Aku di dalam dipersilahkan duduk. Azura membawakan minuman kepadaku.
"Diminum, " ucapnya kepadaku.
Aku meraih segelas teh hangat dan kuminum sedikit.
"Kenapa? " tanyaku kepadanya.
"Gak apa-apa kok. Cuma hal biasa, " jawab Azura.
"Kalau gak ada apa-apa kenapa aku tanya kamu nangis? " balasku.
Azura benar-benar menangis. Air mata mengalir deras turun membasahi pipinya. Aku beranjak berdiri membawanya duduk sembari aku peluk. Aku elus-elus kepalanya. Dia benar-benar sedih dan berada pada titik terendahnya saat ini.
"Aku capek," ucapnya kepadaku.
"Kenapa dia membuatku seperti ini! Dia mengancamku dan menyiksaku! "
Dia menatap wajahku. Aku hapus air mata dari pipinya dan kutatap wajahnya dengan serius.
"Ceritalah jika ingin. Kalau enggak menangislah hingga hatimu tenang. Aku disini untukmu, " ucapku menenangkannya.
Dia mempererat pelukannya. Ku dengar tangisannya semakin lirih dan tak bersuara. Aku pikir akulah yang menambah masalah untuknya.
"Aku minta tolong sebentar saja seperti ini, " ucap Azura samar-samar aku dengar.
Aku mengiyakannya. Aku benar-benar memeluknya. Perasaanku seakan deja vu dimana hal ini sama persis ketika aku memeluk Embun pada saat itu. Azura mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya sendiri.
"Aku minta waktumu mendengar ceritaku, Bolehkah? " tanya Azura.
"Ceritalah, " balasku.
Azura mulai menenangkan diri. Dia menghirup nafas kemudian ia hembuskan dengan pelan.
"Dia pacarku, " ucap Azura.
"Sejak kapan? Bukankah kamu mengatakan mantan pada saat di pesawat? Kamu juga terlihat bahagia ketika bersamanya diluar, " ucapku terkejut ketika mengetahui kenyataannya.
"Aku malu untuk mengatakannya. Apa yang dikatakannya benar bahwa aku telah kotor, " ucap Azura.
Aku tak mengerti maksud dari kata kotor yang ia bicarakan.
"Aku dilecehkan ayahku sendiri waktu dia pulang mabuk. Ibuku tak berdaya karena sama-sama mengalami KDRT. Kata ibu tiriku bahwa aku punya tiga saudara tiri, dua perempuan dan satu laki-laki. Ibuku tak mengatakan dimana mereka berada karena dia malu. Ibu kabur dan menikah dengan ayahku, dia sendiri yang cerita. Aku menyembuhkan luka karena seseorang yang baik kepadaku. Dia mengatakan tak akan pergi, namun kenyataanya adalah sama. Dia pergi meninggalkanku. Aku frustasi dan menemukan pria yang baik dan ternyata sama seperti ayahku, dia melecehkanku, "ucap Azura tertunduk lesu. Dia benar-benar tak berdaya.
Aku tak menyangka bahwa ayah mana yang kejam merudapaksa anaknya sendiri. Dia telah gagal menjadi seorang ayah karena jatuh cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya sendiri. Aku peluk kembali tubuhnya yang rapuh. Aku tak tahu harus bagaimana. Sifat yang ceria menutupi kisah kelam hidupnya. Aku dan dia sama-sama berangkat dengan tujuan menyembuhkan luka hati.
Aku sangat berharap dia segera menemukan kakak laki-lakinya. Ketika proses itu, aku akan menggantikan kakak laki-lakinya dalam status sebagai seorang sahabat dekat.
"Kalau nangis, menangislah. Biarkan aku tahu rasa sakitmu. Jangan hanya tersenyum dan tertawa karena itu akan membuatmu tersiksa. Berteriaklah jika tak mampu, " ucapku kepadanya.
Dia hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Aku usap dengan pelan.
"Aku pulang dulu ya? " tanyaku kepadanya.
Dia menganggukkan kepalanya mengiyakan.
"Kalau ada apa-apa telfon aja, atau jika dia datang kesini telfon langsung, " ucapku memberi wejangan kepadanya.
Aku keluar dan kututup pintu kamarnya. Aku berjalan di luar gedung berniat kembali ke apartemenku sendiri. Entah mengapa hari ini terlalu sunyi. Seseorang memukulku hingga aku terjatuh. Aku berbalik melihat siapa dia.
"Gak usah sok jadi cowok! " ucapnya dengan amarah.
Dia bersana dua orang temannya tengah menertawanku. Dia berasal dari negara yang sama sepertiku. Terlihat mereka lebiu senior dibandingkan aku. Kedua temannya memegang kedua tanganku dan dia memukul perutku berulang kali. Rasa nyeri seketika menjalar ditubuhku. Pada saat itu perasaan menyesal seketika muncul. Mengapa aku tak bisa membela diri?
Jantungku berdegup kencang. Keringat membasahi tubuhku. Pikiranku benar-benar kalut pada waktu itu.
"Lo tuh gak cocok jadi cowok!"
"Gimana mau jadi cowok kalau kalem-kalem kek gini? "
"Feminim boy mungkin? "
Mereka menertawakanku dengan puas. Aku melihat mereka melepaskan kedua tanganku segera aku berlari. Aku memasuki gedung dan pintu kamarku aku buka. Aku mencari obat penenangku disegala tempat hingga tak sengaja aku menemukannya di tas. Aku buka dan aku telan obat itu. Jantungku benar-benar berdetak kencang. Traumaku kembali muncul. Melihat mereka tertawa puas mengrebungiku mengingatkanku pada waktu dulu.
Waktu kecil aku pernah dibully hingga mentalku benar-benar hancur. Perkataan mereka membuatku sakit hati dan merasa rendah diri. Suara-suara tertawa mereka terdengar ditelingaku hingga aku benci. Aku menutupinya dengan kedua tanganku. Aku memukul kepalaku berusaha menyadarkan bahwa itu semua ilusi.
"Dasar anak yatim! "
"Hahahahaha! Anak janda miskin mana mungkin sukses! "
"Cowok kok gak ngerokok? Banci ya? "
"Jadi cowok tuh kudu ngerti olahraga. Gak cuma masak di dapur"
"Si paling feminim boy"
"Cowok kok cantik. Situ beneran cowok apa cewek? "
"Dasar lemah dan penakut! "
Aku mendengar perkataan itu semua berputar-putar dikepalaku. Aku berusaha menyadarkan dirimu sendiri.
"ARKHHHH!!! "Teriakku frustasi.
Aku menahan diriku untuk tak menyakiti diriku sendiri ketika melihat pisau dimeja. Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Aku menoleh melihat ke arah jendela. Langit benar-benar gelap terdengar suara gemuruh.
"Dimana ada hujan, disitu aku berdiri"
Aku beranjak berdiri dan mengingat perkataan wanita cantik itu yakni Embun. Aku membayangkan Embun tengah berdiri di kamar sebrang. Aku keluar dan berdiri di balkon kamar.
"Embun? " ucapku dengan pelan.
Wanita yang ada di kamar sebrang menoleh. Aku menggelengkan kepala melihat untuk kedua kalinya bahwa itu bukan Embun, tapi Azura. Dia tengah tersenyum melihatku. Akupun membalasnya. Dia mengucapkan kalimat pelan dan aku melihat jelas melalui bibirnya. Dia mengatakan "kita sama-sama berjuang menyembuhkan luka. Semoga Tuhan memberkati" Itulah yang aku tangkap dari ucapannya itu.
Aku berbalik masuk ke dalam kamar. Pikiranku menjadi tenang setelah melihatnya. Entah mengapa wajahnya seperti obat bagiku. Malam ini hujan turun dengan deras. Aku duduk diranjang bersender sembari menukis sesuatu. Entah mengapa ketika hujan, pikiranku menjadi tenang. Beberapa saat kemudian tulisanku telah sempurna. Tetap puisi yang aku tulis yang berjudul "Bagaimana jika aku nanti mati"
Tidak ada seorang pun yang tahu kapan mereka mati. Takdir hanya diketahui oleh Tuhan. Seperti masa lalu yang harus diselesaikan dengan damai agar hari ini menjadi tenang. Semua orang pasti akan datang ketika salah satu orang terkasih meninggal. Hanya saja sebagian orang tak merasakannya, bukan karena ia meninggal saja. Namun karena mereka tak memiliki saudara. Apakah aku akan seperti mereka yang meninggal dalam kesepian tanpa orang lain tahu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments