat pagi." ucap pak supir. Inta tersenyum dan memberikan tas yang dari tadi dia pegang.

"Nyonya, selamat pagi." sapa Pak supir ketika menyadari keberadaan Inta. Inta tersenyum dan kembali menatap Abi.

"Berangkatlah, kau terlambat. Maafkan aku yang telat membangunkanmu." ucap Inta. Abi menatap lekat ke arah Inta. Dia dengan pelan menganggukkan kepala.

"Pak, antar Abi dengan selamat ya." Inta berdiri tegap menghadap kearah Pak supir. Pak supir itu mengangguk. Dia membukakan pintu mobil agar Abi bisa masuk dengan mudah.

Inta melambaikan tangannya saat mobil Abi berangkat. Setelah mobil itu menghilang dari pandangan, keramahan Inta pudar seketika.

"Ayo, saatnya ke kampus." benak Inta.

Di dalam mobil, Abi terdiam memeluk tas miliknya. Dia mengingat perlakuan Ibu tirinya yang begitu lembut, apa lagi saat dia dipeluk.

"Dia, begitu hangat." benaknya. Abi mencari kehangatan dari tas yang dia peluk.

...***...

Keramaian mahasiswa begitu tampak. Masing-masing dari mereka sibuk dengan bercerita dan belajar.

Namun, ada dua orang yang tengah berdiri di parkiran dengan suasana menegangkan.

"Cih, kenapa juga ada lo disini. merusak suasana gua!" pekik Malinda.

Seorang pria dengan rambut bergelombang. Tinggi badannya hingga 176 cm. Bulu mata lentik melirik ke arah Malinda. "Hah? Seharusnya gua yang ngomong gitu. Ngapain lo disini?" ucap Alfazi Rya. Anak tunggal keluarga Rya.

Malinda hanya mencibir dengan suara pelan. Matanya melirik kearah mobil asing yang memasuki halaman kampus.

Seluruh penghuni yang ada, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka memperhatikan kedatangan mobil mewah itu.

Pintu dibuka oleh seseorang, keluar wanita yamg membuat Malinda dan Alfazi mendekatinya.

"INTA!" Teriak Malinda.

Inta melambaikan tangan. Dia segera memeluk Malinda dengan jentikkan dijidat. "Aw! Apa yang kau lakukan?" pekik Malinda.

"Kau benar-benar bangk*k, kenapa kau mengirimku pesan berulang kali. Tidak, kenapa notif pesanku, kau ganti hah?" Kesal Inta.

Malinda mengusap kepalanya sambil tersenyum. "Hehe, aku hanya ingin membantumu bangun. bangun lebih awal."

Inta memandang kesal kearah Malinda. Dia segera melangkah menuju kekelasnya. Malinda dan Alfazi mengikuti langkah Inta.

"Hei Inta, mobil siapa yang lo embat. Jangan bilang, Lo open-,"

Inta menempelkan buku ditangannya tepat pada mulut wanita yang baru saja berucap. Dengan senyum, Inta berkata. "Lo sendiri juga open kan?"

Tatapan mata Inta membuat Wanita yang usianya tidak beda jauh, segera pergi. Malinda tersenyum melihat tingkah sahabatnya. "Kau buru-buru, pasti ingin membayar utangmu bukan?" tebaknya.

Inta mengangguk, dia melanjutkan kembali langkahnya. Namun, Alfazi menghentikan Inta.

"Utang, Inta dari mana kau mendapatkan uang itu?" Alfazi begitu terkejut dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa, orang yang dia cintai mendapatkan uang dalam satu hari.

Alfazi, pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu Inta. Dia selalu ingin membantu Inta, tetapi gadis itu menolak bantuannya.

Malinda menjauhkan tangan Alfazi, dia berkata. "Kenapa, Lo engak terima? Hei Alfazi, Inta sudah menikah jadi wajar jika dia bisa membayar utangnya. Dia punya seorang suami."

Alfazi semakin terkejut mendengar perkataan Malinda. Dia memundurkan diri, "Is-Istri?"

Inta sudah mengetahui niat Alfazi kepadanya. Namun, jangankan jatuh cinta, Inta bahkan tidak tertarik dengan Alfazi. Apa lagi saat bertemu dengan Zacry Park, dia tidak melirik lelaki lain.

"Benar Alfazi, aku sudah menikah." perjelas Inta.

Dengan tepukkan dibahu, Inta berniat memberikan semangat. Dia melangkah pergi dengan menarik Malinda.

Malinda melirik sesaat kearah Alfazi. Pandangannya kembali kedepan dengan ikut berlari menuju ruang dosen.

"Kau benar-benar mendapat uangnya?" bisik Malinda.

Inta mengangguk, di tepuk tas yang ada dipundaknya. Dengan bangga, Malinda mengacungkan jempol kepada Inta.

"Traktir aku." ucap Malinda. Inta menatap masam kearah sahabatnya. "Eh, ada maunya aja." gerutuk Inta.

Malinda dengan mode bujukkan, mendekat kearah sahabatnya. "Hei, ayolah ... traktis Mi goreng ya, sama teh es." goda Malinda.

Inta menghela napas. langkahnya terhenti di depan ruangan para dosen. "Hm, nanti ya. Aku akan membayar utang ku dulu."

Keduanya melangkah masuk menuju ke meja dosen. Disana sudah terdapat seorang pria tua dengan kepala yang sudah memutih.

"Selamat pagi, pak!" sapa Inta dan Malinda bersama-sama.

Pak Jurya merupakan pembimbing Inta. Dia yang selalu mempertahankan Inta disemester sekarang. Namun, karena utang yang Inta miliki. Pak Jurya harus menahan semua nilai yang Inta dapat.

"Selamat pagi juga. Ada apa?" tanya Pak Jurya.

Inta menyerahkan amplop coklat tepat didepan pemimbingnya. Dengan tersenyum dia berucap, "Ini uang untuk membayar utang Inta pak. Mohon diterima. Semoga Inta bisa menyelesaikan study ini dengan nilai terbaik."

Pak Jurya membuka amplop yang diberikan Inta. Matanya terkejut melihat banyaknya uang di dalam amplop itu. "Bagaimana kamu bisa mendapatkan, uang sebanyak ini?"

Inta hanya tersenyum, dia segera pamit dengan Malinda bersama dirinya. "Lihat, Aku sudah membayar utangku. Sisanya, menyelesaikan tugas menjaga anak 5 tahun itu."

"Haha, aku rasa kau akan kesulitan Inta. Yeah, semoga kau dapat menakluhkan hatinya." Malinda merangkul Inta. Mereka menuju ke ruang kelas karena kelas pagi akan dimulai.

"Oh ya ngomong-ngomong, apa kau tidak kasihan dengan Alfazi. dia pria yang selalu mencintaimu, haha...,"

Inta terdiam mendengar perkataan Malinda. Dia memang ingin memperjelas semua ini. Namun, Alfazi tampak begitu teguh bahwa dia akan membalas cintanya. "Seharusnya, dia tidak mencintaiku." gumam Inta.

Terpopuler

Comments

Senajudifa

Senajudifa

lanjut kim

2023-03-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!