14 : Uang dan Card

Berhenti di wahana Hysteria, Inta menatap kagum melihat indahnya teriakkan orang-orang yang sedang bermain.

“Kau inging bermain itu, Inta?” tanya Malinda. Dia berdiri di samping Inta.

Inta mengangguk, dia menatap Malinda dengan senyum bahagia. “Iya, aku ingin bermain ini. Zacry?” Inta melihat sang Suami yang berdiri tepat di sampingnya.

“Biar aku yang membelinya.” ucap Alfazi.

Mendengar perkataan Alfazi, Zacry segera melangkah pergi terlebih dahulu tanpa berucap apa-apa.

Melihat Zacry yang sudah pergi, Inta menatap Alfazi dengan senyum bahagia. “Tidak perlu Al, Zacry yang akan membelinya.”

Alfazi diam mendengar perkataan Inta. Dia menyadari kalau ada batasan yang dibuat oleh Zacry untuknya. “Apa, apa mereka saling mencintai?” benak Alfazi.

Malinda mendekat ke arah Inta yang masih mengendong Abi. Dia mengulurkan tangannya untuk menyambut anak kecil itu. “Abi, mau bersama tante?” ajak Malinda.

Abi yang melihat Malinda mengangguk, dia dengan cepat menyambut uluran tangan itu. “Eh? Anak ini kenapa mudah banget jatuh cinta denganmu, Mal?” celetuk Inta.

Malinda tersenyum dengan membenarkan posisi Abi digendongannya. “Gampang saja, cukup memberikan yang manis-manis untuknya. Benarkan Abi?” kata Malinda.

Abi tersenyum dan mengangguk, dia mengerti apa yang dikatakan oleh Malinda. “Ibu, tante ini memberiku kembang gula. Aku sangat menyukainya. Tante, bisa aku mendapatkan makanan yang lain?”

Inta diam seketika, dia mengingat perkataan Malinda kepadanya saat ingin bekerja sebagai babysister. “Anak usia lima tahun bisa dibungkam dengan permen!”

“Inilah yang dia maksud saat itu.” benak Inta. Dia menatap Zacry yang datang dengan tiket di tangannya. Senyum Inta seketika terukir, dia bergegas mendekat dan mengenggam tangan Zacry. “ Ini, apa ini benar-benar untukku?” tanya Inta.

Zacry menatap ke arah lain dan menjauhkan tangannya. “Kau ingin bermain di wahana itu kan?. Ini semua ku lakukan karena keberhasilanmu yang bisa dekat dengan putraku.” ucap Zacry.

Inta tersenyum dan segera mengambil tiket yang diberikan. Terdapat dua tiket di tangannya, dia mengerutkan alis, “Ini cuma dua tiket?”

Zacry mendekati Abi yang bersama Malinda. “Aku membelikan satunya untuk Kakak ipar.” Sahutnya.

Inta dan Malinda tercenga mendengar sahutan Zacry. Keduanya saling bersitatap hingga akhirnya mereka tertawa. “Bwahahaha!”

“Astaga, Inta, kau mendengarnya ‘kan? Dia memanggilku Kakak ipar, hahaha.” Malinda mengusap kelompak matanya karena sudah ada genangan air yang siap mengalir.

Inta mengangguk kepala, dia ikut tertawa hingga menepuk-nepuk bahu Zacry.

Melihat Inta dan Malinda yang sepert ini, Zacry tetap memasang wajah datarnya. Berbeda dengan Alfazi yang menatap dengan pandangan serius.

Puas tertawa, Inta dan Malinda saling bertatap dengan senyum khas mereka. Hanya keduanya yang tahu, apa maksud dari senyum itu.

“Abi, bisakah kau bersama Ayahmu dulu. Tante juga ingin menaiki wahana ini.” Malinda menatap Abi yang mengangguk dan berpindah dari gendongannya.

“Oke, kalau begitu Malinda dan aku akan menaiki wahana ini. bisa kalian menunggu kami?” tanya Inta. Zacry mengangguk dan menatap Inta dengan pandangan yang sama, datar tanpa ada ekspresi lainnya.

“Lalu, Alfazi?” lirik Inta. Pria yang mencintainya itu menunjukkan raut wajah yang sudah bisa dipahami olehnya. Siapa yang tidak kecewa jika melihat orang yang dicintai bersama orang lain. meski begitu, Inta tidak memperdulikannya.

Sudah semestinya mereka menjaga jarak. Inta juga sudah menjelaskannya dari awal kalau dia tidak menyukai Alfazi, lebih tepatnya dia tidak memiliki rasa apa pun.

“Hm, aku akan menunggu Malinda.” ucap Alfazi dengan pelan.

Inta dan Malinda melangkah menuju ke wahana bermain. Ucapan pelan Alfazi hanya di dengar oleh Inta, tidak dengan Malinda yang tidak tahu apa pun.

Zacry bersama Abi dan Alfazi, ketiganya menatap ke wahana bermain. Di sana sudah ada Inta dan Malinda yang menaiki wahananya.

Inta melirik dua pria yang menatap ke arah mereka. dia tahu kalau mereka merupakan orang baik. Sedangkan dia, hanya orang biasa yang selalu meminta bantuan, bahkan dengan orang yang ada di sampingnya.

“Hei, dilihat-lihat, suamimu perhatian juga ya.” celetuk Malinda. Inta menolehkan kepalanya untuk melihat sahabat yang selalu membantu setiap saat.

“Bisakah kau berucap dengan kalimat yang baik. Kalau bisa, jangan memanggil Zacry seperti itu. aku bukanlah istrinya.” Inta menggeleng kepala setelah berucap.

Melihat sahabatnya menggeleng, Malinda tersenyum dan memegang sabuk pengaman karena permainan siap dimulai. “Kau bukan istrinya, yeah itu bisa kau gunakan untuk menipu orang yang tidak tahu pernikahanmu. Namun, di mata hukum, kalian berdua sudah di cap sebagai pasangan seumur hidup. kecuali, berita perceraian sudah terdengar. Baru saat itulah, kalian di nyatakan sebagai mantan suami istri.”

Inta terdiam mendengar ucapan Malinda. Permainan yang seharusnya menegangkan menjadi biasa saja. Tidak ada yang teriak di antara mereka berdua.

Selesai bermain, keduanya segera kembali tanpa melanjutkan pembicaraan apa pun. Inta bergegas mendekati Zacry dan Malinda mendekati Alfazi.

“Tuan Zacry, Anda sangat beruntung membawa Inta kemari. Dia sangat ingin menaiki semua wahana yang ada. bisakah Anda menemaninya? Tenang saja, Abi bisa Anda titipkan padaku.” Malinda mengulurkan tangannya untuk menyambut Abi.

Pria tinggi didekat Inta, tampak ragu. Dia melirik Abi yang mengangguk dengan mata berbinar. Dia sangat menanti untuk menyambut gendongan Malinda.

“Ayah, temanilah Ibu untuk bermain di wahana ini, Abi akan bersama Tante Maylidan.” ucap Abi dengan suara yang imut.

Malinda tersenyum dan segera mengambil alih gendongan. Di cium Abi dengan begitu gemas, “Ayoo, bocah kecil ini memanggilku Maylidan. Hei Abi, namaku Malinda. Panggil saja Mal, oke!”

Abi mengangguk puas dan merangkul Malinda dengan suka rela. Melihat putranya yang nyaman bersama Malinda, Zacry melirik Inta yang ada di sampingnya.

“Baiklah, Kakak Ipar, jaga Abi.” ucap Zacry. Malinda tidak bisa menyembunyikan cengirannya. Dia ingin tertawa mendengar panggilan kakak ipar.

“Iya,Iya ... pergilah, oh ya, Alfazi juga ikutlah. Lo juga ingin bermain ‘kan?” Malinda berucap sambil melirik Inta. Dia melangkah pergi membawa Abi menuju stan makanan. “Nikmati waktu kalian!” teriaknya.

Inta bingung dengan tatapan sahabatnya itu, dia melirik dua pria yang begitu berbeda. Terlihat seperti api dan air yang saling mengadu kekuatan.

“Kalian berdua, wahana mana yang akan di naiki?” tanya Inta. Dua pria di depannya segera menjawab bersama-sama.

“Seterah!” kata Zacry dan Alfazi. Inta menggeleng kepala mendengar dan melihat Pria yang kini saling menatap lalu membuang muka.

Dia tidak ingin terjebak di suasana seperti ini. seperti sebelumnya, lebih baik melarikan diri dengan menghindari semuanya. Inta melangkahkan kaki menuju wahana yang lain. ada wahana yang mengacu pada kecepatan. Melihat relnya saja sudah menantang nyali Inta. Dia segera menatap dua pria yang juga menatap padanya.

“Aku ingin bermain wahana ini, jadi...,” Inta mengulurkan tangannya. “Beri aku uang dan aku akan membelikan tiketnya.” Lanjut Inta.

Alfazi merogoh kantong celana miliknya, dia mengambil dompet dan segera mengeluarkan selembar kertas yang bernilai.

Sedangkan Zacry mengeluarkan kartu yang dia bawa, lalu menaruhnya di tangan Inta.

Kedua benda itu berada tepat di depan mata. Inta begitu bingung untuk memilihnya. Kartu penting dan uang juga penting. Semua penting bagi dia yang punya banyak utang. Yeah, dia baru saja membayar utang kuliah, hanya tersisa utang pada Malinda.

“Hm, aku bawa keduanya.” ucap Inta. Dia melangkah menuju kasir untuk mendapatkan tiket bermain.

Inta menatap petugas kasir yang begitu ramah. Senyum terukir yang tidak menarik untuk Inta. Seperti sebelumnya, setelah mengenal Zacry, pria tampan yang lain lewat dari pandangannya.

“Sendiri?” tanya petugas tiket. Inta menggeleng kepala, “Bertiga.” ucap Inta.

Petugas Tiket mengangguk dan segera mengambilkan tiga tiket dengan cepat. “Totalnya empat puluh lima ribu kak.”

Inta menatap bingung dengan dua benda di tangan. dia mendapatkan uang sebesar seratus ribu, lalu kartu yang nominalnya tidak diketahui. Yang pasti, kedua ini adalah uang berharga.

“Hm, apa disini bisa mengunakan card?” tanya Inta. Petugas tiket mengangguk, “Bisa Kak, Anda boleh mengunakan card apa pun. Lalu, scan di sini dan kami akan langsung menarik saldo Anda.” Jelasnya.

Inta terdiam sesaat, dia memikirkan dua benda yang membuatnya bingung. Mengunakan uang Alfazi merupakan pilihan yang bagus, karena dia tidak perlu tampil seperti orang kaya. Namun, card di tangannya ini milik suaminya. Jadi, dia tidak perlu menganti rugi semua yang dibeli. lagi pula, dia di sini sebagai hadiah untuknya.

Inta kembali dengan tiga tiket di tangan, dia mengembalikan uang Alfazi yang masih utuh seperti sebelumnya.

Melihat uangnya masih sama, Alfazi segera menatap Inta dan tanpa sengaja menyentuh bahunya. “Apa ini Inta, seharusnya-,”

Zacry menahan pergelangan tangan Alfazi, dia mendekatkan Inta kepadanya lalu berkata. “Dia tidak perlu uangmu. Aku suaminya, uangku, uang dia juga.”

Alfazi lagi-lagi bungkam. Dia tidak bisa melawan pria yang dikenal pada kota ini. siapa yang tidak mengenal keluarga Park. Keluarga yang memiliki perusahaan di mana-mana dan penerus mereka yang luar biasa. Jika membandingkan dirinya, dia hanya butiran debu yang tidak akan pernah tampak.

“Uangku, uang dia juga?” gumam Inta. Desiran dihati membangkitkan nalurinya setelah mendengar kata uang. Dia merasa senang karena hari ini akan mendapatkan sesuatu yang tidak perlu menguras dompetnya.

“Sudahlah, ayo kita naik.” ajak Inta. Dia menarik dua pria yang kini mengikutinya menuju wahana bermain.

Tidak jauh dari tempat mereka. Malinda dan Abi sedang duduk di kursi dengan menikmati popcorn yang mereka beli.

“Enak?” tanya Malinda. Matanya tidak mengarah kepada Abi, dia lebih memperhatikan interasi tiga orang yang sedang menaiki wahana.

Abi duduk dengan tangan yang penuh makanan. Dia baru kali ini menikmati cemilan yang begitu banyak. Anggukkan kepala diberikan sebagai jawaban, Abi mengambil takoyaki yang diletakkan pada paha Malinda.

“Abi, bagaimana jika suatu saat nanti, Ibumu pergi meninggalkanmu. Apa kamu akan membencinya?” tanya Malinda. Kali ini pandangannya tertuju kepada anak kecil yang sedang mengunyah. Mulutnya begitu penuh hingga pipinya mengembung.

Melihat keimutan itu, Malinda segera mencubit hidung Abi dengan pelan. “Imutnyaa,” pekik Malinda.

Abi segera menghabiskan makanan yang ada di mulutnya, dia menjawab apa yang Malinda tanyakan. “Abi membenci seorang Ibu saat tahu kalau Ibu kandung Abi pergi. Ayah bilang, ada banyak ibu di dunia, dan tidak semuanya jahat. Jadi, jika suatu saat nanti Ibu Inta pergi, Abi akan membawanya kembali.”

Malinda tersenyum mendengar jawaban anak kecil di depannya. Dia hampir lupa jika usia Abi baru saja lima tahun. “Kamu benar, buatlah Ibumu tidak bisa meninggalkan kalian.” tutur Malinda dengan senyum yang jarang dia tampilkan.

“Hm tante, kartu yang tante gunakan sama seperti milik ayah. Berwarna hitam yang, hm ... jarang di gunakan semua orang.” celetuk Abi. Senyum Malinda semakin menjadi. “Ssttt!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!