Hujan Pembawa Pesan Rindu

Hujan Pembawa Pesan Rindu

Prolog

Hujan tak selamanya menyenangkan. Terlebih bagiku, ketika aku melihat hujan maka aku akan merana dan mengingat kisah itu. Kisah dimana aku bersamanya di hutan kota dimana pada saat itu, hujan turun dan kita tertawa bahagia bersama. Kenangannya semua terabadikan tidak hanya dalam benakku. Foto, sastra hingga lukisan ku buatkan khusus untuknya. Siapakah orang yang aku anggap spesial itu? Jika ada yang menjawab pacar maka aku anggap kurang tepat ya….

Dia sahabatku. Namanya Embun Paramastri. Kebetulan sekali ya, namanya embun yang sama-sama berhubungan dengan hujan. Seperti yang aku bilang sebelumnya, dia adalah anak penyuka hujan namun tidak dengan suara petir. Sungguh lucu bukan? Ya karena itu aku suka padanya. Hingga suatu saat ia menghampiriku.

“Angga! “panggilnya berlari melambaikan tangan ke arahku.

Aku berbalik ketika mendengae suara manisnya. Dia dengan cerianya berlari hingga berhenti di depanku.

“Kenapa?”ucapku ketika ia berdiri di hadapanku.

“Besok temenin main yuk! “jawabnya dengan nada cerianya.

“Hayuuk! Main kemana emangnya? “ucapku bertanya karena tak biasa ia mengajakku terlebih dahulu.

“Pertama temenin aku ke toko buku terus lanjut ke hutan kota, “jawab Embun menjelaskan planning yang ia susun dengan matang.

“Tumben ke hutan kota. Biasanya aku ajak jogging gak mau, giliran mau malah beli bakso deket pintu keluar, “jawabku mengingatkan ketika Embun yang meminta izin ke toilet. Bukannyake toilet, ia malah melimpir ke tukang bakso.

“Lah abisnya laper. Kan udah jogging sebelumnya. Setelah jogging ya ngisi perut lah, “jawab Embun dengan entengnya.

“Katanya diet, “balasku membuat Embun cemberut. Tangannku dengan reflek mencubit pipinya yang kemudian di tangkis oleh sang empunya.

“Sudah? Pokoknya besok aku mau foto-foto di sana, “ucap Embun dengan yakin.

Aku menganggukkan kepala menyetujui keinginannya.

“Besok aku jemput, “ucapku dibalas dengan simbol oke olehnya.

Seperti biasa. Namanya cewek pasti habis pusing mikirin UAS ya nongki-nongki sambil ghibah. Setelah aku pikir-pikir mungkin karena habis ujian mangkanya ia ngajak ke hutan kota.

Aku berjalan ke arah parkiran mencari keberadaan motorku. Aku cari dimana-mana ternyata aku parkir di ujung. Helm aku pakai, kemudian aku lajukan motorku. Jalanan kota yang ramai meskipun belum waktunya makan siang adalah hal biasa bagiku.

Oh iya. Aku lupa memperkenalkan diriku. Perkenalkan namaku Angga Narendra. Anak bontot yang selalu menjadi babu nya para kakak. Kalian pasti pernah merasakannya bukan? Sebagai anak bontot suka-duka apa yang telah kalian alami.

Aku parkirkan motorku di garasi bersama dengan kendaran lainnya. Aku berjalan ke ruang utama menuju kamarku yang berada di lantai dua. Keadaan rumah sepi karena mungkin hanya aku yang pulang. Aku rebahkan diriku di atas kasur yang empuk. Guling aku peluk dengan erat.

“Rebahan adalah hal yang menyenangkan,”ucapku pada diriku sendiri.

Sejenak aku beristirahat kemudian aku berjalan ke ruangan pribadiku. Semua koleksi buku-buku ada di sana dan menjadi tempat ternyaman bagiku.

Aku ambil kanvas kosong dan segala peralatan melukis aku bawa kemudian aku tata. Perlahan aku goreskan cat tersebut ke arah kuas. Suasana hening mendadak terdengar suara rintikan hujan yang semakin deras. Aku berhenti dan aku tengok ke jendela. Hujan lebat datang secara cepat disertai kilatan petir. Berhubung ruangan pribadiku di dominasi interior kaca jadinya terlihat jelas pemandangan di luar. Suara gemuruh terdengar cukup keras.

“Apa dia baik-baik saja? “ucapku meraih handphone di meja mencari nomernya dan kemudian aku telfon.

Aku lihat bahwa dia online namun tak menjawab telfonku.

“Memanh kebiasaan ini anak, “ucapku kesal namun sedikit khawatir.

“Halo? “ucap suara dari ujung telfon.

“Kamu kemana aja. Kenapa gak di angkat,? “ucapku dengan nada sedit kesal.

“Aku di depan pintu rumahmu, “jawab Embun.

“Hah! “ucapku terkejut.

Buru-buru aku menuruni anak tangga membuka pintu rumah di sambut dengan Embun yang berdiri di depan pintu dengan baju basahnya.

“Yaampun….. “Ucapku membawa Embun masuk memberikan handuk menyuruhnya mandi.

Embun menerima handuk tersebut berjalan ke arah kamar mandi. Aku ke dapur membuat minuman hangat. Ya apalagi kalau bukan teh. Teh dengan jahe aku buatkan untuk Embun. Beberapa saat kemudian ia turun dari tangga menghampiriku.

“Wahhh. Baunya enak, “ucapnya melirik teh buatanku.

“Ini teh jahe. Minum dulu biar gak masuk angin,”ucapku menyodorkan teh tersebut.

Embun dengan hati-hati menyeruput teh. Sejenak ia mencium aromanya menggelengkan kepala.

“Kayaknya ada yang kurang nih?”ucapnya membuatku kebingungan.

“Apanya yang kurang. Perasaan cuman teh jahe biasa, “jawabku jujur.

“Harusnya tiap hari ada yang buatin kayak gini, kan enak berasa punya suami, “ucap Embun tertawa.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar jawaban Embun. Pintu rumah terbuka dan seorang wanita masuk menghampiriku.

“Loh kakak udah pulang? “tanyaku terkejut ketika melihat kakak kedua ku pulang lebih awal.

“Iya. Soalnya udah gak ada kerjaan lagi ya pulang aja, “ucap kakakku terkejut melihat kedatangan Embun.

“Eh Embun ada disini ternyata, “ucap kakakku terlihat senang.

Embun hanya tersenyum canggung menyapa kembali kakakku.

Dengan segala bujukanku akhirnya kakak keduaku mengizinkan Embun untuk tinggal bersebelahan di kamarnya. Aku pun setuju. Selesai makan malam hujan masihlah lebat. Aku berjalan kembali ke kamar dan melanjutkan lukisanku hingga jadila mahakarya terindah dari seorang Angga Narendra ini.

Esok pagi hujan telah reda. Aku mendengar suara sibuk di dapur lantai bawah. Kulihat Embun bersama kakakku tengah memasak bersama. Embun tak sengaja melihatku.

“Eh, Tuan Muda yang ganteng baru aja bangun. Sini! Duduk dulu, “ucap Embun dengan senyuman manis bak resepsionis hotel.

Kakakku menahan tawa. Aku turun sembari menggerutu. Aku merasa itu bukanlah pujian, namun seakan ejekan berbalut majas.

Makanan siap disajikan di meja makan. Semuanya duduk. Aku mulai berdoa mengepalkan tangan sembari memejamkan mata. Kulirik kakak keduaku melakukan hal yang sama dan Embun pun berdoa mengadah kedua tangannya sedangkan aku? Mengepal.

Selesai berdoa, semuanya mulai makan. Beberapa saat kemudian Embun beranjak berdiri, ia berniat membawa piring kotor tersebut ke belakang namun dicegah oleh kakak keduaku.

“Gak usah repot-repot. Tumpuk jadi satu dimeja, nanti bibi dateng gak lama lagi, “ucap kakak keduaku.

Embun menurutinya. Ia menumpuk tumpukan piring tersebut menjadi satu di atas meja.

“Nanti jadi kan? “tanyaku kepadanya.

Embun menganggukkan kepalanya. Aku beranjak berdiri bersiap kembali ke kamar.

“Embun! “panggil kakakku.

Embun menoleh. "Ada apa kak? " tanyanya.

"Aku mau bicara sebentar denganmu, " jawab kakakku.

Embun kembali duduk. Mereka saling berhadapan.

"Boleh gak, kalau kakak titip Angga ke kamu? " ucap kakakku membuat Embun terkejut dan bingung.

"Kakak mau kemana? " tanya Embun.

"Kakak udah berkeluarga. Kakak ikut suami ke luar negeri. Angga sendirian, kakak kasihan tapi kakak gak punya pilihan lain. Kamu cewek baik-baik buat angga, " jawab kakakku.

"Tapi kak Sel, aku dan angga gak ada perasaan apa-apa. Cuma temenan, " ucap Embun menolak.

"Yaudah, tapi kakak cuma nitip. Kalau Angga kenapa-napa tolong kabarin ya, " Balas Kak Sela.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!