Hujan tak selamanya menyenangkan. Terlebih bagiku, ketika aku melihat hujan maka aku akan merana dan mengingat kisah itu. Kisah dimana aku bersamanya di hutan kota dimana pada saat itu, hujan turun dan kita tertawa bahagia bersama. Kenangannya semua terabadikan tidak hanya dalam benakku. Foto, sastra hingga lukisan ku buatkan khusus untuknya. Siapakah orang yang aku anggap spesial itu? Jika ada yang menjawab pacar maka aku anggap kurang tepat ya….
Dia sahabatku. Namanya Embun Paramastri. Kebetulan sekali ya, namanya embun yang sama-sama berhubungan dengan hujan. Seperti yang aku bilang sebelumnya, dia adalah anak penyuka hujan namun tidak dengan suara petir. Sungguh lucu bukan? Ya karena itu aku suka padanya. Hingga suatu saat ia menghampiriku.
“Angga! “panggilnya berlari melambaikan tangan ke arahku.
Aku berbalik ketika mendengae suara manisnya. Dia dengan cerianya berlari hingga berhenti di depanku.
“Kenapa?”ucapku ketika ia berdiri di hadapanku.
“Besok temenin main yuk! “jawabnya dengan nada cerianya.
“Hayuuk! Main kemana emangnya? “ucapku bertanya karena tak biasa ia mengajakku terlebih dahulu.
“Pertama temenin aku ke toko buku terus lanjut ke hutan kota, “jawab Embun menjelaskan planning yang ia susun dengan matang.
“Tumben ke hutan kota. Biasanya aku ajak jogging gak mau, giliran mau malah beli bakso deket pintu keluar, “jawabku mengingatkan ketika Embun yang meminta izin ke toilet. Bukannyake toilet, ia malah melimpir ke tukang bakso.
“Lah abisnya laper. Kan udah jogging sebelumnya. Setelah jogging ya ngisi perut lah, “jawab Embun dengan entengnya.
“Katanya diet, “balasku membuat Embun cemberut. Tangannku dengan reflek mencubit pipinya yang kemudian di tangkis oleh sang empunya.
“Sudah? Pokoknya besok aku mau foto-foto di sana, “ucap Embun dengan yakin.
Aku menganggukkan kepala menyetujui keinginannya.
“Besok aku jemput, “ucapku dibalas dengan simbol oke olehnya.
Seperti biasa. Namanya cewek pasti habis pusing mikirin UAS ya nongki-nongki sambil ghibah. Setelah aku pikir-pikir mungkin karena habis ujian mangkanya ia ngajak ke hutan kota.
Aku berjalan ke arah parkiran mencari keberadaan motorku. Aku cari dimana-mana ternyata aku parkir di ujung. Helm aku pakai, kemudian aku lajukan motorku. Jalanan kota yang ramai meskipun belum waktunya makan siang adalah hal biasa bagiku.
Oh iya. Aku lupa memperkenalkan diriku. Perkenalkan namaku Angga Narendra. Anak bontot yang selalu menjadi babu nya para kakak. Kalian pasti pernah merasakannya bukan? Sebagai anak bontot suka-duka apa yang telah kalian alami.
Aku parkirkan motorku di garasi bersama dengan kendaran lainnya. Aku berjalan ke ruang utama menuju kamarku yang berada di lantai dua. Keadaan rumah sepi karena mungkin hanya aku yang pulang. Aku rebahkan diriku di atas kasur yang empuk. Guling aku peluk dengan erat.
“Rebahan adalah hal yang menyenangkan,”ucapku pada diriku sendiri.
Sejenak aku beristirahat kemudian aku berjalan ke ruangan pribadiku. Semua koleksi buku-buku ada di sana dan menjadi tempat ternyaman bagiku.
Aku ambil kanvas kosong dan segala peralatan melukis aku bawa kemudian aku tata. Perlahan aku goreskan cat tersebut ke arah kuas. Suasana hening mendadak terdengar suara rintikan hujan yang semakin deras. Aku berhenti dan aku tengok ke jendela. Hujan lebat datang secara cepat disertai kilatan petir. Berhubung ruangan pribadiku di dominasi interior kaca jadinya terlihat jelas pemandangan di luar. Suara gemuruh terdengar cukup keras.
“Apa dia baik-baik saja? “ucapku meraih handphone di meja mencari nomernya dan kemudian aku telfon.
Aku lihat bahwa dia online namun tak menjawab telfonku.
“Memanh kebiasaan ini anak, “ucapku kesal namun sedikit khawatir.
“Halo? “ucap suara dari ujung telfon.
“Kamu kemana aja. Kenapa gak di angkat,? “ucapku dengan nada sedit kesal.
“Aku di depan pintu rumahmu, “jawab Embun.
“Hah! “ucapku terkejut.
Buru-buru aku menuruni anak tangga membuka pintu rumah di sambut dengan Embun yang berdiri di depan pintu dengan baju basahnya.
“Yaampun….. “Ucapku membawa Embun masuk memberikan handuk menyuruhnya mandi.
Embun menerima handuk tersebut berjalan ke arah kamar mandi. Aku ke dapur membuat minuman hangat. Ya apalagi kalau bukan teh. Teh dengan jahe aku buatkan untuk Embun. Beberapa saat kemudian ia turun dari tangga menghampiriku.
“Wahhh. Baunya enak, “ucapnya melirik teh buatanku.
“Ini teh jahe. Minum dulu biar gak masuk angin,”ucapku menyodorkan teh tersebut.
Embun dengan hati-hati menyeruput teh. Sejenak ia mencium aromanya menggelengkan kepala.
“Kayaknya ada yang kurang nih?”ucapnya membuatku kebingungan.
“Apanya yang kurang. Perasaan cuman teh jahe biasa, “jawabku jujur.
“Harusnya tiap hari ada yang buatin kayak gini, kan enak berasa punya suami, “ucap Embun tertawa.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar jawaban Embun. Pintu rumah terbuka dan seorang wanita masuk menghampiriku.
“Loh kakak udah pulang? “tanyaku terkejut ketika melihat kakak kedua ku pulang lebih awal.
“Iya. Soalnya udah gak ada kerjaan lagi ya pulang aja, “ucap kakakku terkejut melihat kedatangan Embun.
“Eh Embun ada disini ternyata, “ucap kakakku terlihat senang.
Embun hanya tersenyum canggung menyapa kembali kakakku.
Dengan segala bujukanku akhirnya kakak keduaku mengizinkan Embun untuk tinggal bersebelahan di kamarnya. Aku pun setuju. Selesai makan malam hujan masihlah lebat. Aku berjalan kembali ke kamar dan melanjutkan lukisanku hingga jadila mahakarya terindah dari seorang Angga Narendra ini.
Esok pagi hujan telah reda. Aku mendengar suara sibuk di dapur lantai bawah. Kulihat Embun bersama kakakku tengah memasak bersama. Embun tak sengaja melihatku.
“Eh, Tuan Muda yang ganteng baru aja bangun. Sini! Duduk dulu, “ucap Embun dengan senyuman manis bak resepsionis hotel.
Kakakku menahan tawa. Aku turun sembari menggerutu. Aku merasa itu bukanlah pujian, namun seakan ejekan berbalut majas.
Makanan siap disajikan di meja makan. Semuanya duduk. Aku mulai berdoa mengepalkan tangan sembari memejamkan mata. Kulirik kakak keduaku melakukan hal yang sama dan Embun pun berdoa mengadah kedua tangannya sedangkan aku? Mengepal.
Selesai berdoa, semuanya mulai makan. Beberapa saat kemudian Embun beranjak berdiri, ia berniat membawa piring kotor tersebut ke belakang namun dicegah oleh kakak keduaku.
“Gak usah repot-repot. Tumpuk jadi satu dimeja, nanti bibi dateng gak lama lagi, “ucap kakak keduaku.
Embun menurutinya. Ia menumpuk tumpukan piring tersebut menjadi satu di atas meja.
“Nanti jadi kan? “tanyaku kepadanya.
Embun menganggukkan kepalanya. Aku beranjak berdiri bersiap kembali ke kamar.
“Embun! “panggil kakakku.
Embun menoleh. "Ada apa kak? " tanyanya.
"Aku mau bicara sebentar denganmu, " jawab kakakku.
Embun kembali duduk. Mereka saling berhadapan.
"Boleh gak, kalau kakak titip Angga ke kamu? " ucap kakakku membuat Embun terkejut dan bingung.
"Kakak mau kemana? " tanya Embun.
"Kakak udah berkeluarga. Kakak ikut suami ke luar negeri. Angga sendirian, kakak kasihan tapi kakak gak punya pilihan lain. Kamu cewek baik-baik buat angga, " jawab kakakku.
"Tapi kak Sel, aku dan angga gak ada perasaan apa-apa. Cuma temenan, " ucap Embun menolak.
"Yaudah, tapi kakak cuma nitip. Kalau Angga kenapa-napa tolong kabarin ya, " Balas Kak Sela.
Embun menganggukkan kepalanya. Kak Sela pergi meninggalkan dapur. Aku dari atas tangga mendengar ucapan mereka dan aku tak menyangka Embun mengatakan seperti itu.
"Apakah aku terlalu berlebihan berharap? Tapi perasaan ini bukan aku yang menciptakan, " gumamku pelan menuruni anak tangga.
Embun mendongak melihatku turun. Ia sedikit terhenyak ketika melihatku.
"Eh! Aku belum siap-siap! " ucap Embun terburu-buru pergi.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Embun.
"Ren! " Panggil kakakku.
Aku menoleh. "Kakak berangkat sekarang ya, jaga baik-baik dirimu sendiri" ucapnya.
Akupun mengangguk sembari tersenyum. Pintu depan ku dengar terbuka kemudian tertutup.
"Ayo! " ucap Embun bersemangat.
Kupakaikan helm di kepala Embun. Dia tampak senang melihat perlakuanku begitupun denganku. Pipinya seakan terjepit oleh helm bogo. Ingin aku rasanya mencubit pipi gembulnya dan ku toel-toel. Betapa lucunya saat dia marah. Motor aku nyalakan. Beberapa menit aku tunggu sebelum ku lajukan. Perjalanan ke toko buku di kota hari ini dengan suasana yang sedikit mendung dan genangan air sisa hujan tadi malam.
Aku fokus mengendara tetapi tidak dengan penumpangku. Dia asik menoleh kesana kemari sembari menunjuk-nujuk gerobak makanan.
"Aku pernah kesana. Cilor paling mantep! "
"Eh! Itukan siomay mas-mas ganteng " ucap Embun ketika melihat gerobak bertuliskan batagor dan siomay serta mas-mas ganteng tersenyum ketika melayani pembelinya. Akupun melihatnya dan penasaran nama dari mas-mas tersebut.
"Kamu tahu siapa namanya? " tanyaku.
"Ha! " balas Embun sembari mendekatkan kepalanya.
"Kamu bilang apa tadi! " ucap Embun menaikkan suaranya.
Dengan segala kesabaranku dan kelembutan pangeran tampan ini, aku ulangi lagi pertanyaanku.
"Kamu tahu mas-mas itu siapa namanya? " tanyaku dengan lembut.
"Ohhh...." balas Embun.
Perasaanku seketika pasrah mendengar balasannya. Dengan entengnya dia bilang 'Ohhh' apa semua wanita sama? Kalau gak bilang 'hmmm' ya 'terserah'. Aku sampai bingung sama mereka.
"Dia namanya mas Danang. Orangnya ganteng dan ramah. Batagornya enak. Tapi aku biasanya suka beli campur karena kalau beli satu suka bingung. Jadi, ya campur aja, " ucap Embun.
"Ohhh... " Balasku.
"Eh! Kok cuma 'ohh' doang sih.. Kan gak enak didenger tauk! " ucap Embun.
Aku mengangkat bahuku berpura-pura tak mendengarnya. Lampu hijau berubah menjadi merah. Akupun berhenti.
"Embun! " Panggilku kepadanya.
"Ya, ada apa? " tanya Embun.
"Kalau kamu pacaran nanti, kamu bakal inget aku gak? " jawabku.
"Loh! Kamu kok gitu sih... Kan belum ada cowoknya, " balas Embun menggerutu.
"Ya, siapa tahu ada, " ucapnya tertawa ringan.
Lampu berubah menjadi hijau. Motor ku lajukan kembali. Hari ini tampak ramai dengan kendaraan berlalu-lalang dijalanan. Semua orang berlibur dengan orang-orang terkasih. Termasuk aku bukan?
Toko bunga tempat yang dituju terlihat di depan. Aku kurangi kecepatan motorku kemudian berhenti. Embun turun terlebih dahulu.
"Bisa buka helm gak? " tanyaku melihat Embun tampak kesal dengan kancing helm yang tak mau lepas.
Aku raih kancing helm tersebut dan ku sentuh kemudian terdengar suara 'klik' seketika helm terbuka. Aku ambil helmnya dan ku taruh di atas motor. Terlihat gigi Embun yang putih karena ia tersenyum lebar.
Dia duluan masuk ke dalam toko. Suara lonceng terdengar. Toko buku yang berada di tengah keramaian kota ketika masuk ke dalamnya, suasan hening terasa. Sangat nyaman berlama-lama disana. Aku lihat Embun berada di depan rak buku yang berada di barisan kedua dari selatan. Aku hampiri mereka dia yang tampak fokus melihat-lihat buku di depannya.
"Kamu mau buku genre apa? " tanyaku kepadanya.
"Aku ingin genre romance sih, tapi yang sad kek friendzone gitu loh, " Jawab Embun.
"Friendzone? " gumamku melihat rak buku berjejer novel romance. Aku tertarik pada sebuah buku yang menurutku judulnya unik.
"Mungkin ini cocok sesuai permintaanmu, " ucapku memberikannya kepada Embun.
Embun menerima buku tersebut dan menyetujui ucapanku.
"Dua tak pernah menjadi satu. Memang unik judulnya. Covernya bagus, " ucap Embun.
"Yok! "
Aku mengikuti Embun yang memimpin jalan. Aku sedikit heran mengapa ia membeli buku hanya satu.
"Cuma ini kak? " tanya pegawai kasir.
Embun menganggukkan kepalanya. Pegawai kasir mengucapkan harga dari buku tersebut dan memberikannya struk belanjanya. Uang seratus ribu aku keluarkan dari dalam dompet dan kuserahkan kepada pegawai pasir.
"Eh! " ucap Embun.
Aku segera mengajak Embun meninggalkan kasir. Dia melihatku mengungkapkan pertanyaan mengapa.
"Kan aku yang beli novel dan juga hobbyku. Aku kan gak enak, " ucap Embun.
"Halah udah! Itung-itung traktiran gajian pertama, " ucapku menepuk-nepuk kepalanya.
Aku heran apakah sesenang itu dia mendapatkan buku novel baru hingga ia dengan semangat duduk di atas motor.
"Cepetan! Mau ujan! " ucap Embun.
Aku pakai helm dan aku naiki motor tersebut. Aku lajukan motor dalam kecepatan sedang.
"Beneran jadi? " tanyaku.
"Jadi! " balas Embun.
Tak lama kemudian. Sampailah di parkiran hutan kota. Hawa sejuk seketika menyambut kedatangan kita berdua. Embun turun dari motor dan melepas helmnya memberikannya kepadaku. Aku lihat dia tak sabar dan masuk terlebih dahulu. Aku susul dia dari belakang. Dia berjalan menikmati suasana sejuk dan tenang. Aku melihat hutan kota jarang ada pengunjung membuatnya tampak lebih leluasa mengekspresikan suasana hatinya. Dia duduk di kursi taman di depan air mancur. Ku hampiri dia ketika muliai membuka plastik pembungkus buku.
"Ini adalah kisah dimana dua orang sahabat yang saling menyukai namun tak berani berucap hingga salah satu dari mereka menyadari pentingnya saat itu, " ucap Embun membacakan halaman pertama dari buku tersebut.
"Menarik, " ucapku mengejutkan Embun.
"Ya. Sepertinya ini friendzone"
Embun membaca buku novel dengan tenang. Aku tak ingin menganggunya. Aku beranjak berdiri pergi meninggalkannya. Aku duduk tak jauh darinya. Aku ambil hanphone dari saku ku potret Embun dari kejauhan. Aku baru sadar dia mengenakan dres putih memiliki brukat bunga-bunga kecil. Panjangnya selutut mambuatnya lucu. Aku lihat hasil jepretanku dan bibirku tanpa sadar tersenyum.
Aku duduk melihatnya terus-menerus tanpa membuatku bosan. Ekspresi seriusnya membuatku terpana. Sesekali ia menyibakkan anak rambut yang mengganggu dirinya. Hujan tiba-tiba turun. Aku membeli payung yang kebetulan penjualnya lewat. Entah karena keberuntungan atau apa.
"Hujan! " ucap Embun panik.
Aku berdiri sembari memegang payung agar Embun tak kehujanan.
"Eh! " ucap Embun terkejut.
"Lanjutin aja bacanya," ucapku kepadanya.
Embun menggelengkan kepalanya. Ia menyimpan kembali buku novel yang ia baca ke dalam tas nya.
"Mending hujan-hujanan! " ucap Embun dengan antusia berdiri.
Hujan semakin lebat. Dengan permintaan Embun, aku memindahkan payung membuatnya merasakan hujan. Dia memejamkan matanya merasakan rintikan hujan mengenai tubuhnya. Aku melihatnya seakan merasakan kesedihan mendalam darinya.
"Dia menangis? " gumamku.
Ya benar. Dia memang benar-benar menangis. Aku peluk dia dari belakang ku tenangkan dia yang menangis. Embun terisak dipelukanku. Aku merasakan betapa sedihnya ia saat ini. Jika ada orang yang menyukai hujan, mungkin dia menyembunyikan kesedihannya. Karena hujan datang dengan suara bisik namun menenangkan. Mereka memeluk orang-orang yang sedang kesepian dan hanya dengan suaranya, orang bisa menangis tanpa diketahui oleh orang lain.
"Pulang yuk! " ajakku membujuk dirinya.
Embun menggeleng. Ia tak mau lepas dari pelukanku. Dia mendongak melihatku sembari sesekali matanya terkena air hujan membuatnya kesulitan membuka mata.
"Aku kesepian, " ucap Embun pelan namun suara itu dapat aku dengar dengan jelas.
"Ada aku. Mengapa merasa sepi? " tanyaku kepadanya.
"Aku merasa kesepian jika sendiri, " ucap Embun sekali lagi.
"Ada aku yang menemanimu dikala sepi, " balasku kepadanya.
"Aku tahu itu, namun bukan kamu yang aku inginkan, " ucap Embun.
"Lantas aku kamu anggap apa? " tanyaku kepadanya. Dadaku terasa sesak seketika.
"Sahabat! Aku menganggapmu hanya sebagai sahabat, " jawab Embun.
Aku menangis di bawah rintikan hujan dengan Embun yang kupeluk erat. Aku tak kuasa menahan sesak ketika mendengar jawabannya. Aku tak boleh marah hanya karena dia menganggapku sahabatnya. Bukannya dari awal memang sahabatan? Aku memang laki-laki yang tak pernah puas dengan satu hal. Bodohnya aku karena menginginkan lebih darinya. Siapa aku hingga lancang mengatur perasaannya karena tak sama denganku.
Seorang laki-laki yang tak terlalu mengerti olahraga. Tak menyukai yang namanya kekerasan dan kebanyakan memiliki teman perempuan hingga di cap sebagai laki-laki melambai. Aku memang tak tahu terima kasih menginginkan lebih dari seorang Embun Paramastri yang satu-satunya teman dekatku. Orang yang paling menganggap diriku berharga dan satu-satunya orang yang menyembuhkan lukaku. 6 tahun dia ada untukku, di sampingku menemani sosok laki-laki pengecut sepertiku. Dia berhak bahagia mendapatkan lebih dariku. Aku bukan siapa-siapanya tak lebih dari seorang sahabat.
"Jika kamu menganggapku sebagai sahabat. Bolehkah aku menganggapmu sebagai kekasih?" tanyaku kepadanya
Embun menganggukkan kepalanya. Aku tersenyum ketika ia merespon.
"Karena suka kepada seseorang tak bisa dipaksakan meskipun berbalik, maka tak bisa mudah melupakan, " ucap Embun.
Aku memejamkan mata berikut dengan Embun melakukan hal yang sama. Hari itu adalah hari dimana aku meluapkan perasaanku kepadanya dan hari itu juga adalah hari dimana aku patah hati untuk yang pertama.
Rabu, 12 Mei 2019
Semenjak kejadian di hutan kota, aku jarang melihat Embun. Kita tak sedekat dulu, teman-temanku bertanya-tanya mengapa? Namun aku hanya menjawab baik-baik saja. Aku sibuk skripsi, bimbingan berkali-kali hingga di acc oleh dosen pembimbingku. Hari ini adalah hari dimana akhirnya aku mengenakan toga yang menandakan aku lulus. Gelar sarjana ekonomi telah aku sandang. Aku menunggu namaku dipanggil. Setelah beberapa saat giliran aku naik ke panggung. Perasaan sedih, senang dan bercampur haru. Aku lulus dengan predikat terbaik. Tali toga dipindahkan. Aku berfoto di atas panggung dengan senyuman sempurna.
Menuruni anak tangga, aku kembali ke tempatku. Suasana sedih muncul di dalam diriku. Semuanya ditemani oleh orang tua, sedangkan aku? Tak ada siapapun yang datang. Aku berada di anak tangga kampus sembari melihat para wisudawan berfoto dengan orang-orang terkasihnya. Pandanganku tak sengaja menangkap sosok cantik yang tengah berfoto dengan kekasihnya. Buket bunga ia pegang dengan senyuman sempurna ia berfoto.
"Embun, " gumamku ketika melihatnya.
Aku menghirup nafas panjang kemudian aku buang. Rasa sakitku telah usai dan tak perlu aku menengok ke belakang. Aku berjalan menuju ke tempat yang sedikit sepi. Aku duduk di bawah pohon rindang sembari menikmati angin lembut menerpa tubuhku.
Sakit ku rasakan sama seperti dulu. 6 tahun kita bersama dalam hubungan tanpa status yang jelas dan ketika aku melihatnya bersama dengan orang lain, aku merasa tak rela. Mengapa perasaan ini tak bisa kubohongi. Sekarang aku tahu mengapa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia memiliki akal dan hati nurani yang tak pernah bohong akan suasana hati yang dirasa.
"Mengapa kisah cintaku sama seperti keluargaku? Sama-sama tak bisa bersatu, " ucapku sendu.
Aku terkejut ketika seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh siapa orang yang menepukku dan ternyata adalah Embun.
"Selamat ya... " ucap Embun tersenyum menjabat tangannku.
Aku membalasnya dengan senyuman ramah. Aku lihat pria disampingnya juga memperkenalkan dirinya.
"Agung," ucapnya menjabat tanganku.
Aku membalasnya dengan senyuman. Kulihat mereka benar-benar serasi. Kamera ada di tangan kanan Agung.
"Boleh gak masnya agak deketan? " tanya Agung.
Kebetulan pada saat itu posisiku di samping Embun. Aku tanpa sadar mengikuti arahannya. Jepretan dari kamara Agung menyadarkanku, seketika aku menjauh.
"Maaf, " ucapan seketika terlontar dari mulutku.
"Gak papa kok mas, cuma buat bahan foto bingkai, " balas Agung tersenyum canggung.
Aku tak tahu harus membalasnya bagaimana. Aku merasa tak nyaman lantas berpamitan. Menahan perasaan rindu yang salah adalah hal berat bagiku.
"Dia mantanmu dulu? " tanya Agung.
Embun menggeleng. "Dia sahabatku, tapi itu dulu, " jawabnya.
"Ohhh... " ucap Agung.
Aku berada di dalam mobil. Aku ingin pergi meninggalkan area kampus namun sesuatu mengganjal di hatiku.
"Mau pulang tapi kemana? Rumah kok gak kayak rumah, " ucapku jengkel.
Jika semua orang dihadiri orang-orang terkasih maka aku satu-satunya orang yang sendiri. Ayah meninggal, ibu menikah lagi entah pergi kemana. Kakak? Mereka semua punya keluarga dan tak pernah mengunjungiku. Mungkin jika aku mati, mereka baru datang. Aku menyalakan mobil kemudian melaju keluar dari parkiran. Ku pandang dari spiom mobil kampus tercintaku pada saat itu aku membulatkan tekad.
"Melanjutkan S2 adalah hal terbaik, " ucapku membulatkan tekad.
Beberaa hari kemudian aku mengisi formulir melanjutkan S2 di luar negeri. Aku menutup laptop dan menghela nafas panjang. Semenjak saat itu aku telah meninggalkan semua hobbyku karena semuanya telah aku kubur bersama kenangan abu-abu. Aku meraih handphone ku, aku membuka instagram dan melihat beberapa post foto teman-teman wisudaku. Aku terkejut ketika melihat seseorang menandaiku di postingannya. Aku buka dan ternyata itu adalah Embun yang menandaiku.
Foto yang dia post adalah foto bersamaku tadi. Aku baru sadar bahwa kebaya yang ia kenakan warnanya sama dengan batik yang aku pakai waktu itu. Aku melihat caption foto tersebut.
"Terima kasih menjadi sahabatku selama 6 tahun ini"
Like dan komentar di postingan tersebut cukup banyak meskipun hanya sebentar. Aku yang penasaran membuka komentar dan menemukan beberapa komentar dari akun lain.
"Berarti udah pacaran dong? Apa dilamar! "
"Congrats ya cantikk.. "
"Ih kebayaknya bagus. Spill dong! "
"Udah dilamar? Yah.... Udah ada pawangnya"
"Tips awet 6 tahunnya kak.. . "
"Busett! 6 tahun? Itu beneran? "
"Sengaja? " gumamku
Aku berusaha menyangkal asumsiku yang tak berdasar tersebut. Aku tertawa ketika membaca ulang dimana mereka mengatakan bahwa aku telah melamarnya. Boro-boro dilamar. Pacaran aja belum. Beda perasaan, beda agama beda pula latar keluarga. Aku yang berlatar kelurga semwrawut sedangkan dia dari keluarga harmonis bak keluarga cemara yang saling melengkapi dengan kesederhaan setiap individu masing-masing. Sungguh miris nasibku. Aku melihat komentar dari kekasih Agung.
"Dua tak pernah menjadi satu, " ucapku membaca komen dari Agung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!