9 : Pernah bertemu

Inta ingin sekali menyembunyikan dirinya ke suatu tempat. Rasa malunya saat ini benar-benar memuncak. Baru pertama kali dia tidak bisa menebalkan mukanya.

Keheningan itu segera diambil alih oleh Inta. dia tertawa dan menepuk-nepuk pahanya. "Hahaha, aku hanya bercanda. jangan di bawa serius. Hahaha ... ehem, Abi kemarilah, aku akan memakaikan pakaian tidurmu." seru Inta.

Abi yang masih bingung hanya menurut. Ini pertama kali baginya, melihat Ibu angkat yang tampak gusar.

Berbeda dengan keduanya, tidak tahu kenapa, Zacry malah berpikir lain. Mendengar kata layani membuat desiran di hati memenuhi ruang kabut dipikirannya.

Zacry menggeleng sesaat, dia dengan pelan berkata. "Perhatikan ucapanmu." Setelah itu, Zacry melangkah menuju kamar mandi dan mengenakan pakaiannya.

Di kamar Abi, Zacry sering tidur atau mandi bersama. Jadi, tidak heran ada pakaiannya di dalam lemari. Pelayan pun tidak berani memindahkan pakaian itu sebelum mendapat perintah darinya.

Inta dekat dengan Zacry sebelum ke kamar mandi. Jadi, Dia mendengar ucapan kecil yang Zacry berikan. "Yeah, aku gugup. Aku hanya asal ngomong aja tadi. Ih, kemana ya aku masukkan kepalaku ini, malunya." benak Inta mengerutuk.

Setelah Abi siap, Inta memutuskan untuk mengerikan rambutnya. "Sekarang, kita keringkan rambutmu." ucapnya. Abi mengangguk dan mengikuti ke mana Inta melangkah.

"Kenapa tuan memandikanmu?" tanya Inta. Dia belum bisa memanggil Zacry dengan namanya. Mungkin di luar nanti, Zacry akan menjadi bahan gerutukkan yang Inta buat saat kesal.

Abi sebenarnya penasaran, kenapa wanita yang menjadi ibu angkatnya, memanggil Ayah dengan kata Tuan. Tidak tahan menyimpan rasa penasaran, Abi pun bertanya. "Kenapa, memanggil Ayah dengan panggilan tuan?"

Inta menghentikan tangannya yang ingin menyalakan mesin pengering rambut. Dia menatap cermin yang menampilkan wajahnya dan Abi. "Kenapa, Abi penasaran?" tanya Inta kembali.

Abi mengangguk. Dia duduk tegap dan menanti sang Ibu angkat mengeringkan rambutnya.

Inta perlahan mengeringkan rambut Abi. Di sela-sela kegiatan yang tengah dia lakukan, Inta pun menjelaskan. "Em, karena ...,"

Abi menatap cermin di depannya. Dia melihat Inta begitu sulit menjelaskan semua itu. Matanya melirik ke arah lain, yang memperlihatkan sang Ayah baru saja keluar dari kamar mandi.

'Apa yang harus ku katakan kepada anak ini. Tugasku sama seperti pengasuh sebelumnya. Merawat dan menjaga. Namun, ada satu tambahan, aku harus memberikan kasih sayang seorang ibu untuknya.' pikir Inta dengan begitu keras.

Setelah beberapa saat terdiam, Dia pun tersenyum dan kembali melanjutkan perkataannya. Tanpa menyadari seseorang sudah berada di sampingnya sendiri. "Karena aku belum terbiasa memanggilnya Ayah atau panggilan lainnya. Bukankah kita perlu menjaga kesopanan juga."

Abi menganggukkan kepalanya, setelah mendengar alasan ibu angkatnya memanggil sang ayah dengan kata Tuan.

"Oke sudah kering, sekarang kita makan malam." ucap Inta. Dia ingin menyimpan alat pengering rambut yang sudah digunakan. "Aku akan mengunakannya, jangan di simpan." ucap Zacry.

Inta terkejut mendengar ucapannya dan segera berbalik badan. Di mata Inta, dia melihat seorang pria yang lagi-lagi memanjakan matanya.

Zacry dengan rambut basah menatap Inta, dengan tatapan datar. Melihat hal inilah yang membuat Inta bertingkah tanpa sadar.

Langkah kaki Inta mendekat. Dia mengusap kepala Zacry dan kembali menyalakan pengering rambut. Diusap rambut basah itu hingga mengering.

Zacry yang melihat tingkah Inta seperti ini, ingin segera menjauhkan diri. Namun, tatapan mata Inta begitu fokus kepadanya. Membuat Zacry diam dan memperhatikan wajah Inta.

Melihat dua orang dewasa tengah sibuk, Abi memutuskan untuk keluar kamar. Dia sudah membersihkan dirinya dan akan bersiap untuk makan malam. Pintu kamarnya di tutup dengan rapat.

"Oh ya, Ayah, Ibu! Abi turun lebih dahulu." ucapnya dengan pelan. Setelah itu pergi menuju ruang tengah.

Di dalam kamar, Inta dan Zacry mendengar apa yang Abi katakan. Namun, seolah tersihir, mereka tetap fokus pada kegiatan awal. Inta mengeringkan rambut Zacry dan Zacry memperhatikan wajah Inta.

Tidak berlangsung lama, Inta tersenyum dan mematikan mesin pengering itu. Dia dengan bangga berucap, "Akhirnya, rambut mu rapi dan kering." tangan Inta diletakkan pada bahu Zacry. Dia memperhatikan rambut yang begitu lembut.

"Sampo apa yang Anda gunakan?" tanya Inta. Dia menatap Zacry dengan jarak yang begitu dekat. Diam sesaat, kesadaran Inta kembali. Dia dengan cepat melangkah mundur untuk menjauhkan dirinya. Namun, keseimbangan yang dia dapat benar-benar kacau.

Zacry segera mengenggam tangan Inta yang ada di bahu. Ditarik tangan itu hingga Inta terteguh dan terjatuh dalam pelukkannya.

Suasana di dalam kamar berubah menjadi panas ac yang seharusnya mendinginkan ruangan, malah ikut membantu memanaskannya.

Inta bingung untuk bertindak. Dia pertama kali mengalami ini semua. Hilang sudah sikap nakalnya dan kepintarannya mengelak. Kini, didekapan Zacry, Inta tampak seperti wanita bodoh. "Iya, kau memang wanita bodoh!" benak Inta mengerutuk.

Zacry menatap Inta yang ingin bangun dan menjauh darinya. Tangan yang di genggam Zacry engan untuk dilepas.

Inta berusaha untuk melepaskan genggaman tangan itu. "Ha, hahaha ... tuan, tolong lepaskan tangan ini. Maaf, bertingkah tidak sopan pada Anda."

Zacry menarik Inta kembali, hingga wajah keduanya begitu dekat. Napas Inta yang berhembus menerpa wajah Zacry. "Apa kita ... pernah bertemu?" tanyanya.

Inta bingung mendengar pertanyaan itu. Selama ini, mereka bertemu hanya karena browsur babysister. Dia tidak pernah menemui Pria tampan seperti di depannya. "Ku-ku rasa, aku tidak pernah bertemu Anda sebelumnya. Jadi, tolong lepaskan tangan ini."

Zacry segera melepaskan tangan Inta. Dia bangun dan menatap cermin. Terlihat rambut yang kering dengan sedikit berantakkan. Tanpa berucap apa-apa, Zacry melangkah pergi.

"Ah, iya Tuan!" pekik Inta.

Langkah kaki Zacry terhenti. Dia tanpa berbalik badan, berkata. "Sebaiknya, di depan Abi. Kau mengubah panggilanmu kepadaku. Agar dia merasakan hangatnya orang tua yang ada di sampingnya. Jadi, berlagaklah seakan kamu pemain utama di sebuah film."

Perkataan panjang itu membuat Inta melongo. Dia mengangguk dan segera berucap. "Kakak Ipar Zivta mengatakan, kalau dia berada di ruang tamu."

Zacry mengangguk dan melanjutkan kembali langkahnya. Meninggalkan Inta yang menghela napas panjang.

"Jad itu yang dimaksud oleh Kakak Ipar. Dia sudah tahu kalau pria kaku itu ada di sini. Sudahlah, aku harus memikirkan panggilan apa yang cocok untuk pria itu. Lalu melatihnya di depan Abi." gumam.

...***...

Di ruang tamu, Zacry melihat Abi dan Kakaknya tengah berbincang sambil menonton serial kartun.

"Benar kah? Paman, apa benar begitu?" tanya Abi dengan wajah berbinar. Kekagumannya membuat Zivta tertawa. "Hahaha, Tentu saja. Ayahmu juga menyukai taman. Kamu bisa membawa ayah bersama ibumu ke sana lain kali."

Zacry dari kejauhan menatap kekaguman Abi. Ingatannya seketika terbayang pada Inta yang baru saja menujukkan wajah yang sama. "Hah, aku sudah gila. Bagaimana mungkin, wajah Abi dan wanita itu sama." benaknya sambil menggeleng kepala.

Zacry melangkah mendekati sofa dan ikut duduk di sana.

"Coba ajaklah ayahmu ini." celetuk Zivta.

Abi menoleh ke arah sang Ayah. Dia mendekat dan meletakkan tangannya di atas paha . "Ayah, bisakah di akhir pekan kita pergi ke taman bersama ibu?" tanyanya.

Zacry mengangkat Abi untuk duduk dipangkuannya. Dengan lembut, diusap pelan kepala Abi. "Tentu, kita akan pergi di akhir pekan."

Abi dengan senyum bahagia memeluk Ayahnya. "Terima kasih Ayah!"

Zivta tersenyum melihat keluarga kecil ini. Tidak hanya dirinya, seorang wanita dari kejauhan ikut memperhatikan ayah dan anak itu.

Waktu makan malam pun tiba, semua duduk di kursi yang mereka pilih. Inta duduk di samping Zacry dan di sampingnya yang lain terdapat Abi, di depan mereka ada Kakak Ipar yang tidak lain adalah Zivta.

"Makan bersama itu lebih menyenangkan dari pada makan seorang diri." ucap Zivta.

Inta mengangguk, dia akui makan seorang diri itu membosankan. "Aku setuju kakak ipar. Makan seorang diri itu memang membosankan. Tetapi, bagi Malinda, makan seorang diri itu yang paling menyenangkan." Inta ikut berucap setelah mendengar perkataan Zivta.

"Eh benarkah? Kenapa bisa dia berkata seperti itu?" tanya Zivta dengan antusias.

"Karena Malinda orangnya suka kesepian. Yeah, meski tidak sepenuhnya benar." sahut Inta.

Abi yang memperhatikan Ibu dan Pamannya berbicara, ikut bergabung. "Ibu, siapa itu, Ma-maynda?" tanyanya.

Inta senang mendengar pertanyaan Abi. Apa lagi panggilan tante berubah menjadi ibu. "Malinda, namanya Malinda, Abi. Dia sahabatku." sahut Inta. Diusap kepala Abi dengan lembut.

Zacry yang tidak tenang dengan pembicaraan ini, memutuskan untuk menghentikannya. Namun, pandangan itu tertuju ke pada wanita yang duduk tepat di sampingnya.

Tidak hanya Zacry, Zivta pun ikut melihat interaksi Inta bersama Abi. Tampak seperti ibu yang sedang memanjakan anaknya.

"Ehem!" Zacry berdehem untuk mengambil alih suasana. Di saat seperti ini, dia tidak ingin memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya.

Inta menatap Zacry dengan wajah bingung. Pria kaku itu mengambil sendok dan menatap ke arah Zivta.

"Makan, tidak ada pembicaraan saat makan." tegurnya.

Semua seketika bungkam. Abi dan Zivta mengangguk lalu bersiap menyantap makan malam mereka. Berbeda dengan Inta yang gelisah ketika suasana menjadi hening. "Apakah makan saja harus seperti ucapara. Penuh kesunyian." keluh Inta di dalam benaknya.

Ini pengalaman pertama bagi Inta. Makan dengan kesunyian tanpa ada pembicaraan. Benar-benar hening seperti rumah tanpa penghuni.

...***...

Inta melangkah menuju ke kamar Abi. Dia mengendong anak kecil yang tengah sibuk dengan tangannya. "Apa yang ada di tanganmu?" tanya Inta.

Abi segera menjawab, "Ini origami buatan paman. Aku akan menyimpannya di kamar."

Kepala Inta mengangguk-angguk. Dia membuka pintu kamar Abi dan mendudukkan anak kecil itu di kasurnya. "Oke, sekarang Abi tidur. Besok, bangunlah lebih awal ya."

"Iya Tante." sahut Abi. Mendengar panggilannya berubah, Inta menahan Abi untuk menatap ke arahnya. "Kau memanggilku Tante?" tanya Inta.

Abi mengangguk. Dia dengan santai melepaskan tangan Inta. Lalu, melangkah mendekati meja belajar. Ditata kertas origami dan dia berkata. "Di depan Ayah, aku akan memanggil Tante, Ibu. Tanpa Ayah," Abi menatap ke arah Inta. "Aku memanggil Tante."

Senyum Inta pudar seketika. Dia tidak tahu, kalau Abi pintar bermain taktik. Tidak hanya itu, dia bahkan terjebak ke dalam permainannya. "Dia, lagi-lagi mempermainkanku." benak Inta.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!