Aku Menghargai Keputusanmu

Embun menggeleng. Ia tak mau lepas dari pelukanku. Dia mendongak melihatku sembari sesekali matanya terkena air hujan membuatnya kesulitan membuka mata.

"Aku kesepian, " ucap Embun pelan namun suara itu dapat aku dengar dengan jelas.

"Ada aku. Mengapa merasa sepi? " tanyaku kepadanya.

"Aku merasa kesepian jika sendiri, " ucap Embun sekali lagi.

"Ada aku yang menemanimu dikala sepi, " balasku kepadanya.

"Aku tahu itu, namun bukan kamu yang aku inginkan, " ucap Embun.

"Lantas aku kamu anggap apa? " tanyaku kepadanya. Dadaku terasa sesak seketika.

"Sahabat! Aku menganggapmu hanya sebagai sahabat, " jawab Embun.

Aku menangis di bawah rintikan hujan dengan Embun yang kupeluk erat. Aku tak kuasa menahan sesak ketika mendengar jawabannya. Aku tak boleh marah hanya karena dia menganggapku sahabatnya. Bukannya dari awal memang sahabatan? Aku memang laki-laki yang tak pernah puas dengan satu hal. Bodohnya aku karena menginginkan lebih darinya. Siapa aku hingga lancang mengatur perasaannya karena tak sama denganku.

Seorang laki-laki yang tak terlalu mengerti olahraga. Tak menyukai yang namanya kekerasan dan kebanyakan memiliki teman perempuan hingga di cap sebagai laki-laki melambai. Aku memang tak tahu terima kasih menginginkan lebih dari seorang Embun Paramastri yang satu-satunya teman dekatku. Orang yang paling menganggap diriku berharga dan satu-satunya orang yang menyembuhkan lukaku. 6 tahun dia ada untukku, di sampingku menemani sosok laki-laki pengecut sepertiku. Dia berhak bahagia mendapatkan lebih dariku. Aku bukan siapa-siapanya tak lebih dari seorang sahabat.

"Jika kamu menganggapku sebagai sahabat. Bolehkah aku menganggapmu sebagai kekasih?" tanyaku kepadanya

Embun menganggukkan kepalanya. Aku tersenyum ketika ia merespon.

"Karena suka kepada seseorang tak bisa dipaksakan meskipun berbalik, maka tak bisa mudah melupakan, " ucap Embun.

Aku memejamkan mata berikut dengan Embun melakukan hal yang sama. Hari itu adalah hari dimana aku meluapkan perasaanku kepadanya dan hari itu juga adalah hari dimana aku patah hati untuk yang pertama.

Rabu, 12 Mei 2019

Semenjak kejadian di hutan kota, aku jarang melihat Embun. Kita tak sedekat dulu, teman-temanku bertanya-tanya mengapa? Namun aku hanya menjawab baik-baik saja. Aku sibuk skripsi, bimbingan berkali-kali hingga di acc oleh dosen pembimbingku. Hari ini adalah hari dimana akhirnya aku mengenakan toga yang menandakan aku lulus. Gelar sarjana ekonomi telah aku sandang. Aku menunggu namaku dipanggil. Setelah beberapa saat giliran aku naik ke panggung. Perasaan sedih, senang dan bercampur haru. Aku lulus dengan predikat terbaik. Tali toga dipindahkan. Aku berfoto di atas panggung dengan senyuman sempurna.

Menuruni anak tangga, aku kembali ke tempatku. Suasana sedih muncul di dalam diriku. Semuanya ditemani oleh orang tua, sedangkan aku? Tak ada siapapun yang datang. Aku berada di anak tangga kampus sembari melihat para wisudawan berfoto dengan orang-orang terkasihnya. Pandanganku tak sengaja menangkap sosok cantik yang tengah berfoto dengan kekasihnya. Buket bunga ia pegang dengan senyuman sempurna ia berfoto.

"Embun, " gumamku ketika melihatnya.

Aku menghirup nafas panjang kemudian aku buang. Rasa sakitku telah usai dan tak perlu aku menengok ke belakang. Aku berjalan menuju ke tempat yang sedikit sepi. Aku duduk di bawah pohon rindang sembari menikmati angin lembut menerpa tubuhku.

Sakit ku rasakan sama seperti dulu. 6 tahun kita bersama dalam hubungan tanpa status yang jelas dan ketika aku melihatnya bersama dengan orang lain, aku merasa tak rela. Mengapa perasaan ini tak bisa kubohongi. Sekarang aku tahu mengapa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia memiliki akal dan hati nurani yang tak pernah bohong akan suasana hati yang dirasa.

"Mengapa kisah cintaku sama seperti keluargaku? Sama-sama tak bisa bersatu, " ucapku sendu.

Aku terkejut ketika seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh siapa orang yang menepukku dan ternyata adalah Embun.

"Selamat ya... " ucap Embun tersenyum menjabat tangannku.

Aku membalasnya dengan senyuman ramah. Aku lihat pria disampingnya juga memperkenalkan dirinya.

"Agung," ucapnya menjabat tanganku.

Aku membalasnya dengan senyuman. Kulihat mereka benar-benar serasi. Kamera ada di tangan kanan Agung.

"Boleh gak masnya agak deketan? " tanya Agung.

Kebetulan pada saat itu posisiku di samping Embun. Aku tanpa sadar mengikuti arahannya. Jepretan dari kamara Agung menyadarkanku, seketika aku menjauh.

"Maaf, " ucapan seketika terlontar dari mulutku.

"Gak papa kok mas, cuma buat bahan foto bingkai, " balas Agung tersenyum canggung.

Aku tak tahu harus membalasnya bagaimana. Aku merasa tak nyaman lantas berpamitan. Menahan perasaan rindu yang salah adalah hal berat bagiku.

"Dia mantanmu dulu? " tanya Agung.

Embun menggeleng. "Dia sahabatku, tapi itu dulu, " jawabnya.

"Ohhh... " ucap Agung.

Aku berada di dalam mobil. Aku ingin pergi meninggalkan area kampus namun sesuatu mengganjal di hatiku.

"Mau pulang tapi kemana? Rumah kok gak kayak rumah, " ucapku jengkel.

Jika semua orang dihadiri orang-orang terkasih maka aku satu-satunya orang yang sendiri. Ayah meninggal, ibu menikah lagi entah pergi kemana. Kakak? Mereka semua punya keluarga dan tak pernah mengunjungiku. Mungkin jika aku mati, mereka baru datang. Aku menyalakan mobil kemudian melaju keluar dari parkiran. Ku pandang dari spiom mobil kampus tercintaku pada saat itu aku membulatkan tekad.

"Melanjutkan S2 adalah hal terbaik, " ucapku membulatkan tekad.

Beberaa hari kemudian aku mengisi formulir melanjutkan S2 di luar negeri. Aku menutup laptop dan menghela nafas panjang. Semenjak saat itu aku telah meninggalkan semua hobbyku karena semuanya telah aku kubur bersama kenangan abu-abu. Aku meraih handphone ku, aku membuka instagram dan melihat beberapa post foto teman-teman wisudaku. Aku terkejut ketika melihat seseorang menandaiku di postingannya. Aku buka dan ternyata itu adalah Embun yang menandaiku.

Foto yang dia post adalah foto bersamaku tadi. Aku baru sadar bahwa kebaya yang ia kenakan warnanya sama dengan batik yang aku pakai waktu itu. Aku melihat caption foto tersebut.

"Terima kasih menjadi sahabatku selama 6 tahun ini"

Like dan komentar di postingan tersebut cukup banyak meskipun hanya sebentar. Aku yang penasaran membuka komentar dan menemukan beberapa komentar dari akun lain.

"Berarti udah pacaran dong? Apa dilamar! "

"Congrats ya cantikk.. "

"Ih kebayaknya bagus. Spill dong! "

"Udah dilamar? Yah.... Udah ada pawangnya"

"Tips awet 6 tahunnya kak.. . "

"Busett! 6 tahun? Itu beneran? "

"Sengaja? " gumamku

Aku berusaha menyangkal asumsiku yang tak berdasar tersebut. Aku tertawa ketika membaca ulang dimana mereka mengatakan bahwa aku telah melamarnya. Boro-boro dilamar. Pacaran aja belum. Beda perasaan, beda agama beda pula latar keluarga. Aku yang berlatar kelurga semwrawut sedangkan dia dari keluarga harmonis bak keluarga cemara yang saling melengkapi dengan kesederhaan setiap individu masing-masing. Sungguh miris nasibku. Aku melihat komentar dari kekasih Agung.

"Dua tak pernah menjadi satu, " ucapku membaca komen dari Agung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!