Lelaki tangguh

"Aku yang akan menggendong Ismail!" pinta Samuel dengan lembut. Entah kenapa, jiwa melindunginya begitu besar pad Nisya. Seandainya, Nisya menyambut dengan baik setiap pertolongan Samuel. Ia akan bahagia sekali.

"Ta, tapi anda, bawa karung." Sahut Nisya lemah. Wanita itu sudah terllihat kelelahan sekali. Keringat sudah membasahi pakaiannya.

Samuel menatap sedih Nisya dan nenek. Rasanya ia tak sanggup melihat kedua wanita ini menderita seperti ini.

"Iya, aku masih bisa menggendong Ismail, dan membawa jahe dalam karung itu juga." Ujar Samuel Serius menatap ke arah karung yang berisi Jahe.

Nisya menoleh ke arah Nenek, yang kini mendudukkan bokongnya di semak semak, duduk dengan bersila. "Nek.. Awas...!" ternyata di atas kepalanya Nenek, satu ekor ular daun tengah melilit sebuah dahan. Nisya tunjuk dahan tempat, ular berada.

Kedua matanya nenek menoleh ke arah tangannya Nisya. Dan nenek melihat seekor ular berwarna hijau. Dan sang nenek malah terlihat santai. Dan ular itu pergi dari tempat itu.

"Nenek sedang apa?" tanya Samuel dengan herannya.

Sang nenek tak menanggapi ucapan Samuel.

"Nenek sepertinya sedang berdoa, agar awan dijauhkan dari kita, agar perjalanan ini tak terhalangi oleh hujan." Nisya lah yang akhirnya menanggapi pertanyaan Samuel.

Samuel mengangguk lemah. Kalau keadaan sudah kondusif, dan ia tak ditemukan polisi, ia akan belajar ilmu pada sang nenek. Ia akan membujuk Nisya dan nenek ikut dengannya, ke pulau rahasia yang tak ditemukan di peta.

"Dek, Ismail gendong belakang saja. Nanti jahenya aku junjung." Ujar Samuel lembut, tersenyum tipis menatap Nisya, yang kini menatapnya dengan ramah.

"Eemm.. Apa bisa?" tanya Nisya meyakinkan Samuel.

"Bisa, kamu juga masih bisa aku gendong depan. Ismail di belakang dan karung di atas kepala." Ujar Samuel tertawa lepas.

Nisya mengerucut kan bibirnya. Tak suka dengan guyonan Samuel.

"Hehehehe.. Bercanda. Ayo, ikatkan kain gendongannya Ismail." Pinta Samuel, disaat Ismail sudah naik din punggung lebarnya Samuel.

"Iya." Nisya mengikat kain gendongannya Ismail. Sampai anaknya itu merasa nyaman dalam gendongan Samuel.

"Papa ku kuat..! Hore...!" ujar Ismail, saat Samuel dibantu Nisya, mengangkat karung berisi jahe ke kepalanya.

"Iya dong nak! papa hebat...!" teriak Samuel dengan semangatnya. Tangannya mengacung ke udara.

"Ya... Sepatuku rusak." Keluh Nisya.

Samuel yang mendengar keluhan Nisya, langsung berhenti bercanda dengan Ismail. Ia buka kedua sepatunya dari kakinya. "Kamu pakai sepatuku saja." Samuel menyodorkan sepatu sport mahal miliknya. Ya, sepatu, dompet, bahkan ponselnya Samuel, masih ada di dalam saku celananya saat ia mengalami kecelakaan itu. Tapi, ponselnya itu kehabisan daya. Samuel yakin ponselnya itu masih bagus. Makanya, ia bersemangat ke kota. Ia akan memperbaiki ponselnya. Sekaligus menggambil uang, dari nomor rekening rahasianya. Dan setelah sampai di kota, ia tak akan mengizinkan nenek dan Nisya kembali ke hutan. Ia akan membawa kedua wanita itu pergi jauh, tentu saja bersama sang anak Ismail.

Nisya meraih sepatu bagus miliknya Samuel. Ia kenakan sepatu itu. "Kebesaran!" keluhnya, "Gak enak dipakai kalau kebesaran!" ocehnya lagi, sebenarnya ia seperti itu, karena merasa tak enak hati, memakai sepatunya Samuel. Karena pasti, pria itu tak akan punya alas kaki. Mereka sedang di hutan. Duri atau benda tajam lainnya, tak menutup kemungkinan terpijak.

"Coba deh langkahkan. Walau kebesaran, adek tetap akan nyaman memakainya." Ujar Samuel ramah.

Nisya bangkit dari duduknya. Ia jinjit jinjit kan sepatu mahal itu. "Iya ya. Dipakai enak sekali." Celoteh Nisya riang gembira.

Samuel baru kali ini, melihat Nisya tersenyum padanya. Hal itu membuat semangat nya naik beribu lipat. Karung yang berisi jahe di atas kepala, seolah seperti kapas, ringan. Begitu juga Ismail yang ia gendong, tak berasa apa apa

Hhuufftt.

Sang nenek menghela napas panjang. Terlihat si nenek sudah selesai bertapa.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan. Pukul 11.30 kita harus sampai di sungai warga. Di sana kita bersih bersih, sebelum masuk ke perkampungan. Tak jauh lagi, tinggal 3 km" Ujar sang nenek semangat.

"Iya nek!" Sahut Nisya, yang diikuti oleh Samuel dan Ismail.

Perjalanan pun dilanjutkan. Ismail yang ada dalam gendongan Samuel tak henti hentinya berceloteh. Bernyanyi dan menanyakan banyak hal pada Samuel. Setiap yang ia lihat pasti ia tanyakan pada Samuel.

Nisya yang melenggang dengan bawaan derigen berisi air minum, sesekali menoleh ke belakang. Melihat keadaan Samuel yang berjalan tanpa alas kaki itu. Juga menyapa sang anak, yang terlihat lebih nyaman di gendong Samuel.

"Eemm... Apa kaki anda, gak kena duri?" tanya Nisya, saat mereka kembali beristirahat. Sang nenek sudah lelah.

"Gak, lagian kalau hanya tertusuk duri, gak buat mati." Sahut Samuel tersenyum tipis.

"Ooouuww.. Iya sih, gak buat mati. Tapi, kalau kena duri, dan infeksi. Bisa juga buat mati." Ujar Nisya, meraih Ismail dari pangkuannya Samuel.

"Emm.. Mama, akku mau sama papa..!" Ismail tepis tangannya Nisya.

"Good boy, pasti ayahnya baik juga." Ujar Samuel dengan polos nya. Ia belai kepalanya Ismail lembut.

"I, iya." Jawab Nisya tergagap. Ia pun memalingkan wajahnya dari tatapan Samuel.

"Ayo kita lanjut lagi!" Ujar nenek, bangkit dengan menopang tubuhnya renta nya dengan memegang sebuah tongkat.

"Ayo... Ayo...!" Ujar Ismail semangat. Anak kecil itu memang baik budi sekali.

Kembali Nisya membantu Samuel, mengikat Ismail dengan kain gendongan di punggungnya. Kemudian, mengangkat karung berisi jahe ke atas kepala nya Samuel.

Perjalanan pun berlanjut. Tinggal 1 kilo meter lagi, mereka akan sampai di sunga para warga lampung mandi dan ambil air minum. Bahkan kini mereka sudah melewati perkebunan sawit, karet, kakao, kelapa para warga Tanda tanda kehidupan manusia normal telah terlihat.

"Ya Allah... Terima kasih atas pertolonganmu! akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan." Ujar nenek penuh rasa syukur.

Di depan mata telah terlihat sungai yang luas dan airnya jernih. Sungai itu juga sangat indah. Mereka kini berdiri dengan sejajar di tepi sungai.

"Iiihh... Itu, itu...!" teriak Nisya, menunjuk kakinya Samuel.

Auto Nenek dan Samuel menoleh ke arah yang di tunjuk nisya. Samuel cukup terkejut melihat pacet menempel di kakinya. Tapi, ia sok tegar. Ia tak mau nampak lemah di hadapan Nisya. Jumlah Pacet itu lumayan banyak, ada lima setiap kaki. Apalagi tadi, Samuel sempat menggulung celananya. Karena, saat hendak sampai di tepi sungai mereka melewati jalanan yang berlumpur.

"Astaga...!" Nenek mengambil sesuatu dari tas tentengannya yang berbuat dari daun pandan. Bahan itu selalu ia bawa. Yang nenek ambil adalah garam. Ia taburkan garam itu ke kakinya Samuel yang digigit Pacet. Seketika, pacet itu lemas. Tubuhnya melepuh, dengan darahnya Samuel yang dihisap terlihat keluar dari tubuhnya pacet yang mulai hancur.

***

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!