Sudah beberapa hari ini Ara bersitegang dengan seisi rumah. Meskipun berat rasanya melihat Ekrem kesulitan tanpa perawatan yang diberi olehnya, Ara terpaksa harus membiarkan hal tersebut, karena merekalah yang terlebih dahulu menguji Ara dengan sebuah perasaan saling tidak percaya.
Walaupun pada kenyataannya wanita itu tetap akan menolong, saat Ekrem dalam kesulitan untuk melakukan salah satu kegiatannya yang sulit, tetap saja tidak akan mudah baginya untuk melepaskan rasa kesal yang telah bersarang di hatinya itu.
Ara sudah kepalang marah besar. Dan untuk mengatasinya agar tidak timbul penyakit hati, wanita itu pun memerlukan orang terdekat untuk diajak bicara. Oleh karena itulah, ia pun berinisiatif menelpon ibunya, yang sekarang sedang berada di tanah kelahirannya, Indonesia.
"Halo, Bun."
Begitu sambungan telepon terhubung, Ara yang sudah lama tak bertegur sapa dengan sang Bunda itu, pun langsung saja menyapa wanita tersebut dengan girang. Pada awal pembicaraan telepon ini, wanita itu tak mau ibunya langsung merasa khawatir pada keadaannya saat itu.
"Bunda sedang apa sekarang?" tanya wanita itu, takut-takut apabila wanita yang melahirkannya itu, sekarang tengah berada dalam suatu kesibukan lain.
Namun begitu mendengar jawaban sang Bunda, yang mengatakan bahwa dirinya hanya sedang duduk setelah melakukan pekerjaan rumah tersebut, pun membuat Ara tak ayal merasa lega. Karena, ini artinya telepon darinya itu tidak mengganggu waktu sibuk ibu rumah tangga itu.
"Ada apa, nak?" Satu pertanyaan dari ibunya ini, membuat Ara pun merasa seperti akan menangis.
Benar kata orang, bahwa anak perempuan itu akan senantiasa menjadi putri bagi keluarganya, meskipun nantinya mereka juga sudah punya keluarga dan anak sendiri.
Dan begitulah yang kini terjadi pada Ara. Wanita itu mendadak jadi rindu pada keluarga dan kampung halamannya itu. Karena inilah, Ara pun lantas menitikkan air mata. Wanita yang tengah sensitif karena semua cobaan hidup tersebut, pun menangis tanpa bisa dicegah.
"Bunda, ..." lirih Ara, sembari memanggil ibunya tersebut. "Ara ingin pulang ke Indonesia. Di sini sangat melelahkan," sambungnya, mengungkapkan semua keluhan yang selama ini tertahan di hatinya.
Sang Bunda yang tiba-tiba disuguhi oleh suara tangisan anak kesayangannya itu, pun langsung panik seketika. "Ara, dengar Bunda. Jangan menangis, nak. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya," ujar Bunda Ara tersebut, dengan menggunakan segenap pengalamannya menjadi seorang ibu.
"Ada apa gerangan, sampai membuat anak Bunda ini tiba-tiba menangis seperti ini?" tanya Bunda Ara, mengisyaratkan pada anaknya tersebut, untuk menjelaskan detail situasi yang memberatkan putri itu di negara asing.
Tanpa perlu basa-basi lagi, Ara yang sudah lama memendam rasa frustasi tersebut, pun langsung mencurahkan segala isi hati dan pikirannya. Tak lupa, wanita itu juga menjelaskan kronologi permasalahannya, mulai dari awal hingga akhir. Hal ini tentunya sangat membantu sang Bunda, saat wanita bijaksana itu hendak mencarikan suatu penyelesaian masalah bagi sang putri.
Begitu paham dengan apa yang terjadi, Bunda Ara itu tidak serta-merta memberi izin pada permintaan Ara yang didasari oleh emosi itu. "Ara, sayang," panggil Bundanya itu dengan penuh kasih.
"Kamu boleh kok emosi. Bunda tidak pernah sama sekali melarangmu untuk mengekspresikan diri, bukan?" Dengan nada rendah yang menenangkan hati itu, Bunda Ara pun memulai sesi nasihatnya.
"Tapi, dengan kamu yang marah-marah seperti ini, apa itu akan menyelesaikan semua permasalahan yang ada?" Kali ini pertanyaan yang dilontarkan ibunya itu, membuat Ara tak ayal jadi berpikir kembali. "Jika kamu sudah benar-benar lelah dan ingin kembali ke Indonesia, maka Bunda tidak akan pernah melarangnya."
"Tetapi, sebelum itu, ada baiknya jika kamu membuktikan terlebih dahulu, bahwa kamu itu benar-benar tidak bersalah. Jika kamu tiba-tiba pergi kemari, itu sama saja dengan memberi isyarat pada mereka, bahwa kamu memang bersalah dan sedang dalam proses pelarian," jelas sang ibu panjang lebar.
Namun hal ini lantas membuat Ara jadi terbuka pikirannya. Semua yang dikatakan Bundanya itu benar adanya. Jika ia langsung pergi ke Indonesia pada situasi seperti ini, kemungkinan para pihak yang tak menyukainya akan menebar gosip, bahwasanya dirinya melarikan diri karena perasaan bersalah.
"Aku tidak mau seperti itu," ungkap Ara dengan lesu.
"Benar, 'kan."
Sang Bunda pun menjadikan ini sebagai upaya terakhirnya, untuk menuntut sang anak pada keputusan yang benar.
"Jika Bunda jadi kamu, mungkin Bunda akan bicara empat mata dengan Al. Mungkin saja, di antara kalian ada satu kesalahpahaman yang perlu diluruskan," tutur sang Bunda, dengan sabar menanggapi curhatan sang anak tersebut.
Seperti kehendak Bundanya, Ara pun yakin bahwa solusi yang dicanangkan oleh Bundanya itu adalah hal yang paling tepat. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk pergi menemui Al saat itu juga.
"Baiklah, Bun. Ara sudah mengerti. Kalau begitu, Ara tutup dulu teleponnya, Ara akan mencoba bicara dengan Al dan menyelesaikan kesalahpahaman ini.."
Sang bunda pun mengiyakan permintaan anaknya tersebut. Dan dengan demikian, panggilan suara itu pun berakhir. Srs yang telah menerima nasihat, pun langsung bergegas menuju kantor Al, tempat dimana laki-laki itu diyakini berada saat ini.
Begitu sampai di kantor Al, Ara yang selalu dihormati oleh para bawahan Al tersebut, pun langsung dipandu menuju ruangan sang suami. Sebagaimana wanita cantik yang selalu menjadi prioritas, karyawan di perusahaan Al tersebut, tak hanya menghormati kehadiran wanita itu, tetapi juga mengagumi kecantikan alami yang dimilikinya.
Begitu dipersilahkan masuk, Ara tak lupa bersikap sopan dengan berterimakasih. "Maaf mengganggu waktu kerjanya, ya," ungkap Ara, sebelum karyawan yang mengantarkannya tadi benar-benar pergi dari hadapannya.
Tak seperti suasana yang biasa ditemuinya, begitu masuk ke ruangan Al itu, Ara mendapati sang empunya ruangan tengah berada di sofa, alih-alih berada di meja kerjanya untuk mengurus dokumen seperti biasanya.
Tanpa wanita itu sadari, hal tersebut dilakukan Al untuk memudahkan mereka berbicara. "Ada perlu apa mencari saya?" tanya pria itu tanpa basa-basi.
Dan kebetulan sekali, Ara juga sedang tak ingin berlama-lama mengobrol dengan berputar-putar. Wanita itu lantas langsung menguraikan apa saja yang hendak ia sampaikan saat itu.
Dengan kejujuran sebagai dasarnya, Ara telah menceritakan kesehariannya semenjak ditinggal oleh Al, dengan sangat mendetail, tanpa adanya satu hal pun yang terlewat oleh ingatannya.
"Aku bersungguh-sungguh, bahwa aku selama ini merawat kakek dengan tulus. Tidak ada secuil pun perasaan di hatiku, untuk membunuh kakek dengan meracuni makanannya," tegas Ara, mencoba meyakinkan kembali pria yang seperti terumbu karang tersebut.
Tapi di sisi lain, hanya hening yang diterimanya sebagai jawaban. Hal ini karena Aku telah merasa, bahwa ia sudah mengatakan pada Ara untuk tidak terlalu memikirkan hal ini, namun sepertinya hal tersebut tak membuat Ara menghentikan upaya pembelaannya.
Dan ini pun jelas memuat Al sedikit marah, hingga tanpa sadar menunjukkan isi hatinya lewat ekspresi, yang kira-kira akan bisa diartikan sebagai suatu ekspresi orang yang tidak percaya.
Melihat hal tersebut, Ara yang awalnya sudah gigih tersebut, pun merasa semakin tertantang. "Aku tahu kau tidak akan percaya dengan apa yang aku ucapkan, Al."
"—Dan kalau boleh jujur, aku sangat kecewa kepadamu yang seperti ini, Al," ungkap Ara secara terang-terangan. Tapi ungkapan itu tak akan mempengaruhi tindakannya setelah ini.
"Aku juga tidak akan hanya terus berbicara seperti ini. Aku berjanji akan menemukan bukti-bukti, yang mengatakan bahwa aku tidak bersalah sedikit pun."
"Tapi setelah aku terbukti tidak bersalah, aku akan pergi dari sini, aku akan kembali ke Indonesia." Pernyataan Ara ini lantas membuat Al terperanjat kaget. "Yah, aku lebih baik kembali ke rumah orang tuaku, daripada harus terus berada di sini bersama lelaki yang bahkan tidak mempercayaiku," lanjut perempuan itu, lalu berangsur ingin pergi saat itu juga.
Karen posisi Ara yang sedari tadi sudah berdiri tersebut, maka wanita itu pun tak perlu susah-susah lagi beranjak dari sofa, dan tentu saja hal ini membuat pergerakannya pun menjadi cepat.
Tapi agaknya, seberapa cepat pun gerakan tubuh Ara itu, sepertinya pergerakan tangan Al masih lebih cepat dari itu. Laki-laki yang mulanya duduk di sofa itu, pun kini telah bangkit dengan sempurna, sembari salah satu tangannya meraih tangan sang wanita yang hendak pergi tersebut.
"Tunggu, jangan pergi," tutur Al mencoba mencegah kepergian wanita yang sebenarnya mengisi hatinya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments