Embun menganggukkan kepalanya. Kak Sela pergi meninggalkan dapur. Aku dari atas tangga mendengar ucapan mereka dan aku tak menyangka Embun mengatakan seperti itu.
"Apakah aku terlalu berlebihan berharap? Tapi perasaan ini bukan aku yang menciptakan, " gumamku pelan menuruni anak tangga.
Embun mendongak melihatku turun. Ia sedikit terhenyak ketika melihatku.
"Eh! Aku belum siap-siap! " ucap Embun terburu-buru pergi.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Embun.
"Ren! " Panggil kakakku.
Aku menoleh. "Kakak berangkat sekarang ya, jaga baik-baik dirimu sendiri" ucapnya.
Akupun mengangguk sembari tersenyum. Pintu depan ku dengar terbuka kemudian tertutup.
"Ayo! " ucap Embun bersemangat.
Kupakaikan helm di kepala Embun. Dia tampak senang melihat perlakuanku begitupun denganku. Pipinya seakan terjepit oleh helm bogo. Ingin aku rasanya mencubit pipi gembulnya dan ku toel-toel. Betapa lucunya saat dia marah. Motor aku nyalakan. Beberapa menit aku tunggu sebelum ku lajukan. Perjalanan ke toko buku di kota hari ini dengan suasana yang sedikit mendung dan genangan air sisa hujan tadi malam.
Aku fokus mengendara tetapi tidak dengan penumpangku. Dia asik menoleh kesana kemari sembari menunjuk-nujuk gerobak makanan.
"Aku pernah kesana. Cilor paling mantep! "
"Eh! Itukan siomay mas-mas ganteng " ucap Embun ketika melihat gerobak bertuliskan batagor dan siomay serta mas-mas ganteng tersenyum ketika melayani pembelinya. Akupun melihatnya dan penasaran nama dari mas-mas tersebut.
"Kamu tahu siapa namanya? " tanyaku.
"Ha! " balas Embun sembari mendekatkan kepalanya.
"Kamu bilang apa tadi! " ucap Embun menaikkan suaranya.
Dengan segala kesabaranku dan kelembutan pangeran tampan ini, aku ulangi lagi pertanyaanku.
"Kamu tahu mas-mas itu siapa namanya? " tanyaku dengan lembut.
"Ohhh...." balas Embun.
Perasaanku seketika pasrah mendengar balasannya. Dengan entengnya dia bilang 'Ohhh' apa semua wanita sama? Kalau gak bilang 'hmmm' ya 'terserah'. Aku sampai bingung sama mereka.
"Dia namanya mas Danang. Orangnya ganteng dan ramah. Batagornya enak. Tapi aku biasanya suka beli campur karena kalau beli satu suka bingung. Jadi, ya campur aja, " ucap Embun.
"Ohhh... " Balasku.
"Eh! Kok cuma 'ohh' doang sih.. Kan gak enak didenger tauk! " ucap Embun.
Aku mengangkat bahuku berpura-pura tak mendengarnya. Lampu hijau berubah menjadi merah. Akupun berhenti.
"Embun! " Panggilku kepadanya.
"Ya, ada apa? " tanya Embun.
"Kalau kamu pacaran nanti, kamu bakal inget aku gak? " jawabku.
"Loh! Kamu kok gitu sih... Kan belum ada cowoknya, " balas Embun menggerutu.
"Ya, siapa tahu ada, " ucapnya tertawa ringan.
Lampu berubah menjadi hijau. Motor ku lajukan kembali. Hari ini tampak ramai dengan kendaraan berlalu-lalang dijalanan. Semua orang berlibur dengan orang-orang terkasih. Termasuk aku bukan?
Toko bunga tempat yang dituju terlihat di depan. Aku kurangi kecepatan motorku kemudian berhenti. Embun turun terlebih dahulu.
"Bisa buka helm gak? " tanyaku melihat Embun tampak kesal dengan kancing helm yang tak mau lepas.
Aku raih kancing helm tersebut dan ku sentuh kemudian terdengar suara 'klik' seketika helm terbuka. Aku ambil helmnya dan ku taruh di atas motor. Terlihat gigi Embun yang putih karena ia tersenyum lebar.
Dia duluan masuk ke dalam toko. Suara lonceng terdengar. Toko buku yang berada di tengah keramaian kota ketika masuk ke dalamnya, suasan hening terasa. Sangat nyaman berlama-lama disana. Aku lihat Embun berada di depan rak buku yang berada di barisan kedua dari selatan. Aku hampiri mereka dia yang tampak fokus melihat-lihat buku di depannya.
"Kamu mau buku genre apa? " tanyaku kepadanya.
"Aku ingin genre romance sih, tapi yang sad kek friendzone gitu loh, " Jawab Embun.
"Friendzone? " gumamku melihat rak buku berjejer novel romance. Aku tertarik pada sebuah buku yang menurutku judulnya unik.
"Mungkin ini cocok sesuai permintaanmu, " ucapku memberikannya kepada Embun.
Embun menerima buku tersebut dan menyetujui ucapanku.
"Dua tak pernah menjadi satu. Memang unik judulnya. Covernya bagus, " ucap Embun.
"Yok! "
Aku mengikuti Embun yang memimpin jalan. Aku sedikit heran mengapa ia membeli buku hanya satu.
"Cuma ini kak? " tanya pegawai kasir.
Embun menganggukkan kepalanya. Pegawai kasir mengucapkan harga dari buku tersebut dan memberikannya struk belanjanya. Uang seratus ribu aku keluarkan dari dalam dompet dan kuserahkan kepada pegawai pasir.
"Eh! " ucap Embun.
Aku segera mengajak Embun meninggalkan kasir. Dia melihatku mengungkapkan pertanyaan mengapa.
"Kan aku yang beli novel dan juga hobbyku. Aku kan gak enak, " ucap Embun.
"Halah udah! Itung-itung traktiran gajian pertama, " ucapku menepuk-nepuk kepalanya.
Aku heran apakah sesenang itu dia mendapatkan buku novel baru hingga ia dengan semangat duduk di atas motor.
"Cepetan! Mau ujan! " ucap Embun.
Aku pakai helm dan aku naiki motor tersebut. Aku lajukan motor dalam kecepatan sedang.
"Beneran jadi? " tanyaku.
"Jadi! " balas Embun.
Tak lama kemudian. Sampailah di parkiran hutan kota. Hawa sejuk seketika menyambut kedatangan kita berdua. Embun turun dari motor dan melepas helmnya memberikannya kepadaku. Aku lihat dia tak sabar dan masuk terlebih dahulu. Aku susul dia dari belakang. Dia berjalan menikmati suasana sejuk dan tenang. Aku melihat hutan kota jarang ada pengunjung membuatnya tampak lebih leluasa mengekspresikan suasana hatinya. Dia duduk di kursi taman di depan air mancur. Ku hampiri dia ketika muliai membuka plastik pembungkus buku.
"Ini adalah kisah dimana dua orang sahabat yang saling menyukai namun tak berani berucap hingga salah satu dari mereka menyadari pentingnya saat itu, " ucap Embun membacakan halaman pertama dari buku tersebut.
"Menarik, " ucapku mengejutkan Embun.
"Ya. Sepertinya ini friendzone"
Embun membaca buku novel dengan tenang. Aku tak ingin menganggunya. Aku beranjak berdiri pergi meninggalkannya. Aku duduk tak jauh darinya. Aku ambil hanphone dari saku ku potret Embun dari kejauhan. Aku baru sadar dia mengenakan dres putih memiliki brukat bunga-bunga kecil. Panjangnya selutut mambuatnya lucu. Aku lihat hasil jepretanku dan bibirku tanpa sadar tersenyum.
Aku duduk melihatnya terus-menerus tanpa membuatku bosan. Ekspresi seriusnya membuatku terpana. Sesekali ia menyibakkan anak rambut yang mengganggu dirinya. Hujan tiba-tiba turun. Aku membeli payung yang kebetulan penjualnya lewat. Entah karena keberuntungan atau apa.
"Hujan! " ucap Embun panik.
Aku berdiri sembari memegang payung agar Embun tak kehujanan.
"Eh! " ucap Embun terkejut.
"Lanjutin aja bacanya," ucapku kepadanya.
Embun menggelengkan kepalanya. Ia menyimpan kembali buku novel yang ia baca ke dalam tas nya.
"Mending hujan-hujanan! " ucap Embun dengan antusia berdiri.
Hujan semakin lebat. Dengan permintaan Embun, aku memindahkan payung membuatnya merasakan hujan. Dia memejamkan matanya merasakan rintikan hujan mengenai tubuhnya. Aku melihatnya seakan merasakan kesedihan mendalam darinya.
"Dia menangis? " gumamku.
Ya benar. Dia memang benar-benar menangis. Aku peluk dia dari belakang ku tenangkan dia yang menangis. Embun terisak dipelukanku. Aku merasakan betapa sedihnya ia saat ini. Jika ada orang yang menyukai hujan, mungkin dia menyembunyikan kesedihannya. Karena hujan datang dengan suara bisik namun menenangkan. Mereka memeluk orang-orang yang sedang kesepian dan hanya dengan suaranya, orang bisa menangis tanpa diketahui oleh orang lain.
"Pulang yuk! " ajakku membujuk dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments